Jakarta, Deras.id – Kaum mendang-mending di tanah air tampaknya bakal kian pusing. Pemerintah berencana menerapkan lima kebijakan yang berpotensi membikin kantong kelas menengah kian bolong.
Padahal saat ini tren pelemahan kelas menengah terus terjadi. Salah satu indikasinya adalah kian melemahnya daya beli mereka. Konsumsi rumah tangga selama tiga triwulan terakhir hanya mampu tumbuh di bawah 5%.
Deflasi pun terjadi selama empat bulan berturut-turut dari Mei-Agustus 2024. Situasi ini akan kian bertambah parah jika pemerintah nekat menerapkan lima kebijakan yang berpotensi memangkas daya beli masyarakat.
Lima kebijakan tersebut adalah pertama kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Kebijakan itu sesuai aturan yang tertera dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kedua, pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang menurut rencana akan diterapkan pada 1 Oktober 2024. Ketiga, kebijakan penyesuaian subsidi tarif KRL berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang akan diterapkan pada 2025.
Keempat, rencana kewajiban iuran dana pensiun tambahan bagi pekerja berpenghasilan tertentu. Padahal sudah program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Kelima, aturan yang mewajibkan kendaraan bermotor memiliki asuransi third party liability (TPL) mulai Januari 2025.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, menilai berbagai kebijakan itu akan memperburuk daya beli masyarakat kelas menengah yang saat ini pun memang sudah merosot.
“Dalam kondisi seperti sekarang, kalau mau membuat kelas menengah optimistis lagi, konsumsi dan belanja naik lagi, semestinya sebisa mungkin apa yang masih bisa ditunda itu ditunda, untuk memberikan napas bagi kelas menengah,” katanya.
Editor: Ifta
