Moralitas Insan Religius
Oleh: Bagaskara Dwi Pamungkas*
Tujuan hidup manusia sebagai seorang hamba pada hakikatnya adalah mengenal dan berbakti terhadap Tuhan, totalitas takluk tunduk terhadap kemauan Tuhan. Aktivitas tersebut merupakan pengejawantahan dari konsep keimanan seseorang. Senyampang kehendak agama, sedikitnya ada perkara nyata yang layak mendapatkan atensi khusus dari manusia selaku Khalifah fil Ardl, yaitu perjuangan atas kedaulatan manusia lainnya, sekaligus melestarikan lingkungan yang telah Tuhan titipkan kepada manusia.
Manusia datang ke dunia dan meninggalkan dunia tidak dengan kehendak dan pengharapannya sendiri. Ia adalah suatu makhluk, dan Tuhan-lah yang menjadikan manusia dilengkapi sifat dan kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih indah dari pada binatang, jin, malaikat dan makhluk-makhluk lainnya. Tuhan cukup berbaik terhadap manusia, dengan cara memberikan apa yang Tuhan tidak berikan kepada makhluk lainnya, yaitu akal atau pikiran. Dengan manusia dikaruniai pikiran, sudah selayaknya menggunakannya untuk hal-hal yang positif.
M.H. Ainun Najib (Cak Nun), seorang agamawan juga budayawan, pernah membangun logika menarik dengan menggunakan tiga cara pandang, yaitu idealisme, intuisi dan ke-Islaman. Menurut Cak Nun, konsep dasar Islam bukan hanya Al-Quran dan Hadist, melainkan juga pikiran dan hati manusia.
“Apakah kemudian manusia menunggu dalil hanya untuk tidak berbuat jahat terhadap manusia lainnya? Sementara hati dan pikirannya tau bagaimana rasanya apabila ada orang yang melukai kita!,” kata Cak Nun.
Ibrah daripada logika yang dibangun Cak Nun tersebut, secara eksplisit menegaskan untuk manusia dengan maksimal menggunakan akal, hati, sekaligus moral religius secara arif. Realitas sosial cukup banyak memotret gambaran manusia yang berani menghalalkan segala cara terhadap manusia lainnya hanya untuk kepentingan individunya, ala-ala Machiavellistis. Baik dengan cara intervensi kebijakan atau sistem kerja yang dapat membuat kesehatan jasmani dan mental manusia terganggu.
Apabila kiranya ‘kapital’ atau ‘kekuasaan’ tersedia di masing-masing individu, alias sedang beruntung, jangan sampai kapital atau kekuasaan tersebut menjadi instrumen yang dapat dipakai untuk mengekploitasi manusia lainnya hanya untuk mengakomodir kepentingan individunya. Karena apabila itu terjadi, secara tidak langsung Ia hendak menyaingi Tuhannya, seolah-olah dengan kekuasaan dan kapital tersebut ia dapat menentukan rejeki atau takdir seseorang.
Padahal, hidup, rezeki dan kematian seseorang ada dalam genggaman Ilahi. Takdir adalah kepastian. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan pada hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan, karena semurni-murni melakukan pengabdian kepada Tuhannya.
Rahmat asali manusia adalah berdaulat atas dirinya sendiri dengan aneka talenta yang telah Tuhan anugerahkan. Manusia bebas menentukan nasibnya sendiri. Masing-masing individu tidak boleh, bahkan pantang untuk terus menerus merendahkan diri di hadapan pihak lain, siapapun harus berani meneriakkan bahwasanya, ‘Kita dengan siapapun setara’. Pembeda di antara manusia hanyalah tingkat ketakwaan sekaligus keimanan, bukan pangkat atau kekayaan.
Siapapun layak mendeklarasikan dirinya sebagai manusia berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, berpikir dan bertindak atas kehendak sendiri. Manusia adalah makhluk yang telah diberikan otonomi oleh Tuhan. Takdir manusia adalah merdeka. Karena, sesekali manusia mencoba memberikan otorita dirinya kepada orang lain, maka sama saja dengan Ia menyerahkan lehernya secara murahan untuk dipenggal, yang pada akhirnya, hidup dan matinya ditentukan oleh orang tersebut.
*) Mahasiswa FISIP Universitas Islam Jember