Religi

Pendapat Madzab Maliki dan Hanafi Tentang Menikahi Muslimah Ahlul Kitab

Jakarta, Deras.id – Al-Qur’an sudah jelas ketetapannya mengenai status pernikahan antara muslim dengan perempuan Ahlul kitab. Namun bagaimana ijtihad para ulma’ dalam menetapkan hukum tersebut? Berikut penjelasannya menurut beberapa madzab.

  1. Madzhab Hanafi

Mereka mengatakan bahwasanya pernikahan dengan wanita Ahli Kitab dilarang jika dia berada di negeri Perang (Darul Harbi) yang tidak tunduk kepada hukum-hukum umat Islam, karena itu berarti membuka pintu bagi timbulnya fitnah. Sebab, wanita Ahli Kitab tersebut dapat mempengaruhi suaminya yang muslim hingga berperilaku sebagaimana perilakunya yang tidak dapat diterima Islam dan dapat memalingkan anaknya hingga memeluk agama selain agamanya, serta membuat dirinya tertekan hingga berakibat pada prahara yang tiada-taranya, yaitu kehilangan pengaruhnya untuk menjaga kehormatan istrinya, dan kerusakan-kerusakan lainnya.

Maka, meskipun akadnya dinyatakan sah, hanya saja melakukan pernikahan dengan wanita Ahli Kitab baginya merupakan tindakan yang makruh tahrim (harus dihindari) karena berakibat pada berbagai kerusakan di kemudian hari. Adapun jika wanita Ahli Kitab tersebut berada di negeri Islam (Dzimmiyah) dan tunduk terhadap perundang-undangan Islam, maka hukum pernikahannya adalah makruh tanzih (sebaiknya dihindari).

  • Madzhab Maliki

Ssedangkan menurut imam Malik terdapat dua pendapat, Pertama menyatakan bahwa menikahi wanita Ahli Kitab hukumnya makruh secara mutlak, baik wanita tersebut berada di negeri Islam (Dzimmiyah) maupun berada di negeri perang (Darul Harbi). Akan tetapi hukum makruh di negeri perang lebih berat.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya tidak makruh secara mutlak, sebagai pengamalan terhadap makna eksplisitnya, karena ayat memperkenankan wanita Ahli Kitab untuk dinikahi secara mutlak. Mereka berhujah atas hukum makruhnya di negeri Islam karena wanita Ahli Kitab tidak dilarang minum khamer tidak pula makan babi dan tidak pula dilarang pergi ke Gereja, padahal dia sebagai suaminya yang muslim tidak boleh melakukan itu semua, sementara wanita Ahli Kitab yang menjadi istrinya memberi makan anak-anak dengan santapan seperti itu hingga mereka tumbuh dalam pelanggaran terhadap ajaran agama.

Adapun di negeri perang maka perkaranya lebih berat, sebagaimana yang telah kami jelaskan menurut madzhab Hanafi. Barangkali ada yang mengatakan bahwa larangan-larangan ini adalah berarti diharamkan. Bagi madzhab Malik mendasarkan hal itu pada alasan Saddu Dzai’ah (langkah antisipasi untuk menutup pintu bahaya yang lebih besar).

Jika pemikahan dengan wanita Ahli Kitab menimbulkan kerusakan atau dikhawatirkan menimbulkan kerusakan-kerusakan maka melaksanakan akad dengannya haram hukumnya. Wanita muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki Ahli Kitab tidak lain karena wanita muslim meski bagaimanapun keadaan dirinya namun pada umumnya tidak berani menentang suaminya. Akibatnya dia terancam pindah agama dan tidak mustahil anak-anaknya akan mengikuti bapak mereka, sementara dia tidak mampu mencegah mereka. Meskipun toleran terhadap hal-hal yang memperbarui ikatan-ikatan sosial, Islam tidak mungkin dapat menolerir hal-hal yang mengakibatkan seorang muslim keluar dari agamanya, atau menjadikan keturunannya memeluk agama selain Islam.

Namun sebenarnya Islam telah memperkenankan wanita Ahli Kitab untuk dinikahi laki-laki muslim, dan melarang laki-laki muslim memaksanya agar keluar dari agamanya. Adapun agama-agama lain tidak ada yang memberikan jaminan semacam ini. Lantaran laki-laki pada umumnya adalah orang yang kuat, maka Islam menetapkan jaminan dirinya dan anak-anaknya diserahkan kepada kekuatan tekadnya, dan melarang pernikahan wanita yang (pada umumnya) lemah tekadnya dengan laki-laki Ahli Kitab.
Penulis:
M.FSA I Editor: Apr

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami