Potret OTT Basarnas dan Revisi UU TNI Buka Memoar Bengisnya Orde Baru

*) Bagaskara Dwy Pamungkas

Kabar mutakhir kembali membuat publik geger ikhwal Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh lembaga anti rasuah terhadap lima pelaku kejahatan yang melibatkan dua oknum anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang juga tengah menjabat sebagai kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (kabasarnas) Republik Indonesia.

Sayangnya pascapenetapan tersangka, lembaga sekaliber KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) meminta maaf terhadap pihak TNI, dengan mengatakan bahwasannya anak buahnya mendapati kehilafan dalam menjalankan tugas, seolah-olah penyidik dan penyelidik lupa apabila melibatkan “anggota”, mereka memiliki standart tersendiri dalam proses penindakan hukumnya.

Pada kasus tersebut, KPK telah menetapkan Kabasarnas RI periode 2021-2023 Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto selaku Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas sebagai tersangka korupsi, yang pada akhirnya, dengan dalih “mekanisme tersendiri”, kasus itu dilimpahkan ke Puspom TNI karena kasus keduanya bakal diusut melalui mekanisme TNI.

Barangkali sudah sepatutnya apabila pemerintah mengevaluasi keberadaan prajurit diinstansi sipil, terutama pada lembaga yang dapat mengelola keuangan sipil, karena apabila menimbulkan polemik hukum, dan didapati pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit, bakalan ada korps gajah yang dapat pasang badan untuk kembali menggempur lembaga yang dirasa mengganggu kelompoknya.

Maka cukup penting untuk pemerintah dan DPR mempertimbangkan kembali, atau segera merevisi UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Karena selama ini aturan tersebut acap kali menjadi legitimasi impunitas dan alibi untuk tidak mengadili oknum aparat diperadilan umum.

Syahdan, penulis teringat dengan kabar yang beberapa bulan lalu mencuat kepermukaan, dan sangat mengusik ketenangan publik, khususnya dikalangan aktivis. Yaitu bocornya draf Rancangan Undang-Undang (RUU) nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, yang itu tidak masuk dalam 39 RUU Program Legislasi Nasional (prolegnas) Prioritas 2023, dimana draf tersebut merupakan usulan dari Badan Pembinaan Hukum alias Babinkum TNI pada April 2023.

Banyak pengamat demokrasi resah dengan kabar tersebut, tidak dapat dipungkiri apabila Undang-Undang (UU) itu secara resmi dibuka untuk direvisi, akan menyulut protes yang cukup besar, termasuk organ kemahasiswaan terbesar di Indonesia yaitu PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), yang sedari orde lama konsisten berpegang teguh pada pilar-pilar demokrasi.

Berbagai macam argumentasi melatar belangi penolakan revisi UU TNI tersebut, lantaran Bangsa Indonesia sudah cukup trauma dengan kebengisan orde baru dibawah kepemimpinan Jendral (purn) Soeharto, yang sarat dengan korupsi dan gaya kepemimpinan totaliter.

Yang dalam perjalanannya membidani lahirnya dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Dimana dwifungsi ABRI merupakan doktrin dari Soeharto yang memberikan tugas militer dan politik kepada angkatan bersenjata.

Selain menjaga keamanan dan ketertiban negara, ABRI memegang kekuasaan dan mengatur negara. Pada Orde Baru, semua posisi kunci pemerintahan diduduki oleh militer. Maka usulan revisi sarat agenda perluasan wewenang militer.

Pastinya berkat aturan tersebut, penempatan prajurit aktif dijabatan sipil atau instansi pemerintahan juga diperlonggar, dimana hal tersebut dapat kembali mengganggu stabilitas demokrasi dan berpotensi terjadi kembali planggaran HAM berat di Indonesia.

Cukup jelas arah dari pada revisi UU tersebut, cobak kita perhatikan dan renungkan pasal demi pasal yang bakalan direvisi. Dinukil dari terbitan Tempo, 22/05/23. beberapa poin krusial di dalamnya: 1. Kedudukan TNI. Aturan ini tertuang di Pasal 3 ayat 1. Aturan saat ini menyebutkan bahwa dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden.

Pasal ini diusulkan untuk diubah. Sehingga dalam usulan, tidak ada lagi kalimat soal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer oleh Presiden.

Selain itu, ada tambahan kewenangan baru untuk TNI yaitu soal keamanan, yang selama ini dimiliki polisi. Sehingga usulan perubahan berbunyi TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden.

  1. Tugas TNI. Kemudian, usulan penambahan jumlah tugas pokok TNI di bidang operasi militer selain perang yang diatur di Pasal 7. Dari semula 14 menjadi 19. Lima tambahan tersebut di antaranya seperti mendukung pemerintah dalam upaya penanggulangan ancaman siber dan menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut dan di ruang udara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berikutnya, mendukung pemerintah dalam melindungi dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri, mendukung pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya. Terakhir, melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Presiden guna mendukung pembangunan nasional.

  1. Wakil Panglima TNI. Kemudian usulan perubahan di Pasal 13 yang mengatur soal wakil panglima. Jokowi sempat menghidupkan posisi wakil panglima lewat Perpres Nomor 66 Tahun 2019. Tapi saat ini, tidak ada keputusan terbaru soal pengangkatan wakil panglima bagi Yudo.
  2. Penempatan Prajurit Aktif. Berikutnya, ada lagi usulan perluasan penempatan prajurit aktif di kementerian lembaga seperti yang diatur dalam Pasal 47. Saat ini, prajurit aktif hanya bisa ditempatkan di beberapa bidang saja.

Di antaranya yaitu kantor di bidang politik dan keamanan negara, pertahanan, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR, narkotika nasional, hingga Mahkamah Agung.

Tapi dengan usulan perubahan, pos jabatan untuk prajurit aktif diperluas. Ada beberapa tambahan baru seperti Staf Kepresidenan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, sampai Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, sampai Kejaksaan Agung.

  1. Pensiun 60 Tahun. Dalam pasal 53 saat ini, prajurit pensiun di usia 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tantama. Pasal ini diusulkan untuk diubah. Usia pensiun tetap 58 tahun, tapi bisa diperpanjang jadi 60 tahun bagi yang punya kemampuan, kompetensi, dan keahlian khusus.
  2. Pidana untuk Militer. Berikutnya, ada usulan perubahan di Pasal 65. Saat ini, prajurit tunduk pada peradilan militer untuk pidana militer dan peradilan umum untuk pidana umum. Sementara dalam usulan terbaru, prajurit tunduk pada peradilan militer saja, baik untuk pelanggaran hukum militer maupun umum.

Di luar berbagai usulan tersebut, masalah ada beberapa poin perubahan krusial lainnya. Reaksi muncul salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

“Terdapat sejumlah usulan perubahan pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum, dan pemajuan HAM di Indonesia,” demikian pernyataan sikap koalisi. Bahkan, mereka menyebut poin-poin perubahan ini mengembalikan konsep dwifungsi TNI.


*) Biro Advokasi, HAM, Riset dan Lingkungan Hidup. PC PMII Jember

Exit mobile version