Analisa

Realitas Tantangan Pendidikan Saat Ini

Akhir-akhir ini, publik jagat maya sering dihebohkan oleh kabar tentang pelecehan seksual di berbagai penjuru tanah air. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sebanyak 17 kasus kekerasan seksual terjadi di lembaga atau satuan pendidikan di Tanah Air sepanjang 2022. Jumlah kasus dihitung berdasarkan yang sudah diproses secara hukum sepanjang tahun itu. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya bagi seorang guru sebagai pelopor generasi emas bangsa.

Laporan tentang pelecehan dan penyerangan seksual yang meluas telah merusak kredibilitas sistem pendidikan di Indonesia. Ruang sekolah, kampus, dan pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang edukatif dan aman bagi pelajar untuk memperoleh ilmu pengetahuan, seolah-olah bukan menjadi lingkungan yang steril dan aman.

Dalam dasawarsa terakhir, Komnas Perempuan mencatat, dari tahun 2012 – 2021, setidaknya ada 49.762 kasus kekerasan seksual yang telah terjadi. Sementara itu, dalam satu terakhir terakhir, Komnas Perempuan menerima 3.014 pengaduan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dari Januari hingga November 2022, meliputi 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah privat.

Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa terdapat 55 persen pelaku kekerasan seksual adalah guru, dimana korban termuda baru berusia 3 tahun.

“Adapun rincian guru yang dimaksud di antaranya guru pendidikan agama dan pembina ekskul, guru musik, guru kelas, gurung ngaji, dan lain-lain,” ucap Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, Jakarta, Sabtu (23/7/22).

Baca Juga:  Menjaga Pemilu dari Politik Identitas

UU Kekerasan Seksual

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang baru saja diundangkan belum cukup memberikan pencegahan, perlindungan, akses terhadap keadilan, dan pemulihan, tidak terpenuhinya hak-hak korban kejahatan kekerasan seksual, dan tidak mengatur hukum acara secara memadai.

Disisi lain, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memuat ketentuan untuk menghindari kekerasan seksual, memastikan kejadian kekerasan seksual tidak terulang kembali, menegakkan hukum, dan merehabilitasi pelaku, serta memberikan bantuan pemulihan korban dan membina suasana bebas kekerasan seksual.

UU TPKS melindungi hak korban atas pengobatan, perlindungan, dan pemulihan, serta tindak pidana pelecehan seksual. Bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS antara lain; pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, sterilisasi paksa, kawin paksa, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

“Karena UU ini tentang pidana yang paling penting ada dua hal. Pertama, prosedur pembuktian. Di dalam UU ini, pasti mengacu ke KUHP tapi ada istilah hukum, pengecualian,” jelas Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Amiruddin dalam Diskusi Terfokus Peran Lembaga Negara HAM RI dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Senin, (13/6/22).

Baca Juga:  Klub Moge Inginkan Dapat Akses Jalan Tol Saat Weekend Saja

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, Amir mengatakan bahwa pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik termasuk dalam delik aduan. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bagi korban penyandang disabilitas atau anak. Pelecehan seksual terhadap keduanya termasuk dalam delik biasa yang dapat diproses tanpa pengaduan dari pihak korban. Hal penting lainnya terkait barang bukti.

Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan

Mengapa pelecehan seksual begitu merajalela? Menurut cendikiawan asal Perancis Michel Foucault, kekerasan seksual dapat diakibatkan oleh tiga faktor; kekuasaan, konstruksi sosial, dan sasaran kekuasaan. Hal ini selaras dengan dinamika kekerasan seksual yang terjadi Indonesia. Di lingkungan lembaga pendidikan misalnya, dosen yang melakukan kejahatan seksual terhadap mahasiswanya karena merasa lebih berkuasa dari mahasiswa tersebut. Misal, dengan diintimidasi ketidaklulusan mata kuliah, dan diiming-imingi nilai yang bagus.  

Selain itu, studi Fushshilat dan Apsari menyebut bahwa konstruksi sosial di dalam sangkar budaya patriarki memposisikan laki-laki yang ‘superior’ terhadap perempuan, sehingga membenarkan pelecehan seksual. Kekerasan seksual secara umum adalah setiap perilaku atau tindakan yang mengarah pada hasrat seksual, hasrat seksual, atau fungsi reproduksi yang dipaksakan, dan menghasilkan penderitaan atau trauma.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dirilis pada 7 Maret 2022. Kasus kekerasan seksual terjadi di dunia pendidikan mulai dari perguruan tinggi, sekolah, boarding school atau pesantren, bahkan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA/TPQ).

Baca Juga:  Ritel Modern Mengancam Keberadaan Toko Kelontong

Presiden Joko Widodo meminta agar kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan tidak terjadi lagi. Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (MenkoPMK) Muhadjir Effendy di Istana Kepresidenan, Selasa, (12/07/22).

“Presiden meminta supaya ada perhatian kepada lembaga-lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya lembaga pesantren agar hal (kekerasan seksual) itu tidak terjadi lagi,” ujar Muhadjir.

Selain itu, presiden memberikan arahan agar kementerian terkait terus melakukan pembinaan di seluruh lembaga pendidikan. Untuk mengatasi masalah kekerasan seksual di dunia pendidikan, maka sekolah perlu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, mulai dari orang tua siswa, LSM, aparat hukum, tenaga kesehatan hingga masyarakat di sekitar.

Kerjasama dari berbagai pihak ini bisa mencegah terjadinya kekerasan seksual di sekolah. Semua pihak bisa saling menjaga dan mengawasi, agar tidak lagi terjadi kekerasan seksual di sekolah ini. Kekerasan seksual ini adalah bentuk kejahatan berat yang berdampak besar bagi psikis korban. Ini merupakan tantangan yang nyata dalam sistem pendidikan kedepan. Oleh karena itu, sekolah harus berkomitmen mencegah terjadinya kekerasan seksual, sehingga para siswa bisa mengenyam pendidikan dengan aman, serta memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi generasi hebat di masa depan.

Penulis: Ainur | Editor: Uud

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda