Akademika

THE SLEEPING KING; Tentang Sang Pelanjut Budaya Tidur dari Jember

Tidur adalah proses recovery tubuh. Kekuatan kerja darah, jantung, mata, telinga dan seluruh organ dalam tubuh memiliki batasan. Apabila daya tubuh sampai pada titik maksimal, akan melemah. Jika tidak recovery, seluruh organ akan mengalami disfungsi atau sakit. Pada saat tidur, otak, mata, syaraf, dan seluruh indra melemah bahkan tidak berfungsi, kemudian kembali memiliki daya maksimal setelah bangun. Tidak mengherankan, Dalam kacamata sosiologis, tidur disebut titik kealpaan manusia dalam menyadari lingkungannya. Secara psikis, tidur adalah pelepasan sementara tekanan (stress) psikososial manusia sebagai proses recovery kelemahan jiwanya. Aristoteles menjelaskan bahwa tidur sebagai De Somno adalah ketidakmampuan organ indra dalam memproses sensasi yang muncul dari luar tubuh. Jadi tidur merupakan titik lemah manusia. Karena itu pula, sangat rasional, ketika agama Islam dalam Al Qur’an menjadwal tidur di waktu malam demi tubuh bisa maksimal saat bekerja di siang hari (Surat Al Rum; 23).

Walaupun konsepsi tidur telah jelas secara sosial maupun medis, namun masih banyak tokoh yang memilihnya sebagai rutinitas tidak terjadwal bahkan sebagai jalan menemukan kebenaran hakiki. Mereka kebiasaan tidur yang aneh dan di luar jadwal pada umumnya manusia. Tidak main-main, banyak dari mereka merupakan pemikir jempolan, bahkan pemimpin terkenal. Penulis menyebut mereka sebagai the sleeping king, sebab bukan hanya ahli tidur namun juga pemimpin budaya bahkan kelembagaan masyarakat. Tulisan ini berupaya memperinci tiga tokoh yang dianggap sering tidur namun terkenal sebagai pemikir dan pemimpin. Satu tokoh dari Eropa, Rene Descartes, sang penggagas budaya tidur. Satu tokoh lainnya dari Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Akrab dipanggil Gus Dur), pemikir dan pemimpin Jempolan. Keduanya telah wafat dan dapat dikatakan tokoh terkenal budaya tidur luhur terdahulu. Yang terakhir, ada lelaki separuh baya yang berasal Jember. Bisa diposisikan sebagai penerusnya, sebab masih hidup dan sedang menjadi pemimpin. Ia adalah pimpinan salah satu pendidikan tinggi.

Tidurnya Leluhur The Sleeping King

Berbicara kebiasaan tidur orang-orang hebat, mesti ada dua leluhur yang cukup masyhur, yakni Descartes dan Gus Dur. Keduanya berbeda asal, zaman dan gagasan, namun memiliki kesamaan dalam hal tidur dan sama bermanfaat bagi penerusnya. Penulis membahasnya satu persatu agar bisa dibedakan dengan jelas. Pertama, Descartes. Lelaki kelahiran Prancis ini menjalani hidup yang monoton selama puluhan tahun. Ia menjalani separuh hidupnya dengan tidur. Dalam sehari, bisa sampai 10 hingga 12 jam. Sungguh, fakta ini di luar waktu tidur yang ideal seperti yang disarankan para dokter. Kata dokter, waktu tidur dalam sehari idealnya 8 jam. Sementara Descartes 2 hingga 4 jam lebih dari ketentuan. Kalau dilihat dari kalkulasi matematis, dalam 53 tahun umurnya, ia menghabiskan kurang lebih 22 hingga 26 tahun untuk tidur. Bahkan ada penelitian yang mengidentifikasi dirinya wafat karena Delayed Sleep Phase (DSP). Penyakit ini disebabkan oleh tidur yang tak teratur atau gangguan ritme sirkadian. Coba bayangkan, betapa umurnya tidak sia-sia.

Baca Juga:  Moment Politik : Indonesia Minim Isu Politik Hijau

Walaupun ia tidak efisien dalam umur, bukan berarti tidak bermanfaat bagi bangsa dan generasi setelahnya. Pengaruh dan sumbangsih pikirannya sangat terasa dalam dikursus ilmu pengetahuan modern. Ia menganggap tidur sebagai metode berpikir paling murni. Melalui kebiasaan tidurnya, ia menemukan fungsi kelenjar pilenial (the pineal gland) di otak manusia saat tidur. Kelenjar ini mampu mentransformasi visualisasi, ilusi menjadi kebenaran yang nyata. Temuan ini yang pada perkembangannya menjadi dasar ucapannya yang masyhur, “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada). Baginya, kebenaran realitas dibentuk oleh pikiran manusia sendiri. Buktinya saat tidur, kelenjar pilineal melahirkan mimpi yang tampak tak berbeda dengan realitas sebelum tidur. Logika ini yang menginspirasi lahirnya mazhab rasionalisme dalam filsafat modern. Karena ini pun, selain dapat disebut sebagai the sleeping king, ia sebenarnya juga the rationalism king.

Kedua, Gus Dur. Seorang santri, lulusan pesantren yang lahir di Jombang. Kebiasaan tidurnya mulai dikenal luas saat ia jadi presiden. Ia mudah terlelap dimana dan kapan saja. Saat baru duduk di kursi tamu undangan, di kendaraan bahkan disidang paripurna DPR . Fakta demikian bukan hanya beredar di cerita-cerita saja, namun juga banyak bukti foto dan video yang menyebar hingga saat ini. Secara medis, kebiasaan demikian tentu tidak sehat. Walaupun usianya tak sependek Descartes dan tokoh-tokoh yang tidurnya amburadul seperti Fitzgerald, Picasso, dan Jackson Pollock. Namun, kesehatannya juga sering terganggu hingga ia wafat pada usia 69.

Tidur Gus Dur tidak sama dengan cara tidur Descartes. Tidur Gus Dur tampak natural, seperti kelelahan atau butuh istirahat. Sedangkan Descartes meyakininya sebagai cara berpikir yang murni. Persamaannya, konsep tidur keduanya sama tampak tidak umum. Descartes tidur panjang dan merasa berpikir. Sedangkan Gus Dur, tidur di forum dan tampak telah berpikir apa yang dibicarakan. Ada satu cerita lucu dari kolega-koleganya, Gus Dur pernah tidur saat acara kunjungan kenegaraan ke India. Kisah ini disaksikan langsung oleh Mahfud MD yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Saat Perdana Menteri India, Atal Bihari Vajpaye, menjelaskan beberapa persoalan yang dihadapi kedua negara. Gus Dur malah tidur, seolah tak peduli pada persoalan yang sedang dijelaskan. Anehnya, ketika sang perdana menteri selesai bicara, Gus Dur pun menjawab seluruh persoalan dengan sangat memuaskan. Sontak seluruh hadirin terkejut.

Baca Juga:  Gali Bakat dan Minat Mahasiswa, DEMA FEBI Selenggarakan FEBI TALENTO 2022

Sebenarnya bukan hanya fakta di atas, banyak hal yang menunjukkan tidurnya Gus Dur bukan tidur pada umumnya. Orang yang tidur mesti indranya melemah dan terhenti. Secara medis, baik tidur pada NREM (non rapid eye movement) ataupun REM (rapid eye movement), tubuh manusia mengalami penurunan fungsi fisiologi. Artinya, kemampuan orang tidur dalam memproses hasil panca indra sangat kecil. Gus Dur tidak demikian, saat ia tidur seolah panca indra dan otaknya masih mampu memproses informasi. Pada sisi ini, tidurnya terlihat sebagai bentuk praksis dari ide Descartes. Kelanjar pilineal yang dikemukakan Descartes, dapat memproses visualisasi saat tidur, dan bekerja maksimal dalam tidur Gus Dur.

Sebagaimana Descartes, Gus Dur dengan kebiasaan tidurnya tidak dipandang sebelah mata. Ia memperkenalkan gagasan konsep pribumisasi Islam. Pikirannya juga menginspirasi tokoh-tokoh setelahnya seperti Mahfud Md, Khofifah, hingga Gus Yahya yang saat ini jadi ketua PBNU. Hal paling mencengangkan dari gagasan dan tindakan leluhur the sleeping king kedua ini, ia juga disebut sebagai bapak pluralisme Indonesia oleh presiden setelahnya. Penyebutan ini karena jasanya dalam memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. Dengan demikian, bagi penulis, Gus Dur juga dapat disebut sebagai the pluralism king.

Sang Pelanjut Budaya Tidur Dari Jember

Hamid Pujiono (selanjutnya disingkat HP), lelaki separuh baya yang juga memiliki kebiasaan tidur tidak pada umumnya. Sebagaimana Gus Dur, ia yang kebetulan menjadi Rektor di salah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) di Jember, juga sering terlihat tidur dimana dan kapanpun. Beberapa orang yang menyaksikannya, pasti terheran-heran bahkan ada yang sebenarnya juga kasian dan khawatir. Kasian karena sebagaimana Gus Dur, orang yang tidurnya tidak teratur juga disebabkan dari pikiran serta tindakan yang tidak pernah absen dalam realitas masalah yang terjadi. Bisa saja HP juga demikian, ia memiliki jabatan dan tanggung jawab dimana-mana. Bukan hanya ASN dosen, pernah juga jadi dekan di PTKIN Jember, pengurus MUI, NU, bahkan saat ini ditambah jadi rektor di salah satu PTKIS Jember. Besar kemungkinan, semua itu yang membuatnya gampang lelah dan tertidur walau di muka umum.

Ada kesaksian dari beberapa mahasiswanya, saat mengajar di salah satu PTKIS Jember. Salah satunya seseorang berinisial RS, yang sekitar tahun 2017 telah lulus kuliah. Ceritanya, pernah suatu ketika, saat sedang asyik mendengarkan presentasi temannya di kelas. Ada suara dengkuran orang tidur. Ia tentu terkejut, ternyata yang tidur adalah dosennya, yakni HP, yang kebetulan mengajar mata kuliah hukum Islam. Biasanya yang tertidur mahasiswa, ternyata saat itu malah dosennya. Tidak yakin dosennya tertidur, ia maju ke kursi paling depan. Tapi tampak belum ada respons. Untuk meyakinkan kembali, ia bangun dan coba melakukan tarian lucu-lucuan. Ternyata tetap tidak bangun. Hingga, akhirnya dia pun yakin, kalau dosennya benar-benar tertidur.

Baca Juga:  KH. Moenshif Nachrawi: Empat Alasan Mahbub Junaidi Jadi Ketum PB PMII Pertama

Juga ada juga kesaksian lain dari seorang yang berinisial MM, mahasiswa yang baru lulus tahun 2023 kemarin. Menurut MM, kebiasaan tidurnya sangat di luar nalar. Dosen yang bersangkutan pernah tertidur saat lagi menguji ujian akhir kuliah secara lisan. Baginya, kebiasaan tidurnya sangat aneh, sebab terjadi beberapa menit setelah ia menanyakan sesuatu. Bukan hanya itu,  FA, seorang mahasiswa hukum yang hari ini menempuh magister di salah satu kampus tempat HP mengajar. Ceritanya tampak sama lucu dengan tidurnya Gus Dur. HP tertidur saat para mahasiswa sedang asyik berdebat masalah pengantar filsafat. Karena perdebatan semakin memanas, ia terbangun. Tidak sebagaimana Gus Dur yang bangun lalu menjawab persoalan. Bukan berupaya menengahi perdebatan, ia malah mengatakan, “tidak usah panjang-panjang, sebab bukan tentang fardhunya sholat”. Sebagian mahasiswa diceritakan tertawa mendengar komentar sederhana yang di luar nalar itu. FA merasa aneh dan jadi bertanya-tanya, apa guna mata kuliah pengantar filsafat diampuh, kalau dianggap tidak penting karena tak ada hubungannya dengan sholat.

Jadi, dari beberapa kesaksian malah, yang tampak dari tidurnya HP adalah lelucon dan kekhawatiran mahasiswa dan koleganya. Sebagaimana yang diinformasikan dari MM dan RS, ada beberapa mahasiswa putus asa menyelesaikan tugas akhir di bawah bimbingannya. Mereka baru lulus setelah ganti pembimbing. Masalahnya bervarian, ada yang karena diskomunikasi. Bahkan ada yang disebabkan karena HP sering memberi usulan revisi pada usulannya sendiri di revisi sebelumnya.

Garis besarnya, sebagai pelanjut the sleeping king, HP masih tak sehebat para pendahulunya. Walaupun demikian, kesimpulan ini masih belum final. Kariernya masih panjang. Walaupun tidur tidak teratur, ia masih sehat. Tidak seperti Descartes yang wafat usia muda. Penglihatnya, juga masih kuat, tidak seperti Gus Dur. Artinya, HP masih memiliki kesempatan besar untuk mengejar ketertinggalan dari pendahulunya. Apalagi saat ini, ia sedang menjadi rektor salah satu PTKIS di Jember. Entah bagaimana progres kampus yang dipimpinnya saat ini? Mungkinkah masalah yang muncul tetap sama seperti sebelumnya? Entah, yang penting mari do’akan, peran dan manfaatnya senada dengan dua leluhur the sleeping king terdahulu.

Penulis: M. Noval Agustian

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda