Pemberantasan Korupsi dalam Wajah Perubahan
penegakkan hukum di Indonesia akhir-akhir ini khususnya dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi cukup miris. sehingga menimbulkan penyakit akut terhadap masyarakat meskipun tidak secara tersurat dapat digambarkan dengan nyata, yaitu sebuah ketidak-percayaan (distrust) bahkan bisa disebut frustasi sosial dikarenakan apa yang menjadi ekspektasi masyarakat terhadap penegakkan hukum yang setimpal bagi penggarong uang Negara menjadi sangat softly dan tidak menunjukkan spirit sepenuh hati memberangus tipikor di Indonesia.
Padahal Indonesia secara tegas telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dengan ditandai pada UU Nomor 7 tahun 2006 tentang ratifikasi UNCAC yang pada intinya adalah sebagai upaya pemutakhiran pemberantasan tipikor di Indonesia dengan segala instrumen pendukung tersebut, realitas kontradiksinya ialah Indonesia tetap stagnan hingga saat ini dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) oleh Transparency International dari 177 negara di dunia, penilaian berdasarkan sumber data yang diperoleh dari 13 lembaga internasional yang independen dan kredibel. IPK memiliki rentang skor antara 0-100 Indonesia mendapatkan skor IPK 32 Negara-Negara dengan persepsi Korupsi di dunia, point yang lebih buruk dibandingkan Negara-Negara lain di ASEAN Singapura (86), Brunei (60), Malaysia (50), Filipina (36), dan Thailand (35) , bukan posisi yang bagus dan hal ini menandakan lemahnya pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Data ini pun menenegaskan mengapa pemberantasan Korupsi terkesan sotfly di Indonesia, Dari 295 terdakwa kasus korupsi yang telah divonis, ICW mencatat, 232 di antaranya mendapatkan hukuman ringan. Sementara 40 terdakwa lainnya dihukum sedang. Hanya 7 terdakwa yang dihukum berat. Adapun mereka yang terbukti tidak bersalah atau dibebaskan sebanyak 16 orang. ICW mengategorikan hukuman ringan, sedang, dan berat berdasarkan angka hukuman penjara. Untuk 0-4 tahun penjara dikategorikan sebagai hukuman ringan, 4-10 dikategorikan sebagai hukuman sedang, dan hukuman berat adalah lebih dari 10 tahun penjara .
Dari fakta-fakta yang dipaparkan selayaknya hal ini menjadi penegas mengapa masyarakat seakan mengalami distrust dan frustasi sosial sehingga menyebabkan apa yang perlu menjadi koreksi dalam pemberantasan korupsi terlebih kepada citra penegak hukum khususnya terhadap Hakim dalam memutuskan perkara-perkara korupsi yang merugikan keuangan Negara tersebut.
Padahal Hakim merupakan profesi yang mulia (officium nobile) dan bekerja untuk menghasilkan keadilan dan berjuang atas nama kemanusiaan (Respect for human dignity). Dalam menghasilkan keadilan tersebut amatlah sukar, karena adil identik dengan rasa terhadap hati nurani, dalam konteks pemberantasan tipikor maka perlu semacam upaya-upaya luar biasa dan out of the box dalam memutus perkara korupsi dan pada akhirnya meletakkan “telinga” mereka (baca: Hakim) kepada kehendak keadilan masyarakat sehingga mampu memberikan keadilan yang substansif (delivery of justice for peoples) , hal itulah yang menjadi tugas asali seorang Hakim yang selama ini selalu dinisbihkan oleh hampir representasi hakim Tipikor yang ada di Indonesia, hal ini bisa diibuktikan dengan paparan data yang disajikan ICW dimuka !
Maka dalam mengatasi problematika pemberantasan korupsi di Indonesia perlu sosok Hakim yang memiliki predisposisi psikologis berupa, komitmen melawan korupsi, determinasi, hati nurani, dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ), keberanian (dare) dan mampu keluar dari aras status quo penegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi yang ada selama ini di Indonesia yang cenderung sofly tersebut, sosok itu akhir-akhir ini hadir bak “secercah harapan” di Indonesia,secara personal sosok itu hadir pada Hakim Agung Artidjo Alkostar, sosok Hakim Agung nan sederhana dalam gaya hidup dan lurus dalam track record juga mematikan dalam putusan-putusannya pada kasus tipikor.
