Ilusi Negara Maritim: Kekurangan Ikan di Tengah Melimpahnya SDA
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data FAO 2022, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.504 pulau. Potensi maritim Indonesia pun sangat melimpah dengan rincian: luas laut teritorial sepanjang 290.000 km2; luas zona tambahan Indonesia 270.000km2; luas zona ekonomi eksklusif 3.000.000 km2; Luas landas kontinen Indonesia 2.800.000 km2 serta panjang garis pantai 108.000. Hal ini mengindikasikan besarnya potensi maritim di Indonesia terutama sektor perikanan.
Dari segi sumber daya perikanan di Indonesia, menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa besaran potensi lestari sumber daya ikan sebesar 12.011.125 Ton per tahun, yang terdiri dari beberapa jenis perikanan laut.
Bahkan, sumber daya ikan di laut Indonesia meliputi 37 persen dari spesies ikan di dunia. Beberapa jenis diantaranya mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti tuna, udang, lobster, ikan karang, berbagai jenis ikan hias, kekerangan, dan rumput laut (KKP RI, 2019).
Potensi perikanan Indonesia pun tak terlalu buruk. Potensi tersebut bisa dilihat dari nilai produksi yang mencapai 394 triliun rupiah. Dengan rincian 198 triliun untuk perikanan dan 197 Triliun untuk budidaya.
Angka pertumbuhan pada sektor perikanan juga cenderung stabil. Pada tahun 2019, pertumbuhan sektor tersebut sekitar 5,81 persen sedangkan pada tahun 2018 tidak jauh berbeda yaitu 5,19 persen.
Sayangnya dengan potensi yang begitu kaya itu, Indonesia masih tercatat sebagai negara Importir ikan. Bahkan pada Januari 2023, terjadi lonjakan impor ikan yang cukup pesat.
Kenaikan impor ikan di awal tahun 2023
Berdasarkan data BPS, impor komoditas pangan tertentu Indonesia terutama ikan pada awal tahun 2023 tercatat sebanyak 18,53 juta kilogram, atau naik sebesar 219,95 persen dibanding Januari 2022 yang sebanyak 5,79 juta kilogram.
Sementara itu, bila dibandingkan dengan realisasi impor ikan pada Desember 2022 yang sudah sebanyak 18,04 juta kilogram, catatan pada Januari 2023 itu mengalami kenaikan sebesar 2,71 persen.
Ikan impor ini didatangkan Indonesia paling banyak dari China sebesar 13,06 juta kilogram atau naik 380,57 persen (year on year/yoy) dan 44,32 persen mtm. Lalu dari Norwegia sebanyak 1,74 juta kilogram atau tumbuh 80,63 persen mtm, karena pada Januari 2022 tidak ada catatan impor ikan dari negara itu.
Urutan berikutnya adalah Amerika Serikat dengan total impor ikan Indonesia dari negara itu sebanyak 543 ribu kilogram pada Januari 2023. Catatan ini naik 1.099,1 perse yoy dan tumbuh 285,44 persen mtm.
Sisanya dari Rusia sebanyak 482,27 ribu kilogram atau turun 25,92 persen yoy dan turun 66,83 persen mtm, serta Australia sebesar 154,54 ribu kilogram atau turun 25,92 persen yoy dan turun sebesar 66,83 persen mtm.
Indonesia eksportir ikan nomor satu dunia
Sebetulnya, Indonesia tercatat sebagai negara eksportir ikan tuna (thunnus), tongkol (euthynnus), dan cakalang (katsuwonus pelamis) terbesar di skala global pada tahun 2021.
Mengutip dari Tridge, situs data perdagangan internasional yang berbasis di Korea Selatan, sepanjang 2021 Indonesia telah mengekspor komoditas tuna, tongkol, dan cakalang dalam bentuk daging potong (fillet) dan beku (frozen) senilai US$325,4 juta.
Nilai ekspor Indonesia itu setara dengan 17 persen dari total nilai ekspor tuna, tongkol, dan cakalang global tahun 2021, sekaligus paling tinggi di antara negara-negara produsen perikanan laut lainnya.
Pada 2021 Indonesia paling banyak mengekspor komoditas tersebut ke Amerika Serikat dengan nilai US162,67 juta, kemudian ekspor ke Italia senilai US60,46 juta, dan ekspor ke Jepang US$28,57 juta.
Ironisnya, Indonesia juga masih tetap mengimpor ikan maupun produk olahan ikan dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Banyaknya pengadaan impor ikan maupun produk olahannya telah menjadi perhatian Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
“Kita ini eksportir nomor satu, tuna, cakalang, tongkol segar, tetapi sekaligus importir juga nomor satu tepung ikan, lucu sudah, dorong keluar kemudian kita impor lagi dalam bentuk tepung ikan,” kata Jokowi saat membuka Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan yang disiarkan secara virtual, Senin (6/2/23).
Menurut Jokowi, Indonesia semestinya bisa mencontoh China yang merupakan importir nomor dua tuna, cakalang, dan tongkol segar, tetapi bisa menjadi eksportir nomor empat tepung ikan.
“Lucu, sudah dorong keluar kemudian kita impor lagi tepung ikan. Apa nggak bisa sih kita menghilirkan ini, mengindustrialisasikan ikan kita jadi tepung ikan? Sesulit apa?,” tambahnya.
Potensi sumber daya alam laut Indonesia belum dioptimalkan dengan hilirisasi Industri. Indonesia harusnya mampu belajar dari China yang berhasil menghilirisasi industri pengolahan hasil laut untuk dijual dan bisa menghasilkan nilai tambah yang lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.
Kekurangan pasokan ikan ditengah kekayaan sumberdaya?
Salah satu daerah yang mengonfirmasi impor ikan karena kekurangan pasokan Ikan segar untuk konsumsi adalah Kota Batam. Kota yang berdekatan dengan perairan natuna yang berlimpah ikan memilih mengimpor karena kekurangan untuk stok konsumsi.
Kepala Dinas (Kadis) Perikanan kota Batam, Ridwan Effendy menyebutkan bahwa Batam memang sedang kekurangan ikan. “Kekurangan ikan yang biasa dikonsumsi masyarakat batam”. Kata Ridwan Efendi kadis perikanan kota Batam, Kamis (16/2/23).
Ridwan kemudian menyajikan data bahwa pasokan ikan jenis tertentu yang biasa dikonsumsi masyarakat di Batam mencapai 11.000 ton pertahun. “Angka itu tidak sesuai dengan pasokan yang ada, apalagi kondisi cuaca sedang buruk,” Katanya.
Menjadi sebuah perhatian ketika Negara dengan potensi yang begitu besar justru masih kekurangan terlebih untuk kebutuhan primer untuk konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi dari pemerintah dan pihak terkait. Karena jika dibiarkan berlarut Indonesia tak akan pernah bisa menikmati kekayaannya sendiri karena pengelolaan sumber daya yang masih buruk.
Penulis: Laila | Editor: Uud