Jakarta, Deras.id- Gemuruh satu stadion menggema setiap Timnas Inggris tampil di kompetisi internasional. Seluruh fans akan selalu meneriakan sebuah lagu berjudul “Three Lions”. Lagu ini memuat frasa populer “Football’s coming home” yang kurang lebih menggambarkan ekspektasi para pendukung tim sepakbola Inggris ketika mendukung tim kesayangan mereka. Lewat lagu tersebut, mengajak para pendengar dan publik pecinta sepakbola Inggris untuk tidak pernah putus harapan untuk mendukung tim nasional kendati sering kali menuai kegagalan.
Namun pada beberapa sisi pemain, lagu ini justru menjadi beban tersendiri. Karena ketika baru menang sekali di babak penyisihan, lagu ini pasti sudah diputar di mana-mana. Seakan-akan fans sudah menaruh harap setinggi langit pada tim yang sedang berlaga.
Tekanan yang diberikan fans dan media-media Inggris membuat para pemain Timnas Inggris menjadi kurang lepas dalam bermain. Contohnya saja Wayne Rooney yang trengginas di Kualifikasi Piala Dunia 2010, namun nihil gol di putaran final. Belum lagi kritikan pedas yang dilayangkan kepada pemain apabila gagal memenuhi ekspektasi fans sangat meresahkan. Mulai dari kegagalan penalti Gareth Southgate di Euro 1996 sampai David Beckham yang masih muda sudah dikuliti habis-habisan oleh media Inggris setelah mendapat kartu merah di Piala Dunia 1998.
Pemilihan manajer juga jadi salah satu faktor tidak konsistennya Timnas Inggris. Timnas Inggris hampir tidak pernah menunjuk pelatih ternama untuk menukangi tim di ajang internasional. Tercatat sejak Piala Dunia 2002 mungkin hanya Fabio Capello, pelatih dengan nama besar yang pernah melatih Inggris. Setelah itu nama seperti Steve McClaren, Roy Hodgson, Sam Allardyce, dan yang sekarang, Gareth Southgate. Mereka dirasa tak memiliki pengalaman yang mentereng di taraf internasional maupun klub. Southgate sebelum melatih Inggris dia hanya seorang pelatih tim Middlesbrough.
Jadi untuk menangani tim semewah Timnas Inggris, Southgate dirasa belum memiliki kapasitas yang cukup. Bahkan dilansir Telegraph, Southgate jadi pelatih Inggris paling overrated sepanjang masa.
Lebih dalam lagi, ego para pemain bintang menjadi tontonan yang kerap ditemukan ketika mendekati perhelatan turnamen akbar. Faktor pelatih juga erat kaitannya dengan hal tersebut, karena peran pelatih sangat penting dalam mengatur stok pemain-pemain Inggris yang kerap menjadi bintang di klubnya masing-masing. Setelah pemain-pemain bintang dijadikan satu, maka yang akan nampak adalah egonya. Jadi peran pelatih sangat diperlukan untuk meredam ego para pemain bintang ini. Contohnya di generasi emas Inggris angkatan Piala Dunia 2006, di satu posisi saja ada banyak pemain bintang. Dan momen itu menjadi sejarah generasi emas yang gagal total.
Timnas Inggris juga kerap memprioritaskan pemain-pemain yang bermain di liga lokal. Hal tersebut menyebabkan aura rivalitas di klub kadang terbawa hingga ke timnas. Contohnya saja Gary Neville yang selalu bersaing dengan Jamie Carragher soal klub siapa yang terbaik, MU atau Liverpool.
Terakhir ada faktor mitos yang terkandung dibalik nasib Timnas Inggris. Percaya tidak percaya, kegagalan Timnas Inggris tak lepas dari sebuah kutukan di masa lalu. Skuad The Three Lions berhasil juara Piala Dunia pada edisi 1966. Di partai final, mereka berhasil menekuk perlawanan Jerman Barat dan laga berkesudahan dengan skor 4-2. Namun pada laga itu, Jerman Barat sempat protes dengan keputusan wasit lantaran telah mengesahkan gol Geoff Hurst. Mereka menilai jika bola belum melewati garis gawang. Lantas, merekapun mengutuk Inggris tidak akan pernah menjadi juara Piala Dunia lagi. Dan hingga saat ini, skuad The Three Lions belum mampu juara lagi di Piala Dunia dan EUORO.
Terbaru, mereka kembali mengalami kekalahan mengejutkan dari Islandia ditengah keperkasaan komposisi tim. Hal tersebut membuat persiapan mereka untuk Euro 2024 menjadi berantakan.
Islandia sukses memberikan kejutan terbesar dalam sejarah sepak bola internasional ketika mereka menyingkirkan Inggris asuhan Roy Hodgson dari Euro 2016 sehari setelah Inggris memutuskan untuk meninggalkan Uni Eropa. Dan meskipun The Three Lions merasa menjadi tim yang jauh lebih kuat di tahun-tahun berikutnya, laga ini adalah pengingat bahwa mereka masih jauh dari sempurna saat mereka berangkat ke Jerman. Status mereka sebagai favorit akan terguncang oleh kekalahan ini, begitu pula kepercayaan diri mereka karena mereka dengan cepat kehabisan ide bagaimana cara melewati tim tamu yang kompak.
Penulis: Rizal I Editor: Apr