Dikenal dengan latar belakang advokat “lurus” di LBH Yogyakarta serta pengabdi pendidikan di Universitas Islam Indonesia (UII), Artidjo merupakan salah satu representasi Hakim yang memiliki predisposisi psikologis yang baik, gaya hidupnya pun sederhana meskipun sudah menjadi pejabat (Hakim Agung) di Mahkamah Agung (MA) dibuktikan dengan setiap berangkat di kantor mengendarai bajaj dan ketika kekuatannya untuk melawan arus dalam derasnya godaan ketika dia menjabat sebagai Hakim Agung bukan hal yang mudah dia lakukan, bahkan Artidjo sampai harus menempel tulisan dipintu masuk ruang kerjanya untuk melarang tamu yang ingin membicarakan perkara masuk ke dalam ruangannya, Artidjo mengatakan bahwa tulisan itu dia buat bukan untuk menunjukkan bahwa dia sok alim atau sok suci tapi justru dengan tulisan itu dia ingin mengungkapkan bahwa dia manusia biasa yang tentu saja bisa tergoda terhadap godaan permainan kotor peradilan. Berikut adalah putusan-putusan Artidjo yang menyita banyak perhatian masyarakat:
1. Artidjo menolak kasasi mantan komisioner Komisi Yudisial (KY) Irawadi Joenos yang dalam sidang terbukti menerima uang Rp 600 juta dan 30 ribu dolar AS, Irawadi mendapatkan vonis 8 tahun penjara.
2. Artidjo menolak kasasi yang diajukan oleh Artalyta Suryani sehingga Artalyta harus tetap di hotel prodeo selama 5 tahun, namun akhirnya putusan kasasi ini musti gugur akibat putusan PK yang memberi keringanan 4,5 tahun.
3. Artidjo juga menolak kasasi jaksa Urip Tri Gunawan, jaksa yang tertangkap tangan setelah menerima uang dari Artalyta, Urip Tri Gunawan harus merasakan 20 tahun penjara atas tindakan penghianatannya sebagai jaksa melecehkan hukum dengan menerim-a suap.
4. Artidjo menjatuhkan hukum berlipat ganda kepada Teguh Budiono selama 8 tahun penjara setelah sebelumnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya memutuskan Teguh Boediono selama 1,5 tahun penjara.
5. Artidjo menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara mantan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin, keputusan yang membalikkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang pada sidang putusan memvonis bebas Agusrin M Najamuddin.
yang menyita perhatian adalah putusan terhadap Angelina Pinkan Sondakh, politisi partai Demokrat yang terlibat skandal korupsi Kemendikbud itu harus merasakan jeratan Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP yang lebih berat hukuman dari hukuman awal ditingkat banding selama 4,6 tahun penjara dengan denda 250 Juta Rupiah menjadi 12 tahun penjara dengan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp. 12,58 Milyar dan USD 2,35 Juta, sungguh putusan yang akan membuat para pemangku kepentingan berpikir 1000 x sebelum melakukan korupsi dan putusan ini menurut KPK menjadi yurisprudensi atas putusan-putusan selanjutnya dalam upaya memberantasan korupsi di Indonesia.
Pada akhirnya, seyogianya sebagai masyarakat yang ingin diberangusnya korupsi di Indonesia mendukung baik moriil dan bahkan bisa menjadi uswah bagi pemberantasan korupsi di Indonesia terhadap Artidjo Alkostar, karena hanya dengan peradilan yang mempunyai nurani anti korupsi-lah (conscience of the court) yang tentu Hakim-Hakim didalamnya memiliki kriteria hakim progresif serta partisan antikorupsi dan butuh lebih dari 1 Hakim yang punya komitmen dalam mewujudkan cita-cita zero tolerance terhadap korupsi maka Indonesia segera menjadi Negara hukum yang mempunyai marwah.
“Berikan Padaku Jaksa dan Hakim yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan” (Satjipto rahardjo,2002)