Analisa

Drama Stabilitas Harga Minyak Goreng

Stabilitas harga minyak goreng di pasaran tidak menentu, terlebih saat momen-momen seperti menjelang pergantian tahun dan perayaan umat beragama. Kenaikan harga minyak goreng bukanlah hal baru lagi. Sebab, fluktuasi harga ini hampir terjadi setiap tahun di Negeri ini. 

Minyak goreng merupakan salah satu komoditas pangan yang menjadi kewenangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan telah diatur dalam Perpres 125 tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP). Sehingga dalam pemenuhannya perlu diawasi dan terjamin. Harga minyak goreng yang fluktuatif tentu menjadi tanda tanya besar.

Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) menjelaskan bahwa untuk harga minyak di pasaran cenderung fluktuatif dan mengalami kenaikan harga pada bulan April 2023. Berdasarkan data PIHPS,  diketahui harga minyak goreng kemasan bermerk 1 Rp20.500 per kg (naik Rp300). Kenaikan juga tampak pada harga minyak goreng kemasan bermerk 2 dengan harga Rp19.100 per kg (naik Rp300), dan minyak goreng curah Rp15.050 per kg (naik Rp400). Sejauh mana peran yang telah diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini? Apa latar penyebab dari harga yang tidak stabil? 

Fluktuasi harga eceran tertinggi (HET)  dan kebijakan Pemerintah terkait minyak goreng

Harga Eceran Tertinggi (HET) merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah harga minyak goreng di Negeri ini. Namun nyatanya, hal ini tidak cukup membantu banyak karena permintaan yang tinggi justru membuat kelangkaan.  Hal ini salah satunya ditunjukkan berdasarkan kebijakan pemerintah yang menyiapkan minyak goreng kemasan dan curah sebanyak 450 ribu ton per bulan selama Februari-April 2023.

Perihal tersebut Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan turut memberikan tanggapannya.

Baca Juga:  Infrastruktur Tak Terstruktur Rata

“Kebijakan tersebut (menambah stock minyak goreng selama Februari-April) sebagai upaya mencukupi kebutuhan masyarakat selama memasuki bulan puasa hingga lebaran 2023” Ujarnya.

Melihat dari kondisi ini, menunjukkan jika permintaan dari masyarakat saat momen bulan tersebut cukup tinggi. Sehingga memaksa pemerintah untuk menambah stock minyak goreng di pasaran.

Terkait kebijakan pemerintah mengenai penerapan HET, Ketua Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha (LKPU) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Ditha Wiradiputra juga angkat bicara.

“Kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021 sampai dengan pertengahan 2022 lebih disebabkan oleh kenaikan harga crude palm oil (CPO) dan kebijakan pemerintah yang tidak tepat, khususnya penerapan harga eceran tertinggi (HET)” Pungkasnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari data.alinea.id, dari rentang tahun 2018-2021 menunjukkan fluktuasi harga minyak goreng tiap bulannya. HET minyak goreng paling tinggi mengacu pada data yaitu terjadi pada tahun 2021 dengan HET Rp 16.000-Rp 18.000.

Pada tahun 2022, dari Permendag RI No 11 Tahun 2022 tentang Penetapan HET Minyak Goreng Curah, pasal 2 dijelaskan untuk HET yaitu Rp 14.000/liter atau Rp 15.500/kg. Kemudian pada tahun 2023 ini melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (DitjenPdn Mendag) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat yaitu Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan Rp14.000 per liter dan minyak curah Rp15.500 per kg, aturan ini melarang penjualan minyak goreng rakyat secara bundling.

Aturan yang dikeluarkan mengenai HET minyak goreng oleh pemerintah melalui Menteri Perdagangan adalah sebagai upaya dalam menekan kenaikan harga agar masih bisa dijangkau untuk dibeli bagi kalangan menengah kebawah. Namun dari kebijakan ini masih memiliki kekurangan, sebab dalam realisasinya kurang diawasi dengan ketat. Hal ini dibuktikan di beberapa daerah yang memiliki harga minyak goreng diatas HET. 

Baca Juga:  Utang Minyak Goreng ke Aprindo Rp344 Miliar, Ini Penjelasan Kemendag

Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 10 provinsi yang memiliki harga minyak goreng diatas HET, bahkan harganya 2 kali lipat dari HET yaitu di  Provinsi Lampung dengan harga tertinggi mencapai sekitar Rp 30.000/kg. 

Penyebab kenaikan harga

Harga minyak goreng yang cenderung mengalami kenaikan tiap tahun ditengarai disebabkan oleh berbagai hal antara lain kenaikan harga crude palm oil (CPO), kebijakan pemerintah yang tidak tepat, khususnya penetapan harga eceran tertinggi (HET), dan juga dugaan adanya mafia minyak goreng. 

Dugaan adanya mafia atau kartel minyak goreng muncul akibat buntut adanya kasus pelaporan salah satu industri minyak goreng (Wilmar Group) yang dianggap melakukan monopoli dagang. Namun dugaan itu dibantah oleh Kantor Hukum Assegaf, Hamzah & Partners (AHP) selaku kuasa hukum Wilmar Group Rikrik Rizkiyana.

“Kami meyakini, majelis komisi memiliki wisdom dalam memutuskan perkara ini dengan tepat guna memperbaiki industri minyak goreng” Ujarnya dalam keterangan tertulis usai sidang perkara dugaan kartel minyak goreng, Rabu (05/04/2023).

Sehingga dapat disimpulkan jika terkait kartel minyak bukanlah sumber penyebab kenaikan harga. Hal senada juga disampaikan oleh mantan Dirjen Kemendag Oke Nurwan yang berpendapat  bahwa kenaikan harga minyak goreng kemasan periode Oktober-Desember 2021 dan Maret-Mei 2022 disebabkan oleh kenaikan harga CPO, bukan karena adanya perjanjian antara pelaku usaha. 

Selain itu, adanya kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait minyak goreng kemasan yaitu penetapan HET dan domestic market obligation (DPO),  justru menyebabkan kerugian bagi produsen karena harus menjual di bawah harga keekonomian.

Baca Juga:  Rokok!Diandalkan, Namun Dibatasi!

Dampak dari kebijakan HET memicu terjadinya rush buying (pembelian yang berlebihan) oleh masyarakat untuk menghindari kekurangan stock  individu  yang hal ini justru mengakibatkan kelangkaan minyak goreng dipasaran. 

Potensi produksi minyak goreng dalam Negeri

Sawit merupakan salah satu komoditas andalan Indonesia, sebab tanaman ini merupakan komoditas pertanian penghasil minyak goreng yang kebutuhan dan permintaannya cukup tinggi dipasaran.  Sehingga kebutuhan akan perluasan perkebunan sawit sangat diperlukan, dan hal ini telah gencar dilakukan oleh pemerintah. 

Tahun 2019, teridentifikasi bahwa terdapat luasan lahan sawit sekitar 16,38 juta Ha dengan distribusi luas perkebunan rakyat (swadaya/bermitra) seluas 6,72 juta Ha (41 persen), Perkebunan negara sebesar 0,98 juta (6 persen), dan perkebunan besar swasta seluas 8,68 juta Ha (53 persen).

Potensi lahan sawit yang besar tentu menjadi daya dukung Indonesia dalam menjawab akan swasembada pangan khususnya untuk komoditas minyak goreng. Menurut data yang dihimpun oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada Januari 2023, menunjukkan dari rentang tahun 2018-2022 jumlah produksi minyak goreng dalam Negeri terpantau stabil yaitu berkisar 47,4 juta ton-51,8 juta ton setiap tahunnya.  Sedangkan untuk konsumsi minyak goreng dalam negeri 13,5 juta ton-21 juta ton setiap tahun, dan untuk sisanya di ekspor.

Besarnya potensi produksi minyak goreng dalam negeri tentu sangat miris jika stabilitas harga di pasaran masih saja belum terkendali dengan baik. Sehingga pemerintah perlu berbenah dalam menentukan arah kebijakan kedepannya. 

Penulis:Hvd l Editor: Uud

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda