Analisa

Ritel Modern Mengancam Keberadaan Toko Kelontong

Semakin pesatnya pertumbuhan ritel atau toko modern dikhawatirkan akan mengancam keberadaan toko kelontong atau tradisional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada tahun 2022, pertumbuhan ritel modern hingga tahun 2021 berjumlah 40.377 gerai yang terdiri dari Minimarket sejumlah 38.323 gerai, Supermarket 1.411 gerai, Ritel pom bensin 358 gerai dan Hypermarket 285 gerai.

Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pada toko kelontong yang justru mengalami penurunan jumlah, yakni pada tahun 2021 telah terjadi penurunan sebesar 11,85% dari total 4,1 juta gerai menjadi 3,6 juta gerai.

Melihat kondisi ini tentu menjadi dilema. Meskipun jumlah toko kelontong masih jauh lebih banyak saat ini, akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila pada masa yang mendatang justru eksistensi dari toko kelontong akan redup ditelan jaman. Hal ini tidak bisa dinafikan sebab, apabila di tinjau dari setiap daerah sudah mulai banyak bermunculan ritel-ritel modern dengan sangat pesat.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Euromonitor yang mencatat bahwa pada 2017 baru ada 31.488 minimarket di Indonesia, kemudian jumlahnya bertambah menjadi 38.323 gerai pada 2021.

Perkembangan Toko Kelontong Rakyat dan Modern

Pada dasarnya keberadaan toko kelontong di Indonesia lebih dulu ada dibandingkan toko modern. Toko kelontong identik dengan menyediakan berbagai keperluan rumah tangga, mulai dari bahan pokok, peralatan rumah tangga dan lain-lain.

Selain itu yang menjadi ciri khas lainnya adalah toko jenis ini dikelola secara mandiri oleh pemiliknya dan proses pembayarannya masih non tunai serta letaknya yang berada di daerah kampung dan dekat pusat keramaian, terutama di pasar.

Berdasarkan informasi dari blog.qasir.id, sejarah toko kelontong di Indonesia sudah ada sejak masa kolonial pada abad ke-19. Pada saat itu, pemerintah mendorong kenaikan produksi barang-barang kebutuhan pokok untuk masyarakat sehingga membuat pasar lokal di Indonesia banyak yang menyediakan dan menjual barang-barang tersebut.

Keberadaan toko kelontong rakyat pada masa itu cukup membantu perekonomian. Hal ini dibuktikan pada saat krisis moneter tahun 1998 silam, keberadaan toko kelontong dan usaha berjenis mikro kecil menengah menjadi penyelamat ekonomi Indonesia saat krisis terjadi.

Apabila dilihat dari perkembangannya dari tahun ke tahun, toko kelontong rakyat mengalami penurunan sejak 2017. Berdasarkan data Euromonitor pada tahun 2017 terdapat 4,5 juta gerai kemudian hanya tersisa 3,6 juta gerai pada tahun 2021.

Sedangkan hal ini berbanding terbalik dengan kondisi perkembangan toko atau ritel modern. Menurut data yang dihimpun oleh Euromonitor, pada tahun 2017 baru ada 31.488 minimarket di Indonesia, kemudian jumlahnya bertambah pada 2021 menjadi 38.323 gerai.

Baca Juga:  Misal Childfree: Siapa Takut?

Perkembangan ritel modern yang sangat umum dan banyak dikenal khalayak adalah Indomart dan Alfamart. Corporate Communications GM Alfamart, Rani Wijaya mengatakan, hingga Desember 2022 jumlah gerai Alfamart bertambah menjadi 17.816 gerai dari tahun sebelumnya sebanyak 16.492 gerai. Rani mengatakan, target Alfamart pada 2023 adalah membuka gerai-gerai di wilayah Indonesia Timur.

“Jumlah target gerai belum bisa dirilis (tahun 2023). Namun, tahun 2023 Alfamart berfokus untuk pembukaan gerai baru di luar Pulau Jawa yang potensi marketnya masih terbuka luas dan membutuhkan kehadiran ritel modern. Seperti kota/kabupaten di Papua, Nusa Tenggara atau Kalimantan” kata Rani.

Hal ini tentu tidak dipungkiri bila untuk kedepan keberadaan toko modern akan lebih mendominasi pertokoan di daerah-daerah Indonesia, dan lambat laun akan menggeser keberadaan toko kelontong rakyat.

Toko Kelontong Rakyat Kurang Bersaing

Persaingan antara toko kelontong dengan toko modern bisa dikatakan sangat kompetitif, dalam hal ini toko kelontong menjadi pihak yang dirugikan. Hal tersebut diakibatkan oleh toko kelontong yang kurang bersaing.

Kondisi ini juga tidak luput dari perhatian cendekiawan dan sudah banyak penelitian terkait ini. Berdasarkan penelitian Yulinda Besari yang berjudul Analisis Kemampuan Usaha Toko Kelontong Terhadap Keberadaan Minimarket (2012), terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan dari toko kelontong yaitu modal yang kecil, pengelolan jangka panjang, pelayanan dan promosi.

Penelitian lainnya juga telah dilakukan oleh Helvana perihal Eksistensi Pedagang Kelontong di Jalan Cipta Karya Kelurahan Silang Minggu Kecamatan Tampan (2019), diketahui bahwa yang menyebabkan toko kelontong kurang bersaing dan berpengaruh terhadap eksistensinya ada beberapa faktor yaitu keterbatasan modal, kurangnya pengetahuan pedagang kelontong dalam mengelola sebuah usaha, akan tetapi yang paling mempengaruhi eksistensi pedagang kelontong adalah kepuasan konsumen.

Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan jika ada 3 point penting yang menjadi kelemahan toko kelontong yaitu modal usaha, pengelolaan usaha, dan pelayanan terhadap konsumen.

Perihal modal usaha tentu menjadi problem utama yang dihadapi oleh para pengusaha toko kelontong, sebab modal yang mereka keluarkan tentu tidaklah sebanyak ritel modern dan terbatas, hal tersebut dikarenakan pada umumnya toko kelontong dijalankan secara individu. Selain itu yang menjadi sorotan juga terkait pengelolaan usaha, karena berdasarkan kondisi lapang menunjukkan jika pengelolaan toko kelontong masih tergolong konevensional.  Hal ini berdampak pada pelayanan yang masih kurang optimal.

Baca Juga:  Menakar Peta Pilpres 2024

Ritel Moder Lebih Super Power

Menurut Konsultan dan Profesor Pemasaran Amerika Serikat, Philip Kotler, toko modern merupakan toko yang penjual dan pembelinya tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang atau barcode, berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Ritel modern dibandingkan dengan toko kelontong rakyat memiliki banyak keunggulan baik itu dari segi modal, pengelolaan usaha dan pelayanan.

Kehadiran toko modern merupakan bentuk jawaban atas semakin berkembangnya gaya hidup modern, dimana masyarakat menuntut tempat belanja yang nyaman dan juga harga terjangkau serta pelayanan yang baik.  Permintaan tersebut dapat dipenuhi oleh toko modern, sehingga tidak khayal apabila masyarakat mulai beralih ke toko modern, seperti indomaret, alfamart, alfamidi dan yang lain.

Berdasarkan informasi dari inovapos.com, ritel atau toko modern juga memiliki kekuatan di berbagai lini sektor seperti jaringan gerai yang telah banyak tersebar (contoh: indomaret); modal keuangan yang kuat sebab perkembangannya yang sangat pesat dan terdapat investor; sumber daya manusia kompeten; manajemen bisnis yang lebih modern (penggunaan teknologi terkini seperti proses pembayaran non tunai); dan pelayanan yang baik serta berani memberikan tawaran promosi. 

Berbagai kelebihan yang dimiliki oleh toko modern tentu menjadi daya sokongnya untuk bisa eksis dan mengekspansi pangsa pasar di Indonesia. 

Kebijakan Pemerintah

Kondisi melemahnya toko kelontong, tidak luput juga dari perhatian pemerintah. Terkait ini pemerintah telah mengeluarkan aturan yang membatasi ritel modern melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan.

Namun, terkait aturan tersebut masih menjadi polemik, sebab dilain sisi diduga justru menghambat perkembangan ritel. Pasalnya pengusaha ritel akan sulit mencari investor. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey.

“Kami tidak bisa investasi, bahkan OSS berbasis risiko yang sudah dirilis itu juga akan mengunci kami ketika kami mengajukan perizinan, pengembangan usaha harus dengan waralaba. Ini kami minta direlaksasi” kata Roy.

Sehingga dengan demikian peraturan tersebut masih abu-abu untuk dijalankan secara tegas dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Sebab masih terdapat pro-kontra dalam pelaksanaanya nanti. Meskipun di beberapa daerah memiliki aturan tersendiri mengenai perizinan untuk pembangunan ritel modern.

Melihat kondisi ini, pemerintah  terus melakukan berbagai upaya lain salah satunya melalui program dari Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia yaitu  Pemberdayaan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui Program Pahlawan Ekonomi Nusantara (Pena). Menteri Sosial (Mensos), Tri Rismaharini menyoroti sektor perdagangan sembako yang banyak dikuasai pertokoan ritel modern.

“Kali ini, memang saya yang minta untuk bicara khusus soal perdagangan toko kelontong. Secara teori, seharusnya kita lebih bisa bersaing dengan pertokoan ritel modern” kata Risma, Sabtu (29/04/2023).

Baca Juga:  Gunung Sampah di Negeri Surga

Risma optimis toko kelontong yang dikelola oleh KPM dapat bersaing dengan pertokoan modern dan bisa menjangkau lebih luas pangsa pasar.

“Dalam pelayanannya, toko swakelola (milik KPM) tidak memerlukan penjaga toko sehingga pembeli bisa berinteraksi dan dilayani langsung oleh penjual. Kemudian, toko KPM juga pasti berada di area perkampungan, jadi lebih mudah dijangkau tetangga sekitar, terutama di jam-jam tertentu” katanya.

Selain kebijakan diatas, pemerintah juga telah mengalokasikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp 450 Triliun atau meningkat 20% dibandingkan tahun 2022,  bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil,  dan Menengah (UMKM) dan juga termasuk pengusaha toko kelontong.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian),  Airlangga Hartarto juga menyampaikan agar para pelaku UMKM dan Pengusaha toko Kelontong dapat memanfaatkan secara maksimal dana tersebut dan yakin apabila mereka (pengusaha UMKM) memiliki kreadibilitas yang tinggi.

“Saya yakin 225.000 toko kelontong yang tergabung dalam Sampoerna Ritel Community (SRC) merupakan pengusaha UMKM yang kredibel dan bankable, sehingga dapat memperoleh kredit yang disediakan oleh pemerintah” kata Airlangga, Selasa (14/2/2023).

Kebijakan ini dilatarbelakangi karena toko kelontong dianggap sangat membantu perekonomian dalam negeri.

“Ekonomi sangat tergantung dari daya beli masyarakat, dan toko kelontong, termasuk SRC, menyediakan barang dengan harga terjangkau. Pemerintah berterima kasih karena barang yang dijual di toko kelontong tidak naik setinggi negara lain” kata Airlangga.

Keberadaan toko kelontong memang sangat dirasakan manfaatnya oleh banyak pihak, baik itu secara langsung yakni oleh pembeli (harga yang terjangkau) dan juga membantu menjaga stablitas perekonomian dalam Negeri. Hal ini dibuktikan dengan kontribusinya membantu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,31 persen dan inflasi terjaga di 5,2 persen pada 2022, di saat banyak negara terimbas gejolak ekonomi global.

Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga eksistensi dari toko kelontong agar tidak tergusur oleh perkembangan pertokoan ritel modern. Sebab keberadaan toko kelontong secara tidak langsung telah menjadi bagian sejarah dari Republik ini, karena perannya yang signifikan dalam menjaga stabilitas perekonomian dalam Negeri.

Penulis: Hvd l Editor: Uud

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda