Perspektif

Keangkuhan Adikuasa dan Imbasnya Terhadap Peradaban Manusia

Saat ini tatanan dunia mulai berubah dari yang awalnya unipolar menjadi multipolar dimana hegemonisasi global tidak lagi terpusat pada satu pihak tertentu saja. Namun disisi lain kita juga menyaksikan adanya multilateralisme yang berkurang atau semakin sulit. Tidak dapat dipungkiri hari ini kita dipertontonkan dengan kegagalan organisasi multilateral Dunia PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dalam mendamaikan perselisihan antar Negara. Terbukti dengan adanya perang di Ukraina dan Gaza yang sampai saat ini tidak redam dengan situasi yang semakin rumit.  Ironi keadaan dunia yang demikian tentu membuat kita bertanya, apa sebenarnya yang telah menimpa dunia saat ini?

Untuk memahami dinamika dunia dan posisi kita hari ini, maka kita perlu memahami sejarah peradaban dunia setidaknya dua abad lalu.

Dimulai sejak lima abad yang lalu ketika Vasco da Gama berlayar dari Eropa ke Asia bersamaan dengan Columbus yang berlayar ke Barat menemukan Benua Amerika bagi orang Eropa, duniapun menjadi berubah drastis. Ini adalah periode dimana apa yang di sebut “Barat” (yang sebenarnya negara-negara di wilayah Atlantik Utara) memulai pengejaran kekaisaran mereka dengan melakukan Penaklukan lintas Samudra. Pada saat itu, Indonesia jatuh ke tangan Belanda (menjadi Batavia) dan menjadi awal dari munculnya kapitalisme global bersama Dutch East Indies Company.

Selanjutnya, Inggris memulai perjalanan menuju kekaisaran Global dengan mendirikan British East India Company sekitar tahun 1600. Inilah awal dari kapitalisme global yang didominasi oleh kekaisaran Eropa, meski dalam prosesnya sangat bertahap dan tidak ada yang benar-benar pasti. Kemudian, segala sesuatunya semakin cepat pada abad ke-19 dengan industrilisasi yang pertama kali terjadi di Inggris dan kemudian menyebar ke Amerika Serikat serta seluruh Eropa Barat.

Industrilisasi pada dasarnya berupa terobosan tenaga uap yang kemudian menjadi mekanisasi kekuatan ekonomi dan militer Eropa. Bahkan bukan hanya kuat, justru malah mendominasi. Pada abad ke-19 kita mengenal Pax Britannica (Perdamaian Britania) dalam Imperium Britania sebagai periode damai di Eropa dan dunia. Namun alih-alih pax/perdamaian, pada periode ini justru terjadi kebalikannya dengan adanya perang dimana-mana, juga pemberontakan demi pemberontakan yang terus berlangsung. Pada masa ini Belanda memainkan perannya dan Amerika Serikat semakin mengambil peran.

Terlepas dari Eropa, pada akhir ke-19 Jepang menjadi kekuatan industri pertama di Asia dan segera bergabung dengan kelompok imperialis merebut koloni di Taiwan dan Korea, serta mengalahkan Tiongkok dan Rusia dalam perang. Adapun hal tersebut dilakukan karena untuk menghindari dunia yang benar-benar merupakan dunia yang dipimpin oleh Barat pada abad ke-20 nantinya. Dimana pada saat itu Inggris masih dominan secara institusional, budaya, kelautan/maritim serta angkatan lautnya. Disisi lain Imperium Britania Raya menjadi kekaisaran nomor satu yang kemudian diikuti Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol dan Portugis yang masih memiliki beberapa koloni dengan Amerika Serikat.

Adanya perang dunia II pada dasarnya telah mengakhiri era kekaisaran Eropa, namun sangat memperkuat Amerika Serikat dan memperkuat proses kompleks Rusia dalam bentuk Uni Soviet. Adapun yang benar-benar menentukan akhir dari Perang Dunia II dan akhir zaman kekaisaran Eropa adalah kemerdekaan beberapa negara didunia, seperti Indonesia, India dan Afrika pada tahun 1950-an dan 1960-an. Bagi negara yang baru mendapatkan kemerdekaannya, pasti mengalami situasi yang cukup rumit. Dimana setiap sejarah paska kolonial biasanya cukup kejam dengan banyaknya ketidakstabilan.

Hal tersebut adalah awal dari penyeimbangan kembali ekonomi dunia karena hal yang terjadi dibawah imperialism Inggris dan Barat ialah dominasi penuh kekuatan, literasi dan teknologi. Biasanya negara dibawah Imperialisme dieksploitasi untuk bahan mentah, Pendidikan yang sangat rendah, dan tingkat buta huruf yang tinggi sedangkan negara-negara kekaisaran tidak tertarik untuk berbuat apa-apa. Sehingga jelas, saat itu bukanlah era pembangunan, melainkan era eksploitasi.

Dengan kemerdekaan, negara-negara mulai mengejar ketertinggalan dan memulai berbagai proses pembangunan khususnya literasi dan Pendidikan secara massal. Karena hal tersebut merupakan bagian terpenting dalam pembangunan Negara dan ekonomi. Akhirnya, pada tahun 2000 Pendidikan ada dimana-dimana, tingkat literasi meningkat dibandingkan pada tahun 1950 dimana dunia terpelajar pada adasarnya hanya di Barat. Teknologi telah menyebar luas dan terjadi penyeimbangan kembali yang mendasar pada sistem ekonomi dunia. Sehingga sistem yang berlaku bukan lagi western/barat, melainkan menjadi sistem dunia secara universal.

Keadaan yang demikian juga disebut sebagai latarbelakang adanya geopolitik. Sebab, sejatinya pada tahun 1945 sistem imperialism Inggris berubah menjadi Imperialisme Amerika yang tidak lagi menaklukan wilayah dengan cara penaklukan, namun dengan modus operasi menguasai pemerintahan. Amerika menempatkan negara-negara sebagai client dimanapun ia bisa. Bahkan menurut penelitian baru-baru ini tercatat antara tahun 1947-1989 Amerika terlibat dalam 70 operasi pergantian rezim, dimana 64 diantaranya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal tersebut wajar dikarenakan pada tahun 1947 CIA (Central Intellegence Agency) dibentuk yang pada dasarnya merupakan dan masih menjadi tentara rahasia Presiden Amerika Serikat yang dapat dikerahkan untuk menggulingkan Pemerintahan luar negeri.

Amerika Serikat telah menjadi kekuatan imperialism yang melakukan banyak hal baru bagi dunia, tidak menghalangi pembangunan ekonomi dan sistem Internasional yang relative terbuka (kecuali dalam hal Uni Soviet). Namun, ketika Amerika tidak menyukai apa yang dilakukan Negara lain maka mereka akan menggulingkan pemerintahannya seperti yang telah terjadi dalam banyak negara. Mereka akan menggantikan pemerintahan yang ada dengan rezim baru untuk menjadi rezim boneka yang secara mudah diserang secara internal.

Adapun perubahan besar terjadi pada tahun 1991 dimana Uni Soviet sebagai musuh besar AS menghilang dari peta. AS pun tampak menjadi kekuatan unipolar yang mempercepat operasi pergantian rezim dimanapun yang mereka bisa. Hal tersebut didorong oleh anggapan AS bahwa: “oke sekarang kita bisa bersih-bersih dimanapun, karena ini dunia kita”. Tapi tentu saja penyeimbangan ekonomi dunia semakin cepat dan dimensi paling penting dari hal tersebut adalah kebangkitan China (Tiongkok) yang sama sekali tidak disadari. Tidak ada hal khusus yang terjadi kecuali China menembus waktu yang hilang setelah terpuruk 100 tahun sejak perang Opium hingga kemerdekaannya pada tahun 1949. Cina mengejar waktu yang hilang dan mempercepat pembangunan teknologi, Pendidikan, kelembagaan, serta infrastrukturnya dengan cukup cemerlang hingga menjadi kekuatan besar.

Secara ringkas, semua pelajaran sejarah diatas hanya untuk menyatakan bahwa sejak tahun 1950 kita berada pada dunia yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Namun, dunia berhasil melakukan penyesuaian ekonomi kembali yang menyebabkan teknologi, pengetahuan, literasi, Pendidikan dan keterampilan menyebar luas ke seluruh penjuru dunia. Sehingga saat ini kita telah berada dalam perekonomian yang multipolar. Amerika tidak lagi mendominasi secara ekonomi, teknologi cukup canggih dibanyak tempat didunia meskipun Amerika masih memiliki kepemimpinan dibeberapa bidang lainnya.

Sayangnya, AS belum memahami dalam hal kebijakan luar negeri bahwa apa yang disebut sebagai dunia unipolar telah berakhir dikarenakan adanya penyeimbangan kembali ekonomi. Akibatnya, dunia menghadapi ketegangan geopolitik yang berasal dari fakta bahwa dunia memasuki multipolarnya dibawah bayang-bayang realitas penyesuaian budaya Amerika dengan Negara-negara lain terutama Tiongkok. Sehingga hari ini kita dihadapkan dengan perubahan geopolitik sebagai kebangkitan batu bata, perang Ukraina, perang di Timur Tengah dan hal itu benar-benar serangkaian peristiwa yang kita anggap seperti lempeng tektonik – pergeseran geopolitik karena pergeseran ekonomi dan teknologi yang mendasarinya sedang berlangsung.

Lantas, bagaimana cara menyelesaikan konflik antar negara yang telah merenggut nilai-nilai kemanusiaan?

Saat ini dunia membutuhkan pendekatan multilateral yang cukup berbeda dengan tetap berpegang pada salah satu doktrin PBB yang berlatar belakang Piagam PBB dan kemudian diperkuat dalam hukum Internasional pada tahun 1960-an. Doktrin tersebut ialah nonintervensi. Gagasan dimana sebuah negara tidak boleh mengintervensi negara lain dalam urusan dalam negerinya. Suatu negara dapat berdiplomasi dengan negara lain, namun tidak diperkenankan mencampuri urusan dalam negerinya. Apabila semua negara didunia mematuhi norma tersebut, maka tidak akan terjadi perang antar negara.

Selain itu, dunia perlu kembali menjamurkan budaya politik Internasional yang telah lama memudar yaitu diplomasi. Tidak hanya sekadar bercakap, diplomasi mencakup kemampuan dan kebesaran hati untuk mendengar, memahami, serta bertindak bijaksana. Adapun pada konflik alot semacam Israel dan Gaza, Dewan Keamanan PBB selaku yang memiliki kewenangan harus mengambil Tindakan tegas bahkan memaksakan solusi terhadap dua negara tersebut. PBB harus segera mengakui Palestina sebagai negara berdaulat anggota PBB dengan perbatasan berdasarkan keputusan  Juli 1967. Dilain sisi, negara-negara besar harus mundur dan berhenti menghabiskan ratusan miliar dollar untuk persenjataan negara yang berkonflik agar perang tidak berlarut dan dapat diselesaikan dengan sistem Internasional yang damai.

*) Tulisan ini bersumber dari perbincangan Gita Wirjawan dengan Prof. Jeffrey Sachs (seorang ekonom kenamaan dunia sekaligus direktur of Center for Suistanable Development Columbia University) dalam channel youtube Gita Wirjawan

Penulis: Isna Asaroh – Sekretaris Kopri Cabang Jember

Show More
Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami