PerspektifAkademika

Kaderisasi Bukan Wahana Main-Main!

Beberapa hari ini, kami kader dari PMII Komisariat Universitas Islam Jember berbangga hati dan dengan bersemangat tinggi untuk mengikuti PKL (Pelatihan Kader Lanjut). Sebagai kader yang sadar betul masih banyak kekurangan dan haus akan pengkayaan intelektual, forum ini sangat kami nanti-nantikan. PKL bukan sekadar agenda tahunan, tapi momen penting bagi kami yang ingin naik satu tangga dalam jenjang kaderisasi. Kami percaya, lewat forum ini, kami bisa belajar lebih banyak, membuka wawasan, dan memperdalam pemahaman atas platform kaderisasi, gerakan, ke-agamaan atau gerakan perempuan itu sendiri.

Sebelum berangkat pun, kami sudah mendapatkan banyak arahan dari para senior dan alumni. Kami diminta untuk banyak membaca, memperluas pengetahuan, dan memperkaya referensi. Tujuannya jelas: agar kami tidak tampil asal-asalan dan tidak mempermalukan lembaga. Kami paham, membawa nama komisariat itu bukan perkara remeh. Lebih dari itu, kami juga sangat ingin berada dalam ruang yang memungkinkan untuk bertukar pikiran dengan sahabat-sahabat hebat dari komisariat atau cabang lain. Belajar dari pengalaman mereka, berdiskusi soal tantangan banyak pemikiran tokoh, dan tumbuh bersama sebagai sesama kader PMII.

Tapi sayangnya, yang kami dapat justru pengalaman pahit dan mengecewakan. Kami harus mengalami ketegangan antara diterima atau ditolak, tanpa alasan yang jelas mulanya. Bahkan mirisnya lagi, kami harus menunggu sampai empat jam lebih tanpa kepastian apa pun. Duduk di lokasi, nunggu, dan terus menunggu. Kayak jomblo nunggu kepastian, tapi ini lebih parah—karena menyangkut masa depan kaderisasi kami.

Apa susahnya sih memberi kejelasan? tanpa harus ditarik ulur. Dimasukkan kemudian dikeluarkan lagi. Apa sesulit itu koordinasi antara ketua cabang, pengurus cabang dan ketua SC? Miskomunikasi jadi alasan, klise, tapi akibatnya sangat nyata. Kader merasa tidak dianggap seperti sampah. Yang lebih menyakitkan, bukan hanya soal teknis dan miskomunikasi itu tadi. Tapi soal sikap. Sikap abai, tidak tegas, dan terkesan asal-asalan.

Kami bukan sekadar kecewa. Ini bukan hanya luapan emosi sesaat. Ini adalah peringatan. Sebuah alarm keras bahwa PMII Cabang Jember sedang berada di ambang krisis kepemimpinan. Ketika pengurus tidak bisa mengelola kaderisasi, tidak bisa mengayomi kader, dan malah membuat kader merasa dipinggirkan, maka kami mempertanyakan: Masih layakkah mereka berada di cabang ini?

Sudah saatnya kita bicara jujur. Kalau ada masalah komunikasi, selesaikan. Kalau ada kekurangan dari kader, beritahu dengan cara yang membina. Tapi kalau yang terjadi justru pengabaian dan pembiaran, ya jangan salahkan kader kalau akhirnya bicara keras. Karena kami tidak bisa terus diam melihat kaderisasi dijalankan dengan cara seperti ini.

Kaderisasi bukan ajang atau wahana main-main. Apalagi PKL. Ini proses yang seharusnya jadi lompatan penting dalam pengembangan kualitas kader. Tapi ketika proses ini dihambat dengan ketidakjelasan, kepentingan terselubung, dan permainan birokrasi tanpa esensi, maka kami wajib melawan. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya nasib satu atau dua kader, tapi arah masa depan organisasi ini.

Memang, kami juga punya kekurangan. Misalnya, tidak mengisi Google Form pendaftaran. Tapi, mari kita jujur: apakah itu alasan utama hingga harus membuat kader digantung nasibnya? Apakah sebegitu krusialnya formalitas ini dibanding substansi kaderisasi itu sendiri? Ini pertanyaan dasar yang harus dijawab oleh siapa pun yang merasa bertanggung jawab atas proses ini.

Saya jadi ingat kutipan Bang Dwi Winarno dalam buku Refleksi 60 Tahun PMII, yang bilang: “Kader-kader PMII sulit memiliki daya saing jika proses kaderisasi terlalu njelimet, serba administratif dan birokratik, memperbanyak hambatan, sekadar formalitas tanpa peduli output, dan gagal mengembangkan potensi kader.” Dan sejujurnya, kutipan ini terasa sangat relevan dengan kondisi PMII Jember hari ini. Terlalu ribet di hal-hal teknis, tapi lupa pada misi utamanya: mengembangkan kader.

Kami tidak ingin PMII Jember hanya jadi tempat pelampiasan ego struktural agar tampak maju secara administratif, namun mundur secara pengetahuan. Kami ingin organisasi ini jadi ruang tumbuh yang sehat bagi kader. Tempat belajar, berkembang, dan bertumbuh. Kalau sekarang yang terjadi justru sebaliknya, maka reformasi adalah keharusan. Bukan pilihan.

Sudah cukup kita bersabar. Saatnya kader bergerak. Bukan untuk memberontak, tapi untuk menyelamatkan. Supaya kaderisasi PMII ke depan tidak lagi terhambat oleh pola pikir sempit dan manajemen yang buruk. Mari pastikan, bahwa yang duduk di kursi kepemimpinan berikutnya adalah mereka yang benar-benar paham dan peduli pada kader. Bukan mereka yang hanya menjaga kursi, tapi mengabaikan isi.

Penulis: Muhamamd Nafis Saighoni

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami