Syarat Puasa Menurut Madzhab Asy-Syafi’i
Jakarta, Deras.id – Syarat puasa terbagi menjadi tiga, yaitu syarat wajib, syarat sah, dan syarat pelaksanaan. Namun tidak seluruh ulama sepakat dengan pembagian ini, oleh karena itu lihatlah pendapat masing-masing madzhab mengenai pembagian tersebut beserta penjelasan mengenai syarat-syaratnya pada penjelasan di bawah ini.
Menurut madzhab Asy-Syafi’i, syarat puasa terbagi menjadi dua, syarat wajib dan syarat sah. Untuk syarat wajib puasa terdapat empat syarat, yaitu:
Pertama, mencapai usia baligh. Maka dari itu tidak diwajibkan ibadah puasa ini pada mereka yang masih kanak-kanak. Namun demikian sebaiknya mereka sudah diajarkan untuk berpuasa sejak usia tujuh tahun apalagi jika mereka mampu untuk menahan haus dan lapar dari pagi hingga sore hari.
Lalu ketika mereka sudah mencapai usia sepuluh tahun maka tegurlah mereka jika menolak untuk ikut berpuasa. Madzhab Hanafi juga sepakat dengan syarat ini, namun tidak dengan madzhab Maliki, mereka berpendapat bahwa orang tua tidak diwajibkan untuk menyuruh anaknya berpuasa, dan tidak pula dianjurkan, meskipun anak tersebut sudah hampir baligh (lebih dari sembilan tahun).
Sementara madzhab Hambali berpendapat bahwa patokan untuk menyuruh berpuasa bagi anak-anak bukanlah pada usia, namun pada kemampuan dan kesanggupan mereka untuk menahan haus dan lapar. Apabila seorang anak yang hampir baligh sudah mampu untuk menahan haus dan lapar maka diwajibkan bagi orang tua untuk membiasakan anak itu untuk berpuasa di bulan ramadan, dan jika dia menolaknya maka didiklah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.
Kedua: beragama Islam. Maka dari itu tidak diwajibkan atas orang kafir untuk berpuasa, meskipun tentu saja dosa tidak melakukannya tetap harus mereka tanggung di akhirat nanti. Lain halnya dengan orang murtad, mereka tetap terbebani dengan kewajiban untuk berpuasa, dan saat mereka sudah bertobat untuk kembali memeluk agama Islam maka semua Puasa yang ditinggalkannya selama menjadi murtad harus diqadha.
Ketiga: berakal sehat. Maka dari itu tidak diwajibkan atas orang yang tidak waras untuk berpuasa, kecuali seseorang yang hilang akal sehatnya akibat dari perbuatannya sendiri, maka dia diwajibkan untuk mengqadha puasa-puasa yang ditinggalkan ketika akalnya sudah sehat kembali. Begitu juga dengan orang yang mabuk jika mabuknya akibat perbuatan dirinya sendiri secara sengaja, maka dia wajib untuk mengqadha puasanya setelah kondisinya telah pulih.
Keempat mampu secara badaniyah dan secara syar’i. Maka dari itu tidak diwajibkan untuk berpuasa bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakannya, apakah itu karena sudah tua, ataukah karena sakit yang tidak dapat diprediksi kesembuhannya dengan cepat. Ini adalah contoh-contoh alasan ketidak mampuan secara badaniyah. Adapun secara syar’i, contohnya adalah wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas.
Untuk syarat sah puasa juga ada empat. Pertama: beragama Islam saat melakukan puasa. Maka dari itu tidak sah hukumnya puasa jika dilakukan oleh orang kafir ataupun orang murtad.
Kedua: sadar berpuasa. Maka dari itu tidak sah hukumnya puasa jika dilakukan oleh orang yang tidak sadar, semisal orang gila, orang mabuk, dan orang pingsan.
Ketiga: tidak dalam keadaan haidh, nifas, ataupun sedang melahirkan (khusus bagi wanita). Keempat: waktunya diperbolehkan untuk berpuasa. Maka dari itu tidak sah hukumnya berpuasa jika dilakukan pada hari id dan hari tasyriq, karena pada hari itu tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk berpuasa.
Penulis: M.FSA I Editor: Apr