Analisa

Menakar Peta Pilpres 2024

Meski lembaga survei telah mengantongi sejumlah kandidat figur kuat untuk konstelasi Pilpres 2024, tak ada satupun pengamat maupun para pakar politik yang bisa memprediksi calon presiden terpilih di Pemilu yang akan datang. Terlebih, dari tiga nama kandidat calon presiden yang unggul di lembaga survei seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, tak satupun diantara mereka yang secara sah memiliki tiket calon presiden dari partai politik atau 20 persen kursi DPR.

Mengaca dari Pemilu tahun 2019, kekuatan elektoral di pulau Jawa sangat menentukan hasil akhir penghitungan pemilu. Pulau Jawa yang merupakan 56 persen dari 270 juta penduduk Indonesia, dan 58 persen pemilih pada tahun 2024 merupakan kunci bagi setiap calon presiden.

Pada Pilpres sebelumnya, Kubu petahana Presiden Jokowi memenangkan 55 persen suara, Prabowo meraih 45 persen. Jokowi meraih suara terbanyak di 21 provinsi, antara lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta, sedangkan Prabowo menang di 13 provinsi, antara lain di Jawa Barat dan Banten.

Hasil terbaru survei Poltracking Indonesia dari elektabilitas ketiga calon seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan di Pulau Jawa, Ganjar masih dominan, disusul Anies Baswedan dan Prabowo. Rinciannya, Mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan akan menang di Jawa Barat, Banten, dan Jakarta; Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo akan menang di Jawa Tengah dan Jawa Timur; dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto akan berada di urutan kedua atau ketiga di kelima provinsi di pulau Jawa.

Menakar Peta Pilpres 2024

Potensi Dua Putaran

Dari persentase persaingan yang begitu ketat diantara ketiga nama tersebut, maka bukan suatu hal yang tidak mungkin jika Pilpres 2024 menjadi dua putaran. Selaras dengan pendapat Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes memprediksi, Pilpres 2024 tak berakhir dalam satu putaran. Pasalnya, saat ini ada tiga figur populer yang dijagokan sebagai capres yang elektabilitas ketiganya bersaing ketat.

“Dengan kompetisi ketat, Pilpres berpotensi terjadi dua putaran,” ucap Arya dalam diskusi virtual CSIS bertajuk Manuver Koalisi Partai Menjelang Pemilu Presiden: Motivasi dan Resiliensi, beberapa bulan lalu, Rabu (8/6/2022).

Aturan main Pilpres dua putaran telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 6A Ayat 3 yang menyebut, bahwa untuk dinyatakan sebagai pemenang pilpres, pasangan calon presiden dan wakil presiden harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu, dengan memperoleh sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar, dan atau lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Jika tidak ada satupun pasangan calon yang memenuhi syarat tersebut, maka digelar pilpres putaran kedua.

“Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden,” bunyi Pasal 6A Ayat (4) UUD 1945.

Ketentuan bahwa seorang calon harus menang minimal 20 persen di setiap provinsi di sekurang-kurangnya lebih dari setengah dari 38 provinsi di Indonesia tentu menjadi masalah besar bagi setiap kandidat Capres. Apalagi dari ketiga kandidat tersebut masih belum ada yang memenuhi ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) dari jumlah kursi setiap Partai Politik. Peta kemenangan, khususnya di pulau Jawa akan mudah diprediksi dari pilihan pasangan cawapres dan peta koalisi partai politik.

Cawapres dan Elektoral

Karena Anies merupakan kandidat yang unggul di tiga Provinsi dari kelima Provinsi pulau Jawa, maka ini menjadi hipotesa yang menarik dalam diskursus Pilpres kali ini. Salah satu keuntungan Anies berdasarkan dari survei Poltracking, mayoritas pendukung islam konservatif yang memilih Prabowo di Pilpres 2019 beralih mendukung Anies Baswedan di Pilpres 2024. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat merapatnya Prabowo ke pangkuan penguasa tentu menimbulkan rasa kecewa terhadap fanatisme pendukung. Inilah kemudian yang membuat elektabilitas Anies di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta mengungguli Ganjar dan Prabowo.

Keunggulan tersebut bukan lantas Anies tidak punya kelemahan. Dilema Anies dalam memilih pendamping akan berpengaruh terhadap tiket Partai Politik, khususnya dari partai Demokrat itu sendiri. Memilih Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku pemegang tiket Partai Demokrat sebagai cawapres akan mencukupi ambang batas calon Presiden. Namun, hal itu belum cukup meyakinkan Anies untuk bersaing dengan kandidat yang lain, terutama untuk mengisi kelemahan Anies di Jawa Timur.

Selain itu, latar belakang AHY yang berasal dari kalangan nasionalis-non religius tidak akan mampu menutupi penyematan Anies sebagai individu yang didukung oleh kelompok Islam garis keras. Sebagai gantinya, Anies perlu memilih pasangan yang berlatar belakang santri atau dari Kalangan Nahdliyin seperti, Ketua Umum PKB, Abdul Muhaimin Iskandar dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansah.

Baik Cak Imin dan Khofifah tentu akan memberikan efek besar terhadap Elektoral di Jatim karena keduanya merupakan warga Nahdliyin. Bedanya, Cak Imin memang hanya memiliki persentase 8,9 persen, namun ia akan memberikan efek nyata terhadap ambang batas Anies yang hingga kini masih menjadi persoalan yang rumit pada kubu Partai Nasdem. Sementara itu, Khofifah memiliki persentase yang cukup signifikan yakni 18,16 persen, tertinggi dibanding dengan figur yang lain (Poltracking, 2022). Namun hal tersebut belum bisa meloloskan Anies dari jerat ambang batas pencalonan. Dengan demikian, ujian terberat Anies bukan soal elektabilitas, namun lebih kepada pilihan Cawapres dan tiket Partai Politik.

IKN dan Manuver Jokowi

Perlu diingat bahwa Jokowi menyisakan satu proyek besar yakni pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur. Ia tentu tak ingin proyek itu berakhir begitu saja di penghujung masa akhir jabatannya sebagai Presiden. Dari tiga kandidat yang diprediksi bakal bertarung di Pilpres 2024 nanti, dukungan Jokowi sudah jelas mengarah pada Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

“Saya ini dua kali Wali Kota di Solo menang, kemudian ditarik ke Jakarta, Gubernur sekali menang. Kemudian dua kali di pemilu Presiden juga menang. Mohon maaf Pak Prabowo. Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo,” kata Jokowi di HUT ke-8 Partai Perindo, Jakarta, Senin (7/11/22).

Pasca pilpres 2019, Prabowo bergabung dengan istana tentu merupakan dari approach circle Jokowi. Perpecahan diakhiri dengan perdamaian dan jabatan Menteri Pertahanan disandang Prabowo sesuai dengan kapabilitasnya. Prabowo terlihat merasakan langsung bagaimana kinerja seorang Jokowi. Ia tak segan memuji Jokowi dengan “The Right Man as The Leader in the Bad Time” pada saat Pandemi covid lalu. Chemistry antara Jokowi dan Prabowo telah terbentuk. Hal itu tampak jelas ketika Jokowi seringkali mengajak kujungan kerja ke berbagai daerah.

Sangat irasional jika membicarakan manuver Jokowi tanpa menyinggung peran PDIP dalam konstelasi Pilpres kali ini. Jokowi di tengah musibah gempa Cianjur bulan lalu mengumpulkan massa di Gelora Bung Karno yang bertajuk Gerakan Nusantara bersatu. Dalam pidatonya Jokowi mengatakan, “Perlu saya sampaikan. Perlu saya sampaikan, pemimpin, pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari mukanya. Ada juga yang mikirin rakyat sampai rambutnya putih semua ada. Ada itu,” kata Jokowi di Jakarta, Sabtu (26/11/22).

Kenapa Jokowi sama sekali tidak memberikan kode dukungan kepada Puan Maharani di Pilpres 2024? PDIP tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama layaknya Pilpres 2004, dimana mereka mengusung ketua umum PDIP Megawati sebagai calon Presiden dengan elektabilitas yang sangat lebih rendah dibanding dengan rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu. Hasilnya pun terbukti, Megawati bersama partainya kalah dan terpaksa menjadi oposisi pemerintah selama delapan tahun.

Di Pilpres 2014, menjadi pelajaran berharga bagi PDIP yang tidak lagi mengusung sosok dengan elektabilitas yang rendah. Bahkan perjanjian dengan Gerindra untuk untuk mengusung Prabowo di Pilpres 2014 batal, dan memilih mengusung Jokowi sebagai capres karena memiliki elektabilitas yang lebih tinggi dibanding Prabowo. Itulah kenapa penulis meyakini bahwa PDIP tidak akan merekomendasikan Puan Maharani sebagai sosok yang diusung di Pilpres nanti.

Puan tidak akan bisa berbuat banyak di 2024 nanti karena citra dan pandangan publik ke dirinya masih agak negatif. PDIP tidak mampu menjadikan ia sebagai wanita pekerja buat bangsa. Kampanye Puan sebagai kandidat Capres oleh PDIP hanyalah persiapan untuk memantaskan Puan menggantikan ibundanya sebagai Ketua Umum PDIP suatu saat nanti.

Selain itu, Ibu Kota Negara (IKN) akan menjadi isu yang sensitif di Pilpres 2024 kelak. Sebuah pertaruhan Legacy seorang Jokowi, terealisasi atau tidak bergantung dari penerusnya di lima belas tahun mendatang. Setidaknya, Jokowi memerlukan dua penerus legacy IKN itu minimal 15 tahun sesuai dengan timeline 5 tahap pembangunan IKN yang sudah dibuat. Baik Prabowo maupun Ganjar adalah orang terdekat Jokowi yang diyakini dapat meneruskan proyek tersebut dibanding Anies Baswedan yang selama ini terlihat menjadi oposisi Jokowi.

Kemenangan Ganjar maupun Prabowo akan menjadi kemenangan Jokowi pula. Pun sebaliknya, kemenangan Anies akan menjadi kekalahan dan ancaman terhadap keberlanjutan proyek IKN yang selama ini menjadi agenda besar Jokowi. Pernyataan dukungan Jokowi terhadap Prabowo dan Ganjar memberikan sinyal yang kuat bahwa peta pertarungan Pilpres 2024 yaitu antara poros Anies dan Jokowi, bukan Ganjar dan Prabowo. Dengan demikian, bila Pilpres nanti terjadi dua putaran, maka Ganjar dan Prabowo akan menyatukan suara sehingga mampu mengalahkan Anies Baswedan.

Penulis: Mas Uud | Editor: Reza

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami