Setelah Seratus Tahun, Lalu Apa? Sebuah Refleksi 100 Tahun Nahdlatul Ulama
Oleh : Roni Tabroni*
Dr. (HC) K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab dipanggil Gus Mus dalam sebuah press conference yang digelar di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta Pusat pada Jumat, 6 Januari 2023 mengajak para nahdliyin untuk menguatkan niat dan tekad melanjutkan amal dan mengembangkan khidmah. Baik dalam organisasi, kemasyarakatan, dan kemanusiaan. Selain itu, Gus Mus juga berpesan untuk selalu menyebarkan agama Allah dengan kasih sayang, bukan dengan kebencian.
Pesan sederhana yang juga muncul dalam lirik mars satu abad NU tersebut seakan memberi bocoran kepada kita semua tentang langkah apa yang telah dan akan NU tempuh. Sebuah pilihan langkah yang akan menjawab sebuah pertanyaan besar, setelah seratus tahun langkah yang telah dilakukan NU, lalu selanjutnya apa?
Nahdlatul Ulama atau NU memang akan berusia satu abad atau seratus tahun pada 6 Rajab 1444 Hijriah atau pada tanggal 7 Februari 2023. Sebuah umur yang dapat dikatakan telah banyak makan asam garam bagi sebuah organisasi keagamaan. Kesepahaman, ketidaksetujuan, dan bahkan pertikaian kecil mewarnai perjalanan organisasi yang didirikan oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari tersebut.
Masih teringat bagaimana NU yang dikomandoi Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya dikenang gigih melawan penjajah Belanda pada Oktober 1945. Dari rahim NU inilah kemudian muncul-muncul laskar-laskar perjuangan; Sabilillah dan Hizbullah.
Roda perjuangan NU kemudian menapaki jalan berliku ketika terjerembab di kancah politik. Pilihan untuk menjadi partai peserta pemilu pada tahun 1955 membuat NU menjadi abai dalam dakwah dan aktivitas pendidikan. Bertahun-tahun NU bergulat dalam iklim politik hingga pada tahun 1984 muncul gerbong perubahan. Sebuah gerbong yang mengajak untuk kembali ke “Khittah 1926” atau kembali ke alasan dasar NU didirikan. Sebuah khittah sebagai jam’iyah diniyah yang bergerak dalam dakwah dan pendidikan.
Kembalinya NU kepada Khittah 1926 yang secara resmi disampaikan pada Munas NU dan dikukuhkan dalam Muktamar ke-27 di Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo tahun 1984 membuat organisasi ini kembali menemukan relnya. Sebuah rel yang kemudian ditapaki oleh para intelektual-intelektual cemerlang NU. Mulai dari KH Achmad Siddiq, sang perumus khittah 1926 sampai KH Abdurahman Wahid dan KH Mustofa Bisri yang kemudian menerjemahkan rumusan tersebut menjadi sebuah langkah operasional.
Berkat kembali ke jalan dakwah kultural dan pendidikan, organisasi ini kemudian segera menemukan momentumnya pada mobilitas pendidikan generasi mudanya. Terbukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan menengah dan pendidikan tinggi umum, kemajuan signifikan pendidikan tinggi Islam negeri (PTIN) dan pendidikan Islam swasta (PTIS) menjadi faktor utama lebarnya akses para santri, khususnya dari keluarga nahdliyin, akan pendidikan. Hilirnya adalah masifnya intelektual-intelektual muda NU dalam mengisi berbagai posisi, baik sebagai akademisi ataupun yang masuk ke birokrasi pemerintahan.
Masifnya intelektual muda NU mengisi berbagai posisi yang terjadi hampir empat dekade ke belakang ini seharusnya bisa menjadi sebuah cermin besar tentang kesuksesan organisasi ini dalam menelurkan intelektual-intelektualnya untuk beramal dan berkhidmah untuk organisasi, masyarakat, dan kemanusiaan.
Setelah Seratus Tahun, Lalu Apa?
Kini, NU sebagai organisasi, sejak tahun lalu memiliki nakhoda baru bernama KH Yahya Staquf. Lima tahun ke depan kepengurusan ini mencanangkan sebuah tujuan besar yaitu, “kebangkitan teknokrat, intelektual, dan entrepreneur NU yang loyal pada tradisi NU, baik dalam aspek pemikiran (fikrah), pengamalan (amaliyah), dan gerakah (harakah)”.
Sebuah tujuan yang secara sederhana berusaha untuk meningkatkan SDM, baik secara pengetahuan, keterampilan, inovasi, ataupun kemandirian pada era digital dengan tetap memegang teguh tradisi yang berkembang di kalangan NU. Sebuah tujuan yang terlihat awas akan majunya dunia tetapi membutuhkan sebuah perjuangan melihat bagaimana angin hitam yang terus berusaha menyelimuti.
NU sendiri tidak dapat dikatakan mulus dalam langkahnya di era reformasi. Banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Mulai dari pribumisasi konsep Islam Nusantara dan Islam moderat kepada masyarakat muslim Indonesia. Konsep yang telah didengungkan sejak beberapa tahun yang lalu tersebut sampai sekarang masih memunculkan perdebatan. Hingga belum masifnya sosialisasi peran-peran NU dalam menjaga demokrasi, alam, dan lingkungan.
Satu abad yang lalu, NU muncul dengan semangat beramal dan berkhidmah untuk masyarakat dan bangsa. Di abad yang kedua, NU diharapkan akan terus beramal dan berkhidmah sesuai pesan Gus Mus pada mars satu abad NU. Sebuah amal dan khidmah yang dapat diwujudkan dengan selalu menjadi rumah besar yang nyaman bagi jutaan muslim Indonesia yang berdiam diri ataupun bertamu ke dalamnya. Wacana-wacana Islam ramah, penuh kasih sayang, jauh dari kebencian semoga selalu menjadi hidangan yang bisa dinikmati oleh semua orang, dari berbagai golongan, dari berbagai agama dan kepercayaan.
Wallahu a’lam bisshowab
*) Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN