Wiluyo Kusdwiharto Dorong Energy Trilemma Menuju Net Zero Emission 2060

Jakarta, Deras.id – Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan (EBT) PT PLN (Persero) Wiluyo Kusdwiharto mengingatkan ancaman nyata perubahan iklim yang sebagian dampaknya sudah dirasakan masyarakat. Di antaranya banjir akibat kenaikan permukaan air laut dan suhu udara yang terasa lebih panas.

Seperti diketahui, fenomena tersebut terjadi karena berlebihnya emisi karbon dari energi fosil yang merusak lapisan atmosfer bumi. Menurut Wiluyo, komitmen Indonesia telah memberikan awal yang kuat untuk menyediakan platform untuk percepatan melakukan transisi energi. Komitmen diwujudkan dengan menetapkan target penurunan gas rumah kaca sebesar 31,89% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan bantuan internasional, serta mencapai net zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat.

”Untuk mewujudkan komitmen tersebut, Kementerian ESDM telah berkolaborasi dengan Kementerian/Lembaga dan stakeholders untuk menyusun pemodelan Peta Jalan Transisi Energi,” ujar Wiluyo saat membuka Sarasehan Energi Indonesia Menuju Net Zero Emission 2060 yang diselenggarakan IKA ITS Pengurus Wilayah Jakarta Raya di Gedung Pusdklat PLN, Jakarta Selata,  Jumat (9/8/ 2024).

Wiluyo mengungkapkan, berdasarkan peta jalan tersebut, emisi GRK sektor energi diproyeksikan akan turun sebesar 93% dari skenario Business as Usual (BaU), di mana sisa emisi yang dihasilkan adalah sebesar 129,4 juta ton CO2 di tahun 2060. Untuk mendorong terlaksananya NZE 2060 telah disusun sejumlah langkah strategis untuk mendorong elektrifikasi, penggunaan energi baru, penghentian bertahap (phase down) pembangkit listrik bertenaga batu bara, dan penggunaan peralatan dengan tingkat efisiensi energi tinggi.

Wiluyo berharap sarasehan tersebut menjadikan “Energy Trilemma” atau tiga faktor penting yang harus diperhatikan dalam mengelola energi, yaitu Energy Security, Energy Equity, Enviromental Sustainability sebagai concern pembahasan.

”Saya berharap saraseha ini akan memberikan wawasan yangberharga dan membangun kesadaran yang lebih tinggi tentang Tansisi energy bersih menuju NZE 2060,” kata Wiluyo.

Direktur Operasi Pertamina Lubricant Sigit Pranowo menjelaskan, saat ini industri pelumas tak luput untuk turut ambil bagian dalam pengendalian emisi. Jika tidak bertindak, pada 2050 tingkat emisi akan menjadi bencana karena dapat menyebabkan perubahan iklim yang lebih parah.

Dia mengungkapkan, kebutuhan perusahaan pelumas sedang menghadapi tantangan untuk mengembangkan cairan EV dengan spesifikasi yang dibutuhkan kendaraan agar menghasilkan emisi rendah. Hal ini sejalan dengan peningkatan kualitas bahan bakar, atau mengembangkan mesin baru, seperti mesin bertenaga listrik.

Karena itu, perusahaan pelumas terus mengembangkan pelumas roda gigi untuk dikembangkan ke oli sintetis. Ini dilakukan demi mendapatkan interval pembuangan yang lebih panjang yang berarti meminimalkan akibat emisi pembuangan.

Menurut dia, pelumas produksi Pertamina telah menerapkan standar terbaru, yaitu ILSAC GF-5 untuk API SN dan ILSAC GF-6 untuk API SP. Standar ini mengharuskan oli pelumas untuk membatasi volatilitas, mencegah emisi langsung dari oli yang menguap. (ASTM D 5800). Selain itu, meningkatkan penghematan bahan bakar, mencegah penggunaan bahan bakar berlebihan yang menyebabkan emisi langsung.

” Formulasi pelumas juga mengalami pembaruan dalam hal kinerja. Stabilitas oksidasi yang lebih tinggi, pencegahan keausan dan korosi, dll. berarti oli akan memiliki interval pembuangan yang lebih lama, yang mengarah pada emisi yang lebih rendah yang disebabkan oleh pembuangan oli bekas,” ujar Sigit

Sementara itu, Founder Centre for Energy and Innovation Technology Studies (Cenits) mengingatkan agar Indonesia tidak terus terbawa genderang yang ditabuh negara maju dalam isu transisi energi. Indonesia mesti bisa menentukan arah dan merumuskan kebijakan transisi energi dengan lebih mandiri.

⁠Soni mengatakan Indonesia masih membutuhkan energi fosil guna menopang pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 6- 8%. Berbeda dengan negara maju yang fokus pada aspek to green, negara berkembang seperti Indonesia dalam transisi energi juga harus berpikir to go grow. Karena itu, perlu dirumuskan tujuan secara jelas, terarah, dan terukur dalam transisi energi dan Net Zero Emission (NZE) bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Soni berpendapat bahwa transisi energi dan NZE harus tetap memegang teguh jatidiri bangsa Indonesia dan kondisi sosial budaya. Indonesia juga perlu menguasai teknologi, SDM yang mumpuni, dan infrastruktur. Indonesia juga tak boleh meninggalkan aspek non teknis transisi energi, yakni regulasi, peraturan dan pendanaan dan sebagainya.

Untuk kepentingan transisi energi, Soni menyarankan agar penggunaan gas alam ditekankan. Konsekuensinya, ekspor gas alam hanya boleh dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Hal ini diiringi dengan upaya penemuan sumber gas baru.

”⁠Ini yang penting, yaitu fokus menjaga amanah konstitusi yakni sebesar-besar kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dalam kerangka menghantarkan menuju negara maju. Untuk itu, Indonesia membutuhkan panglima energi yang kuat, tangguh dan bermartabat,” ujar dia.

Exit mobile version