Kritik terhadap Narasi Kampanye Gus Fawaid: Intrik yang Tidak Etis dalam Pilkada Jember
Penulis : Nanda Khoirur Rijal (Santri Nasionalis)
Deras.id – Dalam momentum perayaan pesta demokrasi, kampanye politik seharusnya menjadi ruang pertarungan gagasan dan program kerja yang mengutamakan kepentingan publik. Namun sayang seribu sayang, pernyataan salah seorang calon bupati Jember, Gus Fawaid, di masa-masa tenang, justru membuat masyarakat dan para santri Jember gelisah, bahkan meradang.
Gus Fawaid dalam salah satu kampanyenya menyampaikan bahwa ada gerakan besar untuk menggagalkan dirinya untuk menjadi orang nomor satu di Jember, dan menurutnya gerakan yang dilakukan sama dengan cara-cara yang dilakukan saat meletusnya gerakan 30 September yang sarat dengan konotasi PKI.
Gus Fawaid menunjukkan pola kampanye yang tidak hanya problematis, tetapi juga mencederai nilai-nilai moralitas, demokrasi, dan integritas politik. Seharusnya komunikasi publik semacam ini penting untuk di jaga guna mewujudkan kualitas demokrasi dan memitigasi dampak destruktif dari praktik politik yang manipulatif.
Pernyataan tersebut secara intrinsik mengadakan tuduhan adanya gerakan “terstruktur, sistematis, dan masif” (TSM) yang bertujuan menggagalkan dirinya. Tuduhan ini bukan tuduhan biasa, karena telah mengaitkan dengan narasi sejarah kelam Gerakan 30 September (G30S) dan PKI.
Dalam konteks politik, narasi seperti ini mencerminkan praktik black campaign yang bertujuan mendiskreditkan lawan dengan cara manipulatif, meskipun tidak ada bukti konkret yang mendukung klaim tersebut.
Pernyataan ini bertambah ironi ketika lawannya adalah Gus Firjaun, yang merupakan salah seorang tokoh agama yang mewakili pasangan calon Haji Hendik, dan sekaligus putra KH. Achmad Siddiq—tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU).
Narasi Gus Fawaid seolah mengesampingkan fakta bahwa NU memiliki peran historis dalam melawan PKI pada 1965. Mengaitkan lawan politiknya dengan narasi PKI, meskipun secara implisit, menunjukkan upaya membangun citra negatif melalui cara yang tidak etis.
Barangkali kita semua tahu, bahwa dalam teori komunikasi politik telah mengajarkan tentang cara-cara ideal yang harus memenuhi prinsip-prinsip kejelasan, kejujuran, dan tanggung jawab. Habermas dalam teori public sphere menekankan bahwa komunikasi publik dalam demokrasi harus bersifat rasional dan inklusif, mengutamakan dialog berbasis argumentasi yang dapat diverifikasi, namun pernyataan Gus Fawaid tersebut sama sekali tidak memenuhi prinsip ini, karena telah menggunakan narasi ketakutan dengan menyamakan strategi yang dilakukan lawan politiknya dengan gerakan PKI.
Gus Fawaid bermain dengan fear appeal—strategi komunikasi yang memanipulasi ketakutan publik untuk memperoleh keuntungan politik. Dalam konteks demokrasi, strategi ini kontraproduktif karena menciptakan polarisasi dan mencederai kebebasan berpikir masyarakat. Tidak hanya itu, ia juga mengabaikan Rasionalitas. Alih-alih menyajikan data atau argumen yang rasional, pernyataan tersebut lebih bersifat emosional dan provokatif. Hal ini menunjukkan rendahnya komitmen terhadap komunikasi yang berbasis fakta.
Demokrasi yang sehat membutuhkan persaingan politik yang berbasis pada gagasan dan program kerja. Dalam hal ini, pernyataan Gus Fawaid bertentangan dengan nilai-nilai inti demokrasi. Yaitu penyalahgunaan narasi sejarah. Mengaitkan lawan politik dengan narasi PKI adalah bentuk manipulasi sejarah yang menciptakan stigma negatif tanpa dasar. Padahal, demokrasi seharusnya menjadi ruang kompetisi yang adil, bukan ajang untuk menyebarkan fitnah atau menyulut konflik horizontal.
Dan argumentasi semacam itu juga dapat merusak kepercayaan publik. Menyebarkan tuduhan tanpa bukti dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan apatisme politik dan menciptakan atmosfer politik yang penuh curiga.
Pernyataan Gus Fawaid itu dapat dikategorikan sebagai bentuk black campaign, karena kampanye yang bertujuan menjatuhkan lawan dengan menyebarkan informasi negatif yang sering kali tidak berbasis fakta. Dalam etika politik, praktik semacam ini dianggap amoral karena mengabaikan nilai moral dan agama.
Sebagai seorang calon pemimpin yang juga dikenal sebagai tokoh agama, Gus Fawaid seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama dalam berpolitik. Narasi yang ia gunakan justru mencerminkan ambisi politik yang mengabaikan prinsip kejujuran dan penghormatan terhadap sesama.
Apalagi ia bisa menciptakan polarisasi sosial. Menggunakan isu sensitif seperti PKI dapat memicu perpecahan di masyarakat, terutama di daerah seperti Jember yang memiliki sejarah kuat dengan NU. Polarisasi ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mengancam stabilitas sosial.
Sudah barang mesti dengan penyataan tersebut Gus Fawaid tidak mensimbolan bahwa ia seorang pemimpin sejati, alih-alih mampu mempersatukan masyarakat dan menghadirkan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, justru melontarkan pernyataan yang mencerminkan sikap yang jauh dari sifat seorang negarawan.
Seorang negarawan sejati akan mengutamakan Intrik daripada Solusi. Alih-alih menyampaikan visi, misi, dan program kerja yang konkret, Gus Fawaid lebih memilih membangun narasi destruktif untuk menyerang lawan politiknya. Hal ini menunjukkan kurangnya kapasitas kepemimpinan untuk menghadirkan perubahan yang nyata.
Mengabaikan Prinsip Kepemimpinan Moral. Pemimpin yang baik harus menjadi teladan moral bagi masyarakat. Menggunakan isu sensitif dan tuduhan tak berdasar mencerminkan kurangnya integritas dan tanggung jawab sebagai calon pemimpin.
Dari pernyataan Gus Fawaid itu tidak hanya akan berdampak pada citranya sebagai kandidat, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas terhadap politik lokal di Jember. Ia akan merusak tradisi politik NU, sebagai daerah dengan basis Nahdlatul Ulama yang kuat, Jember memiliki tradisi politik yang berbasis pada nilai-nilai moderasi dan kebersamaan. Pernyataan seperti ini berisiko mencederai tradisi tersebut.
Apalagi dapat menyuburkan politik identitas, dengan mengaitkan lawan politik dengan isu PKI dapat memperkuat sentimen politik identitas yang berbahaya. Hal ini bertentangan dengan semangat kebhinekaan dan inklusivitas yang seharusnya dijunjung tinggi.
Padahal seharusnya untuk menciptakan politik yang lebih sehat, Gus Fawaid melakukan beberapa langkah yang lebih bijak lagi untuk meraup suara masyarakat Jember, seperti mengutamakan program kerja. Kandidat harus berfokus pada menyampaikan visi dan misi yang jelas serta program kerja yang konkret untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Dan menghindari Intrik dan Fitnah. Kampanye harus dilakukan dengan menghormati lawan politik dan menghindari penggunaan isu sensitif yang dapat memecah belah masyarakat.
Gus Fawaid sebagai sesosok yang nantinya kalau menang menjadi panutan masyarakat Jember, seharusnya nengedepankan etika politik, dengan menjunjung tinggi etika politik dengan berkomunikasi secara jujur, terbuka, dan bertanggung jawab.
Masyarakat Jember masih sangat memerlukan pendidikan politik, perlu diedukasi untuk memahami pentingnya memilih pemimpin berdasarkan gagasan dan program kerja, bukan berdasarkan narasi emosional atau manipulatif.
Maka sangat disayangkan apabila pernyataan Gus Fawaid yang menyamakan gerakan lawan politiknya dengan gerakan G30S dan PKI, yang merupakan bentuk kampanye tidak sehat dan tidak mencerminkan sifat seorang pemimpin, agamawan, atau negarawan.
Sebagai calon pemimpin, Gus Fawaid seharusnya berfokus pada penyampaian program kerja dan gagasan yang solutif, bukan menyebarkan narasi destruktif yang memecah belah masyarakat. Politik yang bermartabat hanya dapat terwujud jika semua pihak berkomitmen untuk mengutamakan kepentingan publik di atas ambisi pribadi.