Tambang Ormas : Ekonomi Mandiri atau Bencana Ekologi

Surabaya, Deras.Id – Ormas keagamaan adalah organisasi yang memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bukan sekadar wadah ibadah atau pendidikan; mereka adalah institusi sosial yang menumbuhkan solidaritas, gotong royong dan kepedulian terhadap sesama. Kepercayaan publik terhadap ormas keagamaan tidak hanya bergantung pada jumlah massa, tetapi juga pada sila pertama Pancasila yang menegaskan kewajiban setiap warga negara untuk memeluk agama. Hal ini membuat masyarakat menaruh kepercayaan besar pada ormas keagamaan.
Dengan posisi sosial yang demikian kuat, setiap keputusan yang diambil ormas keagamaan memiliki dampak yang luas terhadap integritas dan kesejahteraan masyarakat. Pada saat pemerintah membuka peluang baru seperti memberikan akses Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 pertanyaan etis, hukum, dan sosial harus dijawab lebih dulu sebelum langkah bisnis dijalankan.
Secara resmi, PP No.25/2024 memberi kesempatan bagi ormas untuk ikut mengelola tambang lewat badan usaha yang memenuhi syarat administratif, teknis, dan finansial. Pemberian IUP kepada Ormas keagamaan adalah sebuah harapan pemerintah untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan membuat Ormas keagamaan memiliki kemandirian ekonomi.
Namun, peluang ini juga menimbulkan pertanyaan penting. Apakah pengelolaan tambang oleh ormas akan sesuai dengan nilai agama yang mereka junjung? Atau justru bisa menimbulkan masalah baru, seperti konflik kepentingan, kerusakan lingkungan, dan ketegangan sosial di daerah tambang? Banyak ormas yang masih ragu. NU menyatakan siap setelah melakukan kajian dan menegaskan komitmen pada kesejahteraan umat. Sementara itu, di Muhammadiyah muncul perdebatan pro dan kontra menunjukkan bahwa keputusan ini bukan hanya soal bisnis, tapi juga soal etika dan tanggung jawab moral.
Kekhawatiran ini bukan sekadar dugaan. Pertambangan sering meninggalkan masalah yang sangat serius: tanah rusak, kualitas air menurun, dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar terganggu. Memang, dalam jangka pendek bisa terlihat manfaatnya, seperti lapangan kerja dan tambahan pemasukan. Tapi manfaat itu bisa berubah jadi masalah besar jika kerusakan lingkungan merusak mata pencaharian warga, memecah persatuan masyarakat, atau bahkan menurunkan kepercayaan pada ormas keagamaan sebagai lembaga yang seharusnya menjaga nilai moral.
Dari sisi hukum dan tata kelola, ada kritik bahwa aturan dalam PP No.25/2024 (misalnya soal WIUPK) masih perlu diperjelas supaya tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan tidak ditafsirkan terlalu bebas. Selain itu, pengawasan, transparansi, pembagian manfaat untuk masyarakat adat dan lokal, serta akuntabilitas publik seharusnya menjadi syarat wajib, bukan sekadar anjuran. Bahkan ada yang mengusulkan agar kebijakan ini diuji kembali, misalnya lewat uji materiil, untuk memastikan sesuai dengan prinsip hukum tata negara dan hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat.
Terdapat tiga rekomendasi utama dalam menyikapi hal ini. Pertama, organisasi masyarakat (ormas) yang hendak terlibat dalam pengelolaan tambang perlu menegaskan prinsip etika; yakni mengutamakan kesejahteraan masyarakat, menghormati hak komunitas lokal dan adat, serta berkomitmen terhadap pemulihan lingkungan. Kedua, negara wajib memastikan bahwa pemberian izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada badan usaha milik ormas disertai persyaratan yang ketat, meliputi standar teknis, kajian dampak lingkungan yang kredibel, serta mekanisme partisipasi publik yang melibatkan masyarakat, akademisi, dan pihak terdampak. Ketiga, ormas perlu menjaga transparansi baik internal maupun eksternal melalui penyampaian laporan secara berkala, audit independen, serta pembatasan yang tegas agar kegiatan dakwah dan pendidikan tidak tercampur dengan aktivitas komersial.
Pada akhirnya, keputusan ormas untuk terlibat dalam bisnis pertambangan tidak boleh hanya dilihat dari potensi keuntungan, tetapi juga dari kemampuannya menjaga integritas moral, melindungi lingkungan, dan mendorong keadilan sosial. Ormas yang mengelola sumber daya alam harus menunjukkan bahwa kekuatan sosial dan agama dapat digunakan untuk mewujudkan keberlanjutan, bukan menambah kerusakan dan ketidakadilan. Jika hal ini diabaikan, maka yang dipertaruhkan adalah legitimasi moral ormas sebagai pilar penting solidaritas nasional.
Biruku tak akan pudar. Kuningku tak akan luntur.
Pergerakanku akan selalu tumbuh. Bergerak, bersinar, dan berkelanjutan.
Penulis: Muhammad Hamzah Billal Febrianza, Mahasiswa Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur
Editor: AgusW