Berakhirnya Masa Iddah Istri yang Ditinggal Mati Suaminya dalam Keadaan Tidak Hamil
Jakarta, Deras.id – Seperti yang telah anda tahu sebelumnya, iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil berakhir bila ia melahirkan, meski sesaat setelah suaminya meninggal berdasarkan kesepakatan madzhab yang ada. Anda juga sudah tahu syarat-syarat berakhirnya iddah dengan melahirkan janin, juga pendapat fuqaha yang tidak sependapat dalam sebagian masalah ini, serta dalil-dalilnya.
Kini kami akan menyebutkan iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil, yaitu selama empat bulan sepuluh hari bagi wanita merdeka, dan separuhnya bagi wanita budak, yakni selama dua bulan sepuluh hari. Dalam hal ini tidak ada bedanya, apakah istri masih kecil atau sudah dewasa, sudah pernah disetubuhi atau belum, dan sudah tidak haid ataupun masih haid.
Ada beberapa hal yang disyaratkan untuk berakhirnya iddah wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan tidak hamil dengan hitungan bulan sebagaimana yang telah disebutkan, sebagai berikut:
Pertama, suami tidak menjatuhkan talak ba’in terhadapnya. Bila suami meniatuhkan talak ba’in terhadapnya kemudian suami meninggal dunia saat ia masih berada dalam masa iddah, ia meneruskan iddah talak dan tidak beralih ke iddah wafat. Bila ia hamil dan talak yang dijatuhkan ba’iry ia berhak mendapatkan nafkah hingga melahirkan janinnya. Lain halnya bila suaminya menjatuhkan talak raj’i lalu meninggal dunia sementara ia masih berada di masa iddah, saat itu iddahnya beralih dari iddah talak ke iddah wafat dan sisa iddah talaknya gugur saat ia masih berada dalam masa iddah.
Saat itu iddahnya beralih dari iddah talak ke iddah wafat dan sisa iddah talaknya gugur, seperti halnya hak nafkah juga gugur, sebab iddah yang membuat wanita berhak mendapat nafkah batal dan berakhir ke iddah baru. Karena itu ia wajib berkabung, yaitu tidak berhias. Berbeda dengan wanita yang ditalak ba’in. Ia tidak wajib berkabung, karena seperti yang telah Anda tahu berdasarkan iddah pertamanya, sehingga iddahnya tidak beralih ke iddah wafat.
Kedua, ia tidak ragu akan kebebasan rahimnya dari janin. Bila ia ragu akan keberadaan janin karena perut terasa berat atau karena adanya gerakan di dalam perutnya, hal itu tidak terlepas dari kemungkinan apakah keraguannya muncul sebelum masa iddahnya berakhir atau setelahnya. Bila keraguan muncul sebelum masa iddah berakhir, saat itu ia wajib menunggu hingga keraguan hilang, di mana bila iddahnya berakhir dan ia menikah lagi dengan lelaki lain, maka pernikahannya batil, bahkan meski terbukti ia jelas-jelas hamil. Keduanya harus memperbarui akad nikah.
Ketiga, berlalu empat bulan sepuluh hari berdasarkan perhitungan hilal plus malam-malamnya. Syarat perhitungan hilal dilakukan sebisa mungkin. Bila suami meninggal dunia di awal bulan, yaitu awal ru’yah hilal, itu harus berlalu selama empat bulan sepuluh hari berdasarkan perhitungan hilal plus malam-malamnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sementara bila yang bersangkutan meninggal dunia di pertengahan bulan, sisa bulan yang ada dihitung dengan jumlah hari, kemudian digenapkan dengan bilangan hari bulan yang kelima, sementara bulan yang ada di antaranya dihitung berdasarkan hilal.
Contoh, yang bersangkutan meninggal dunia di pertengahan bulan Sya’ban saat itu dihitung lima belas hari dari bulan Sya’ban, kemudian tiga bulan berikuhrya dihitung berdasarkan perhitungan hilal, yaitu bulan Ramadhan Syawal dan Dzul Qa’dah, kemudian diambil lima belas hari dari bulan kelima, yaitu bulan Dzul Hijjah, terhitung sejak yang bersangkutan wafat kemudian digabungkan dengan lima belas hari dari bulan Sya’ban sebelumnya, dengan demikian genap empat bulan, setelah itu diambilkan sepuluh hari plus malam-malamnya, dengan demikian iddahnya berakhir pada tanggal dua puluh enam Dzul Hijjah.
Berdasarkan qiyas, bila yang bersangkutan tidak bisa melihat awal bulan baru (hilal) dan tidak bisa mengetahui bilangan bulan yang genap dan kurang, saat itu ia menghitung bulan secara utuh (tiga puluh hari)
Penulis: M.FSA I Editor: Apr