Membasmi Kuasa Uang dalam Pemilu
Praktik politik uang menjadi masalah klasik dalam pemilu Indonesia. Praktik yang kerap terjadi dalam pemilihan pemimpin itu terjadi secara dua arah. Politik uang terjadi bukan hanya berasal dari kandidat kepada pemilih, tetapi pemilih sudah menjajakan suaranya untuk dijual kepada kandidat. Inilah yang membuat praktik politik uang sulit dimusnahkan.
Politik uang pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi pemilih dengan iming-iming mendapatkan sejumlah uang. Modusnya beragam, ada yang memberikan uang secara langsung. Ada yang dengan bakti sosial. Ada yang membiayai infrastruktur. Ada juga yang memberikan bantuan kepada organisasi maupun kelompok tertentu.
Persoalan menyangkut hal tersebut terus muncul pada setiap momentum penyelenggaraan pemilu. Bahkan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) secara gamblang mengungkapkan, sulit untuk memberantas seluruh praktik tersebut karena terjadi begitu masif dan sistematis.
Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini menilai, politik uang dalam kontestasi pemilu yang digelar setiap 5 tahun sekali akan selalu ada selama integritas peserta pemilu masih rendah.
Bahkan Titi menyebut, politik uang akan bertransformasi sesuai perkembangan zaman. Adanya politik uang dalam tiap gelaran pemilu ini pun sempat disinggung oleh Presiden Joko Widodo.
“Selama integritas peserta pemilu maupun pemilih masih bermasalah, maka politik uang akan terus terjadi dan bertransformasi mengikuti perkembangan jaman,” kata Titi , Selasa (20/12/2022).
Dalih dana kampanye
Ketua Bawaslu RI Abhan menjabarkan provinsi-provinsi yang rawan politik uang. Pemetaan itu disebutnya didasari temuan dan laporan yang diterima Bawaslu pada momen-momen pilkada, pileg dan pilpres sebelumnya.
“Politik uang merupakan kerawanan yang terjadi di banyak daerah pada pilkada sebelumnya dan juga pada pemilu legislatif dan Pilpres 2014. Seperti sembako hingga pembangunan sarana publik merupakan contoh kasus maraknya pelanggaran pemilu terkait politik uang,” jelas Abhan, Sabtu (10/2/2023.
Berdasarkan rilis Bawaslu Pada tahun 2018, Setidaknya terdapat tujuh provinsi dengan indeks kerawanan politik uang yang tinggi, yaitu Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Selatan (Sumsel), Lampung, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Barat (Kalbar), Sulawesi Utara (Sulut) dan Sulawesi Selatan (Sulsel).
Sementara itu, dari institusi partai politik, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai dengan pengeluaran dana kampanye terbesar pada Pemilu 2019. Dana yang dilaporkan sebesar Rp 345,02 miliar. Dana tersebut paling banyak berasal dari sumbangan calon legislatif (caleg) peserta pemilu.
Dari enam belas parpol yang menjadi peserta Pemilu 2019, terdapat lima partai yang memiliki dana kampanye terbesar. Setelah PDIP, Partai Golkar menempati urutan kedua dengan total dana kampanye mencapai Rp 307 miliar. Dana kampanye Golkar bervariasi yang berasal dari sumbangan perorangan, badan usaha non-pemerintah, dan caleg.
Posisi selanjutnya diraih oleh Partai Nasdem dengan total dana kampanye sebesar Rp 259 miliar yang berasal dari keuangan parpol dan caleg. Perindo meraih posisi keempat dengan total dana kampanye sebesar Rp 228,24 miliar. Di posisi kelima, Partai Demokrat dengan dana kampanyenya sebesar Rp 189,73 miliar. Dana yang dilaporkan berasal dari sumbangan caleg, perorangan, dan badan usaha non pemerintah.
Disisi lain, berdasarkan data Indikator dan Lembaga Survei Indonesia (LSI), pada Pemilu 2019, Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai sekitar 192 juta orang, sementara persentase praktik korupsi mencapai 19 persen hingga 33,1 persen. Dengan kata lain, diperkirakan antara 37,3 juta hingga 63,5 juta pemilih terpapar praktik uang haram.
Polarisasi politik uang
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dalam studinya menyebut politik uang dalam teori distribusi politik dapat dibedakan dalam dua bentuk. Pertama, politik uang yang spesifik menunjuk pada strategi retail jual beli suara (vote buying). Dari segi waktu biasanya dilakukan jelang pemilu atau yang dikenal dengan serangan fajar. Kadang dilakukan prabayar sebelum hari-H pemilihan, kadang juga dilakukan pasca-bayar setelah dukungan itu diberikan.
Kedua, strategi politik uang grosiran, kolektif dan lebih bersifat jangka panjang dengan menyalahgunakan kebijakan programatik seperti bantuan sosial atau hibah untuk kepentingan elektoral”, kata Burhanuddin dalam penelitiannya.
Sementara itu, Hipotesis Buehler dan Tan (2007) yang berjudul “Party-Candidate Relationships in Indonesian Local Politics” menyiratkan setidaknya terdapat empat lingkaran politik uang dalam pemilihan di Indonesia . Pertama, transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan calon kepala daerah.
Kedua, transaksi antara calon kepala daerah dengan partai politik yang memiliki hak untuk mencalonkan. Ketiga, transaksi antara kandidat dan tim kampanye dengan petugas pemilu yang memiliki wewenang untuk menghitung suara. Keempat, transaksi antara calon atau pemilih dengan tim kampanye membentuk pembelian yang masuk akal.
Mahalnya biaya politik yang semakin mahal dan banyaknya pejabat tersangkut kasus korupsi, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam praktik kepemiluan di Indonesia.
Perbaikan memang harus dimulai dari tingkat hulu yakni regulasi sebagai acuan dasar dalam aturan main. Hilir akan tetap kotor, jika bagian hulu tidak dibersihkan dan diperbaiki.
Semangat perbaikan regulasi pengungkapan dana kampanye harus didasari pada nilai-nilai demokrasi, yakni transparansi, aksesibilitas, di samping fleksibilitas dan konsistensi, serta akuntabilitas.
Demokratisasi pada regulasi pengungkapan dana kampanye, dapat membuat mekanisme pengungkapan bekerja lebih optimal. Dengan optimalnya mekanisme pengungkapan dana kampanye, pencegahan politik uang dapat dilakukan mulai dari hulu pelaksanaan pemilu.
Penulis: Uud | Editor: Arno