Analisa

Mengulas Larangan Baju Bekas di Tengah Trend Thrifting

Akhir-akhir ini, pakaian bekas menjadi perdebatan panjang karena dinilai merugikan usaha industri tekstil dalam negeri. Seperti diketahui, pakaian bekas yang dijual di Indonesia berasal dari luar Negeri dengan nilai akumulasi harga yang cukup fantastis.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), potensi nilai impor pakaian ilegal pada 2018 mencapai Rp 89,37 triliun. Pada tahun 2019, tembus Rp 89,06 triliun dan melonjak hingga Rp 110,28 triliun pada 2020. Kemudian pada 2021 mencapai Rp 103,68 triliun, dan tahun 2022 senilai Rp 104,41 triliun.

Tingginya valuasi impor tersebut membuat pemerintah geram. Bahkan melarang pengusaha pakaian bekas untuk menjual produk luar negeri itu. Presiden Joko Widodo angkat bicara perihal bisnis impor pakaian bekas. Menurutnya, bisnis ini dapat mengganggu industri tekstil dalam Negeri.

“Itu mengganggu industri tekstil di dalam Negeri. Sangat mengganggu, yang namanya impor pakaian bekas, mengganggu. Sangat mengganggu industri dalam Negeri kita” kata Jokowi di Istora Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Rabu (15/03/2023).

Trend  impor pakaian bekas

Kebutuhan akan style berpakaian menjadi salah satu penyebab permintaan akan pakaian terus bertambah. Sebab, di setiap era memiliki gaya fashion yang selalu dinamis dan mengikuti perkembangan jaman.

Pada revolusi industri di akhir abad ke-19, kehadiran mesin jahit dan peralatan tekstil menjadikan produksi pakaian lebih cepat dan massal. Akibatnya, banyak pakaian bekas yang dibuang. Kemudian disusul dengan adanya resesi ekonomi akibat perang dunia ke I dan II menyebabkan perubahan besar-besaran terhadap kondisi ekonomi dunia.

Situasi itu memunculkan gerakan memanfaatkan barang bekas layak pakai untuk digunakan kembali. Mengutip dari The State Press,  pada awalnya, gerakan ini berkembang di Amerika Serikat, dimana pakaian bekas dikumpulkan kembali dan dijual untuk didonasikan.

Baca Juga:  Polusi Udara di Ibu Kota Jakarta

Thrifting di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak tahun 1980-an, yaitu dimulai dari daerah pesisir laut seperti Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan Sumatera yang notabene-nya dekat dengan negara tetangga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, Indonesia mengimpor pakaian bekas dan barang tekstil bekas (kode HS 63090000) sebanyak 26,22 ton dengan nilai total impor mencapai USD 272.146 atau sekitar Rp 4,18 miliar (kurs Rp 15.375 per USD).

Sementara pada tahun sebelumnya, yakni dari tahun 2011 hingga 2021 jumlah impor pakaian bekas ke Indonesia fluktuatif. Kemudian diketahui, jumlah barang sitaan berupa pakaian bekas impor ilegal dari hasil penelusuran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sepanjang Januari hingga Februari 2023 senilai Rp1,4 miliar.

Berdasarkan data dari DJBC, perkiraan nilai seluruh barang hasil penindakan (BHP) berupa pakaian bekas impor ilegal sepanjang 2023 mencapai Rp1,4 miliar. Masih tingginya nilai impor adalah indikasi bahwa trend thrifting di Indonesia bisa dikatakan masih eksis hingga sekarang, meski di tengah kerasnya larangan impor pakaian bekas yang digalakkan oleh pemerintah.

Maraknya pemakaian thrifting seakan sudah sangat melekat. Bahkan menjadi gaya fashion  tersendiri.  Hal ini disebabkan beberapa faktor, pertama yaitu brand (merk pakaian yang dijual rata-rata berasal dari brand  terkenal, sebut saja Zara, H&M, Adidias, Nike dll). Kedua, yaitu dari segi harga (rendahnya harga jual dibandingkan produk yang baru), dan ketiga kelangkaan beberapa jenis pakaian tertentu.

Sisi gelap impor pakaian bekas thrifting

Isu perdagangan pakaian bekas sudah merebak di berbagai dunia, baik itu di negara maju maupun negara berkembang. Mirisnya, isu ini memiliki dampak negatif bagi negara berkembang yang seolah-olah menjadi penadah pakaian bekas yang sudah tidak dipakai di negara maju.

Baca Juga:  Larangan Merayakan Hari Valentine di Depok, Azas Tigor: Bertentangan dengan Nilai Pendidikan

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tidak luput dari tujuan ekspor pakaian bekas. Pemasok pakaian bekas impor terbesar ke Indonesia berdasarkan nilai impor tertinggi yaitu Australia, Jepang, Amerika Serikat dan Singapura.

Sisi gelap atau dampak negatif dari impor pakaian bekas ada 2 (dua) hal yaitu dampak kesehatan dan berdampak pada ekosistem industri tekstil dalam negeri. Ketua umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengemukakan bahwasannya adanya impor pakaian bekas akan berdampak pada industri tekstil Nasional.

”Industri Kecil dan Menengah (IKM) di sektor penjahit sangat terganggu karena harus bersaing dengan pakaian bekas impor. Yang berakibat utilisasi industri TPT Nasional menurun. Kerugian berdampak terhadap utilisasi dan berimbas juga terhadap pengurangan tenaga kerja” kata Jemmy (15/03/2023).

Senada dengan pernyataan dari Ekonom Indef, Rizal Taufikurahman yang mengatakan bahwa pakaian bekas impor akan menurunkan produktivitas dan kinerja industri tekstil. Harga tekstil dalam negeri menjadi tidak kompetitif serta berpotensi menurunkan daya saing industri tekstil lokal, termasuk di dalamnya UMKM. 

“selain itu, juga akan menyebabkan dampak buruk terhadap kesehatan karena pakaian bekas impor tidak terjaga kebersihannya,” tuturnya.

Larangan impor thrifting

Berdasarkan data BPS, pemerintah kehilangan pendapatan hingga Rp 19 triliun, imbas masuknya pakaian bekas impor ilegal sebanyak 320 ribu ton ke Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi), Redma Gita Wirawasta mengatakan, jika pengusaha pakaian baju bekas membayar pajak dan biaya masuk, pemerintah tidak akan mengalami kerugian.

“Kalau oknum importir tersebut tidak ilegal dengan mau membayar pajak dan biaya masuk, pemerintah tidak kehilangan pendapatan sebesar Rp 19 triliun,” tutur Redma dalam Konferensi Pers di Hotel Mercure Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Baca Juga:  Arogansi Berujung Jeruji Besi

Kementerian Perindustrian mencatat, pada rentang tahun 2015-2021 telah terjadi selisih yang cukup signifikan terkait data total nilai dan total berat impor pakaian bekas yang masuk ke Indonesia, yaitu antara data yang dicatat oleh BPS dengan yang dicatat oleh Negara Eksportir.

Ketimpangan data itu tentu menjadi tanda tanya mengenai keabsahan data yang valid. Sehingga perihal pelarangan impor pakaian bekas dan harapan menaikan brand lokal akan sukar terealisasi jika validitas data tersebut tidak dievaluasi.

Terkait kebijakan mengenai thrifting  telah diatur oleh Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan. Dalam undang-undang tersebut mengenai thrifting disebutkan bahwa “setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan yang baru”.

Lebih lanjut, larangan impor pakaian bekas juga tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang perubahan Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor yaitu terdapat pada pasal 2 ayat 3 yang berbunyi “bahwa barang dilarang impor, antara lain kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas”.

Adanya aturan larangan impor pakaian bekas agar membantu menaikkan brand produk lokal, sehingga bisa dikenal di khalayak umum baik itu tingkat Nasional hingga Internasional. Selain itu, bertujuan untuk membuka peluang kerja dan menaikkan taraf perekonomian bagi masyarakat.  

Bila produk lokal mampu bersaing baik dengan produk luar, maka  tidak menutup kemungkinan akan membuat perusahaan tersebut menjadi besar. Sehingga dampak kedepannya mampu menciptakan banyak lapangan pekerjaan.

Oleh karena itu, dengan sederet aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah seyogyanya dapat diimplementasikan dengan baik. Tentunya harus diimbangi dengan tindakan tegas yaitu penegakan hukum bagi orang-orang yang melanggar. Harapannya agar aturan yang telah ditetapkan dapat berjalan dengan semestinya.

Penulis:Hvd l Editor: Uud

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda