Syarat-Syarat Wajib dalam Nafkah Menurut Imam Syafi’I dan Hanafi
Jakarta, Deras.id – Memahami syarat-syarat yang menyebabkan diwajibkannya nafkah akan lebih komprehensif jika menyimak pendapat dari beberapa mujtahid. Berikut beberapa syarat wajib nafkah bagi suami yang menurut beberapa ulama.
- Imam Syafi’i
Nafkah diukur dengan jenis-jenis makanan berdasarkan penjelasan sebelumnya. Bila suami ingin memberi nafkah berupa uang atau pengganti lain, istri wajib mengambilnya. Hal serupa juga dilakukan bila istri meminta na{kah berupa uang ia harus menerimanya. Kecuali bila keduanya sepakat untuk itu, hukumnya sah. Meski demikian, masing-masing dari keduanya boleh menarik kembali kesepakatan yang telah dibuat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
- Imam Hanafi
Ada beberapa syarat wajib nafkah bagi suami: Pertama, akad nikahnya harus sah. Apabila suami menikahi istrinya dengan akad nikah yang tidak sah atau batil lalu memberi nafkah pada istrinya, setelah itu baru tahu bahwa akad nikah mereka tidak sah atau batil, maka suami memiliki hak untuk menarik kembali nafkah yang telah diberikan kepada istri, sebab nafkah hanya wajib bagi lelaki sebagai ganti karena menahan istri, sementara wanita yang dinikahi dengan akad nikah yang tidak sah bukanlah wanita yang ditahan. Bila anda berkata, “Bila si lelaki menyetubuhinya dengan akad tidak sah, si wanita wajib menunggu masa iddah dari lelaki tersebut, dan ketika berada dalam masa iddah, ia ditahan oleh suaminya.
Kedua, istri harus mampu untuk disetubuhi oleh suaminya atau oleh lelaki lain. Dalam hal ini tidak disyaratkan usia baligh, namun diperkirakan berdasarkan kondisi istri, sebab bisa jadi masih kecil namun sudah mampu disetubuhi, dan bisa jadi sudah dewasa namun kurus dan tidak bisa disetubuhi. Bila istri masih kecil dan sudah kuat disetubuhi lalu ia menyerahkan dirinya kepada suami, maka suami wajib memberinya nafkah meski suaminya masih kecil dan belum mengerti hubungan badan.
Selanjutnya, nafkah dalam kondisi seperti ini harus diambilkan dari harta suami yang masih kecil tersebut, bukan dari ayahnya. Bila si anak kecil tidak memiliki uang, saat itu ayahnya tidak harus memberi nafkah istri dari anaknya tersebut. Ia dapat meminjam uang dan memberi nafkah, kemudian ketika si kecil telah beranjak baligh dan memiliki uang, ia harus membayar hutang-hutangnya.
Namun ayah tidak boleh menikahkan anaknya yang masih kecil yang belum memiliki hasrat bila memang anaknya benar-benar belum bisa menentukan pilihah. Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya dalam pembasahan tentang wali di halaman 30 (buku asli), silahkan dibaca lagi.
Ketiga, istri tidak murtad. Bila istri murtad, maka nalkahnya gugur. Berbeda dengan istri kafir dzimmi dan suaminya muslim, ia berhak mendapatkan nafkah dari suaminya, baik nafkah suami istri ataupun nafkah iddah. Apabila wanita yang murtad bertaubat dan masuk Islam saat berada di masa iddatu maka nafkahnya sudah tidak kembali lagi. Berbeda dengan wanita yang membangkang, sebab kemurtadan menyebabkan perceraian dari pihak istri, dengan demikian ia sendiri yang membatalkan nafkahnya. Karena nafkah batal akibat perceraian, berarti nafkah tersebut tidak kembali lagi. Berbeda dengan kasus pembangkangan. Ini adalah masalah yang muncul dan bisa hilang, saat itu nafkah dibekukan, bukan dibatalkan. Bila istri kembali taat, berarti hak nafkah juga kembali lagi.
Keempat, istri tidak melakukan perbuatan yang mengharamkan pernikahan, meski berupa rayuan terhadap anak dari suaminya (anak tiri), ayah suami (mertua) dan menyerahkan diri padanya atau menyentuh dengan syahwat. Saat itu ia tertalak ba’in dari suaminya dan tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami, karena seperti yang telah anda tahu, wanita tersebut melakukan perbuatan yang mewajibkan perceraian.
Dengan demikian perceraian dari pihaknya menggugurkan hak nafkah. Bila ia ditalak dan melakukan hal tersebut di masa iddah, bila ia berada dalam masa talak raj’i, berarti nafkahnya gugur. Sementara bila ia berada dalam masa iddah talak ba’in atau fasakh tanpa talak, ia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Kelima, bukan istri yang menanti iddah wafat, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya dalam nafkah iddah.
Keenam, bila berstatus budak, disyaratkan harus mabu’ah, artinya bila seseorang menikahi budak wanita milik orang lain, maka nalkahnya tidak wajib bagi suami, kecuali bila tuannya memberi rumah khusus untuk dia dan suaminya. Atau dengan kata lain tuannya menyediakan tempat tersendiri untuk dia dan suaminya dan tuannya tidak menggunakan jasanya di rumah itu. Bila budak seperti ini ditalak suaminya lalu tuannya menguasai dia, berarti nafkah iddahnya gugur.
Penulis: M.FSA I Editor: Apr