Analisa

Arogansi Berujung Jeruji Besi

Tindakan arogansi itu persis seperti penjajah. Mereka seolah-olah menghalalkan segala cara dengan menganiaya, menghina, dan bahkan melakukan tindakan kekerasan karena merasa memiliki kasta sosial-ekonomi yang lebih tinggi daripada yang lainnya.

Sebelum berkembangnya sosial media, tindakan arogansi selalu luput dari tangkapan kamera. Tak banyak publik dan aparat penegak hukum yang mengetahui sehingga mereka merasa kebal hukum. Namun, saat ini di tengah pesatnya pengguna media sosial, tindakan arogansi tak lagi seksi karena berujung jeruji besi.

Di Indonesia sendiri, masih marak terjadi aksi koboi jalanan dan tindakan arogansi dari anak pejabat, pejabat, bahkan dari aparat penegak hukum sendiri. Akibatnya, banyak terjadi penyalahgunaan identitas palsu dari warga sipil yang menyerupai polisi.

Misalnya, kasus yang baru-baru ini yang dilakukan oleh David Yulianto, Pengendara mobil Mazda dengan plat polisi palsu yang menodongkan pistol dan memukul pengendara taksi online di Tol Tomang, Jakarta Barat (Jakbar) pekan lalu. David pun ditetapkan Polda Metro Jaya.

“Proses sudah ditingkatkan menjadi penyidikan dengan ditetapkan pelaku sebagai tersangka atas nama David Yulianto, laki-laki, pekerjaan pelajar atau mahasiswa. Dalam keterangannya yang bersangkutan merupakan karyawan swasta,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (5/5).

Arogansi aparat dan pejabat

Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri mencatat, ribuan pelanggaran polisi masih terjadi tiap tahun. Pada 2020, pelanggaran anggota Korps Bhayangkara tersebut sebesar 6.409 kasus. Jumlah itu naik 54 persen dibandingkan pada 2019 yang mencapai 4.151 kasus.

Secara rinci, pelanggaran disiplin mendominasi hingga 3.304 kasus pada 2020. Jumlah itu naik 32 persen dibandingkan pada 2019 yang sebesar 2.503 kasus. Pelanggaran kode etik profesi Polri (KEPP) tercatat sebesar 2.081 kasus. Jumlah itu naik 103,8 persen dibandingkan pada 2019 yang mencapai 1.021 kasus.

Sedangkan, pelanggaran pidana tercatat mencapai 1.024 kasus pada tahun lalu. Angkanya naik 63,3 persen dibandingkan pada 2019 yang sebesar 627 kasus. Adapun, sudah terdapat 962 pelanggaran yang dilakukan polisi sepanjang 2021. Rinciannya, 536 pelanggaran disiplin, 279 pelanggaran KEPP, dan 147 pelanggaran pidana.

Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengungkap kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian semakin menurun. Kepercayaan publik menurun terutama setelah kasus pembunuhan Brigadir J atau Yosua yang dilakukan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo cs.

Padahal, tingkat kepercayaan publik kepada Polisi Republik Indonesia (Polri) pernah mencapai 87,8 persen pada 2018. Namun, setelah Pilpres 2019 kepercayaan terhadap polri menurun pada angka 72,1 persen dan kasus Ferdy Sambo membuat kepercayaan pada polisi kembali menurun ke angka 59,1 persen.

Direktur LSI Denny JA, Ardian Sopa, mengatakan kasus yang menewaskan Yosua tersebut penuh drama dan menjadi isu panas. Sementara, kepercayaan publik terhadap TNI lebih tinggi mencapai 90,9 persen.

“Kasus Ferdy Sambo seperti drama yang penuh isu panas dan perubahan karakter, dari kasus polisi tembak polisi, perselingkuhan, obstruction of justice, suami bela istri, penyalahgunaan kekuasaan, tuduhan uang gelap judi online, hingga narkoba,” kata Ardian seperti dilansir Katadata.co.id Rabu (19/10/2022).

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menekankan seluruh anggota Polri menghilangkan sikap arogansi. Sigit menuturkan masalah sikap sewenang-wenang ini menjadi sorotan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu diungkapkan Sigit saat memberi pengarahan kepada kepala satuan wilayah (kasatwil) di 34 polda dan polres jajarannya. Pengarahan dilakukan lewat video conference.

“Tolong betul-betul anggota pada saat akan melaksanakan tugas memahami apa yang menjadi SOP, apa yang harus dipedomani. Perilaku-perilaku arogan saat ini tolong dihilangkan,” tegas Sigit dikutip dari akun Instagram Listyo Sigit Prabowo, Jumat(12/5/2023).

Melenyapkan sikap arogansi

Sebelumnya, Kapolri pernah mengeluarkan Surat Telegram Kapolri bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 pada 5 April tahun 2021 lantaran publikasi arogansi aparat kepolisian oleh jurnalis. Namun, kebijakan ditentang oleh sejumlah pihak karena dianggap mengancam kebebasan berpendapat. Kapolri pun mencabut Surat Telegram tersebut.

Dosen Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengapresiasi pencabutan Surat Telegram Kapolri bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tertanggal 5 April 2021, khususnya poin yang memuat larangan media menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

“Surat Telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 yang mencabut poin larangan media menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan sudah tepat. Karena yang terpenting Polri bukan melarang penyiaran arogansi, tapi melarang dan mencegah arogansi aparat,” ujar Suparji Ahmad dalam keterangannya, Selasa (6/4/2021).

Menurutnya, olah tempat kejadian perkara tetap dapat disiarkan oleh jurnalis sepanjang tidak mengganggu proses penegakan hukum yang berjalan. Sebab, publik berhak mendapat informasi terkait proses penegakan hukum. Terlebih, keterbukaan informasi menjadi bagian penting dalam menjalankan prinsip transparansi di tubuh Korps Bhayangkara.

Selain itu, kekerasan di ruang publik atau terbuka dipicu ketidakpercayaan antar warga, warga dengan negara, dan sebaliknya, serta anggapan jalan sebagai area tak bertuan sehingga bebas melakukan apa saja. Bebas melakukan apa saja kian parah karena adanya jabatan, koneksi, dan uang.

Psikolog Universitas Medan Area Irna Minauli menilai, pejabat cenderung mengandalkan jabatan atau pangkat saat melakukan kekerasan. Apalagi, pelaku seakan mendukung aksinya dengan mengeluarkan senjata api untuk mengancam korban.

“Mereka yang memiliki pangkat dan kekuasaan, terlebih yang dilengkapi atau memiliki senjata api cenderung bertindak agresif karena merasa memiliki kekebalan baik secara hukum maupun secara psikologis,” jelasnya Irna, Rabu (25/4/2023).

Keteladanan para pejabat menjadi daya tarik untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Tindakan pejabat yang memicu kontroversi dapat menjauhkan aspek keteladanan tersebut. Kondisi ini tidak hanya bermuara pada lahirnya krisis kepercayaan, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas kinerja lembaga publik.

Sebagai sosok yang berperan besar dalam penyelenggaraan negara dan bersinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat, eksistensi pejabat publik tak sebatas memegang peran dan fungsi kelembagaan. Lebih dari itu, profesionalisme pejabat publik pun akan bersinggungan dengan pembawaan sikapnya sebagai panutan masyarakat.

Penulis: Uud | Editor: Arno

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami