Mengakhiri Kebocoran Ekonomi Desa
Kebocoran ekonomi merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh seluruh wilayah di Indonesia. Secara sederhana, kebocoran ekonomi terjadi ketika pendapatan atau sumber daya finansial suatu daerah mengalir keluar tanpa memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan ekonomi lokal. Fenomena ini menimbulkan ketimpangan antara wilayah maju dan wilayah tertinggal karena sumber daya yang seharusnya berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat setempat justru berpindah ke wilayah lain yang lebih berkembang. Dalam konteks ini, kebocoran ekonomi di suatu wilayah tidak hanya menyebabkan stagnasi ekonomi tetapi juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat setempat dalam mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Nurjihadi, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Teknologi Sumbawa dijelaskan bahwa agribisnis tembakau Virginia di Lombok menjadi salah satu contoh nyata yang menggambarkan dampak dari kebocoran ekonomi terhadap perekonomian suatu wilayah. Tembakau Virginia di Lombok memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, diperkirakan mencapai Rp 6,09 triliun setelah diolah menjadi rokok. Namun, nilai ekonomi yang kembali kepada masyarakat Lombok hanya sekitar Rp 887 miliar, yang menunjukkan bahwa sekitar Rp 5,21 triliun mengalir keluar dari wilayah tersebut. Hal ini terjadi karena keterbatasan industri pengolahan lokal yang menyebabkan produk tembakau hanya dijual dalam bentuk mentah dan diproses lebih lanjut di luar wilayah Lombok. Aliran keuntungan ekonomi ini menciptakan kebocoran yang sangat besar, sehingga nilai tambah dari produk lokal lebih banyak dinikmati oleh wilayah lain, terutama pusat industri di Jawa.
Realita pembangunan desa
Teori Circular Cumulative Causation (C3) memberikan kerangka yang relevan untuk memahami situasi ini. Teori ini menjelaskan bahwa ekonomi pasar cenderung memperkuat wilayah yang sudah maju, sementara wilayah tertinggal mengalami stagnasi. Motif laba mendorong investasi ke wilayah yang memiliki infrastruktur memadai, seperti pusat industri, sehingga wilayah yang lebih maju terus mendapatkan keuntungan lebih besar, sedangkan wilayah tertinggal semakin terpinggirkan. Dalam kasus Lombok, aliran keuntungan ekonomi tembakau lebih banyak tersedot ke pusat industri di luar Lombok, sehingga wilayah tersebut hanya menerima dampak positif yang sangat minimal. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah “backwash effect,” di mana aliran sumber daya dari wilayah tertinggal ke wilayah maju terus berlangsung tanpa ada mekanisme yang efektif untuk mempertahankannya.
Masalah ini semakin rumit ketika kita melihat karakteristik ekonomi di wilayah perdesaan, mengingat besarnya alokasi anggaran dana desa (DD) yang disalurkan setiap tahunnya. Pada tahun 2019, alokasi DD mencapai sekitar 70 triliun, dan mengalami peningkatan di tahun 2020 menjadi 71,2 triliun, meskipun kembali mengalami fluktuasi hingga mencapai 68 triliun pada 2022. Di tahun 2023, anggaran ini kembali ke angka sekitar 70 triliun, dengan total dana desa yang terdistribusi dari tahun 2015 hingga 2023 mencapai 539 triliun rupiah. Rata-rata APB Desa pada tahun 2023 adalah 1,67 miliar rupiah per desa, meningkat hingga 238,23% sejak 2015. Tingginya tingkat serapan dana desa yang konsisten di atas 99% menunjukkan bahwa alokasi anggaran tersebut telah digunakan oleh desa untuk berbagai program pembangunan. Namun, meskipun dengan alokasi besar tersebut, desa-desa di Indonesia masih mengalami tantangan serius dalam hal kebocoran ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dana sudah dialokasikan, efeknya dalam memperkuat ekonomi desa belum optimal.
Dibuktikan dengan melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa meskipun tingkat pengangguran di desa memiliki tren penurunan, penurunan tersebut cenderung landai. Pada tahun 2015, tingkat pengangguran di desa tercatat sebesar 4,93%, kemudian turun menjadi 4,35% pada tahun 2016, 4% pada tahun 2017, dan 3,78% pada tahun 2018. Tren penurunan ini sedikit terganggu pada tahun 2019, di mana tingkat pengangguran meningkat menjadi 3,92%, dan semakin tinggi lagi pada tahun 2020, mencapai 4,71%. Setelah itu, terjadi penurunan kembali menjadi 4,17% pada tahun 2021 dan 3,43% pada tahun 2022.
Selain itu, meskipun pendapatan per kapita penduduk desa mengalami kenaikan setiap tahun, kenaikan tersebut juga relatif lambat. Pada tahun 2018, pendapatan per kapita di desa tercatat sebesar Rp 852.105, kemudian naik menjadi Rp 882.829 pada tahun 2019, Rp 933.695 pada tahun 2020, Rp 971.445 pada tahun 2021, dan Rp 1.028.896 pada tahun 2022. Data ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat pertumbuhan, peningkatan pendapatan per kapita di desa tetap menunjukkan pola yang landai.
Penyebab desa kurang berkembang
Problem kebocoran ekonomi di level desa ditengarai dengan pendapatan atau potensi ekonomi yang dihasilkan di desa tidak bertahan lama atau tidak berkontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi lokal. Situasi ini sering kali disebabkan oleh sejumlah faktor yang saling terkait, yang pada akhirnya memperlemah kemandirian ekonomi desa. Pada umumnya disebabkan oleh beberapa kondisi diantaranya:
- Ketergantungan pada Pasar Eksternal
Banyak desa di Indonesia masih bergantung pada pasar eksternal untuk menjual produk mereka, yang sebagian besar berupa bahan mentah seperti hasil pertanian. Ketergantungan ini menjadikan desa-desa tersebut sebagai produsen primer tanpa kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan lokal. Akibatnya, produk desa dijual dengan harga rendah, sementara keuntungan besar justru diperoleh oleh pihak eksternal yang mengolah dan menjual produk akhir dengan harga yang jauh lebih tinggi.
- Kurangnya Infrastruktur dan Sarana Produksi
Infrastruktur dan sarana produksi yang kurang memadai juga berperan penting dalam memperparah kebocoran ekonomi di desa. Banyak desa tidak memiliki akses yang memadai ke fasilitas penyimpanan, listrik, atau peralatan pengolahan. Dengan kondisi infrastruktur yang minim, biaya produksi dan distribusi menjadi lebih tinggi, sehingga desa-desa lebih memilih untuk menjual produk mentahnya langsung ke luar wilayah. Tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, biaya logistik untuk memasarkan produk desa meningkat, mempercepat aliran kekayaan keluar desa dan memperbesar kebocoran ekonomi.
- Minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) Berkualitas
Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas juga menjadi faktor kunci dalam mengatasi kebocoran ekonomi. Namun, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan masyarakat desa dalam hal pengolahan produk, pemasaran, serta manajemen bisnis sering kali menjadi hambatan. Tanpa SDM yang memadai, desa sulit mengembangkan usaha lokal yang berkelanjutan dan bernilai tambah tinggi. Ketidakmampuan desa dalam mengolah produknya secara mandiri membuat desa semakin bergantung pada pasar eksternal, sehingga nilai ekonomi yang dihasilkan desa tidak bertahan lama di dalam wilayahnya.
- Kurangnya Modal dan Akses Pembiayaan
Masalah pembiayaan juga menjadi tantangan utama bagi desa dalam mengembangkan industri pengolahan lokal. Banyak desa kesulitan mengakses pembiayaan formal yang diperlukan untuk membangun fasilitas produksi atau gudang penyimpanan. Tanpa akses pembiayaan yang memadai, masyarakat desa sering kali terpaksa menjual produk mereka dengan harga rendah hanya untuk mendapatkan dana segar. Selain itu, keterbatasan modal ini juga membuat desa sulit mengembangkan usaha skala besar yang mampu bersaing di pasar yang lebih luas.
- Distribusi dan Rantai Pasok yang Panjang
Distribusi dan rantai pasok yang panjang juga menjadi penyebab kebocoran ekonomi di desa. Produk yang dihasilkan desa harus melewati beberapa perantara sebelum sampai ke konsumen akhir. Setiap perantara mengambil sebagian keuntungan, sehingga pendapatan yang diterima oleh masyarakat desa menjadi sangat kecil. Rantai pasok yang panjang ini membuat desa hanya mendapatkan sedikit dari nilai jual produk akhir, sementara keuntungan besar dinikmati oleh pihak-pihak luar desa.
- Dominasi Tengkulak dan Pasar Monopoli
Tengkulak dan pasar monopoli sering kali mendominasi harga komoditas di desa. Kondisi ini membuat desa tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap harga produk yang mereka jual, karena mereka terpaksa bergantung pada tengkulak sebagai pembeli utama. Ketergantungan ini membuat desa sulit mendapatkan harga yang layak, yang pada akhirnya menyebabkan nilai ekonomi produk desa bocor ke luar wilayah.
- Kurangnya Diversifikasi Ekonomi
Desa juga menghadapi tantangan dalam diversifikasi ekonomi. Banyak desa bergantung pada satu atau dua komoditas utama sebagai sumber pendapatan. Ketergantungan ini meningkatkan risiko ekonomi, terutama ketika harga komoditas tersebut turun atau permintaan pasar menurun. Desa yang kurang diversifikasi cenderung lebih rentan terhadap kebocoran ekonomi, karena tidak memiliki alternatif pendapatan yang bisa menahan aliran ekonomi di wilayah tersebut.
- Pengaruh Teori Backwash Effect
Pengaruh backwash effect semakin memperparah kebocoran ekonomi desa. Ekonomi pasar cenderung menyedot sumber daya dari desa ke wilayah yang lebih maju. Desa yang kekurangan infrastruktur dan sumber daya menjadi sumber daya dan tenaga kerja bagi kota yang lebih berkembang. Akibatnya, desa kesulitan mempertahankan kekayaannya sendiri dan semakin tertinggal dalam perkembangan ekonomi.
- Kurangnya Kemitraan dan Dukungan Kebijakan
Minimnya dukungan kebijakan yang berpihak pada desa juga menjadi kendala dalam mengatasi kebocoran ekonomi. Banyak desa tidak memiliki akses ke program yang mendukung investasi lokal atau bantuan teknis untuk mengembangkan usaha kecil. Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, desa sulit membangun industri lokal yang mampu mempertahankan nilai ekonomi di dalam wilayahnya.
- Keterbatasan Akses Teknologi dan Informasi
Keterbatasan akses teknologi dan informasi menjadi penghalang bagi desa dalam mengembangkan usaha dan memasarkan produknya ke pasar yang lebih luas. Dengan adanya teknologi, desa sebenarnya dapat meningkatkan produktivitas dan mengakses pasar yang lebih besar. Namun, tanpa akses teknologi, desa sulit bersaing, dan akhirnya menjadi rentan terhadap harga rendah dari pembeli luar desa.
- Keterbatasan Sistem Penyimpanan dan Pengelolaan Stok
Keterbatasan sistem penyimpanan dan pengelolaan stok juga membuat desa sulit menahan produk hingga harga pasar menguntungkan. Tanpa adanya gudang penyimpanan, desa terpaksa menjual produk segera setelah panen, meskipun harga rendah, karena mereka tidak memiliki fasilitas untuk menyimpan produk mereka sampai harga membaik.
Strategi jangka panjang
Kebocoran ekonomi di desa dapat diatasi dengan langkah-langkah strategis yang didukung oleh kebijakan nasional. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah pembangunan gudang desa untuk penyimpanan hasil panen dan komoditas lain. Gudang ini dapat membantu desa mempertahankan produk mereka sampai harga pasar stabil, sehingga masyarakat desa bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi dan mengurangi ketergantungan pada tengkulak. Gudang desa juga dapat berfungsi sebagai pusat logistik yang mendukung proses pengolahan dan distribusi di tingkat lokal, yang pada akhirnya meningkatkan nilai tambah produk desa.
Perbaikan rantai pasok juga sangat penting untuk mengurangi kebocoran ekonomi di desa. Dengan mengembangkan jalur distribusi yang efisien antara desa tertinggal, berkembang, dan maju, alur distribusi produk dapat lebih lancar. Desa-desa yang lebih berkembang dapat berfungsi sebagai pusat distribusi untuk desa tertinggal, sementara desa yang maju dapat menyalurkan produk-produk desa ke pasar yang lebih luas. Dengan demikian, desa dapat mempertahankan lebih banyak nilai ekonomi di dalam wilayahnya.
Dalam jangka panjang, dukungan terhadap peningkatan kapasitas SDM desa perlu ditingkatkan melalui pelatihan dan pendampingan usaha. Pelatihan ini harus mencakup keterampilan pengolahan produk, manajemen usaha, dan pemasaran, sehingga masyarakat desa memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola industri lokal. Dengan SDM yang lebih berkualitas, desa dapat mengembangkan produk bernilai tambah tinggi yang dapat dipasarkan secara mandiri.
Kesimpulannya, kebocoran ekonomi di desa memerlukan solusi komprehensif yang mencakup pembangunan infrastruktur, perbaikan rantai pasok, peningkatan kapasitas SDM, dan dukungan teknologi. Dengan implementasi langkah-langkah ini, diharapkan desa dapat mempertahankan lebih banyak nilai ekonomi di dalam wilayahnya dan membangun kemandirian ekonomi yang lebih kuat. Kebijakan yang berpihak pada desa akan sangat membantu dalam menciptakan lingkungan ekonomi yang berkelanjutan, di mana desa dapat berperan sebagai penggerak ekonomi yang signifikan di tingkat nasional.
Penulis: Fajri l Editor: HvD