Jakarta, Deras.id – Pemerintah harus tingkatkan perhatiannya pada industri farmasi, salah satunya pengembangan fitofarma guna mengoptimalisasi sumber bahan baku obat herbal dalam negeri. Bambang Brodjonegoro eks Menteri Keuangan sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia menanggapi mahalnya harga obat dalam negeri dari pada di negara tetangga.
Sehingga, menurut Bambang pemerintah harus segera mengintervensi pengendalian harga obat di pasar melalui sejumlah cara, seperti menambah kompetitor baru untuk setiap obat generik di pasar.
“Dengan dua cara, pertama dengan menghadirikan pesaing untuk setiap jenis obat generik meski sama-sama impor,” kata Bambang kepada Bisnis, dikutip Minggu (14/7/2024).
Selain itu, dia juga mengakatakan bahwa harga obat dapat ditekan dengan melakukan importasi obat non generik tidak langsung dari pabrik utamanya di AS atau Eropa, tetapi dari assembly seperti di India.
Bambang juga menjelaskan untuk bisa dapat lepas dari ketergantungan impor, Indonesia memiliki sejumlah pekerjaan rumah seperti kombinasi fitofarmaka basis herbal dengan investasi industri turunan petrokimia untuk bahan baku obat.
“Perlu sekali menambah anggaran R&D (Research and Development) dan mendorong swasta memanfaatkan R&D tax deduction dalam mengembangkan obat berbahan herbal,” tuturnya.
Lebih lanjut, Bambang membeberkan potensi industri fitofarmaka yang juga membutuhkan dukungan untuk clinical trial karena terbilang rumit dan mahal.
“R&D untuk fitofarmaka dengan memanfaatkan bahan herbal di Indonesia memang mahal dan harus ditunjang insentif tax deduction dan dukungan clinical trial,” jelasnya.
Bambang menilai industri farmasi nasional belum dapat bangkit dan berkembang lantaran tidak masifnya pengembangan industri turunan petrokimia, khususnya untuk bahan baku obat, tidak dimasukkannya obat berbahan baku lokal dalam daftar BPJS, serta pelemahan nilai tukar yang sudah setahun lebih.
Penulis: M.F.S.A I Editor : Dinda