Perjuangan mentri BUMN mengait suara di PBNU
*A. Muiz
Tak terasa sudah sekian kalinya alam bawah sadar PBNU dirumuskan oleh kehendak kementrian itu dalam kerjasama di aspek kapital. Usaha yang dilakukan makin hari makin menjadi-jadi akibat tidak adanya filter dari PBNU untuk menepis hegemoni bisnis yang diajukan sebagai tesis publik pada PBNU.
Keinginan kuat kementrian itu adalah merubah cara berpikir yang dikira NU bisa berobat padanya, tak ayal dalam bentuk kerja-kerja kreatif yang bisa diseludupkan hingga Mentri bisa mengemudi di setir ekonomi NU. Ciri memorandum yang biasa dilihat adalah baju loreng NU yang sering dikenakan oleh si mentri dibeberapa acara seremonial, padahal belum Diklat.
Upaya itu terlihat jelas sangat masif memperagakan politik demi menjemput suara pemilih tradisionil NU kebanyakan. Alangkah niscaya mendempet kemenangan di elektorat sekuler sebagai penyokong utama dalam karir Politik Eksekutif, walaupun musuh politik sebelah sudah siap siaga dalam memperlihatkan baleho di pinggir jalan.
Keinginan kuat menjadikan Endonesa sebagai peluang bisnis terbesar di dunia dengan segala macam kekayaan alam yang nantinya di eksplorasi sebagai aset keluarga walaupun ujung-ujungnya eksploitasi.
Bentuk paling lumrahnya ialah kemauan kuat mengejar para pecalon yang telah terlihat di permukaan, walaupun tanpa dorongan partai. Ketidaksadaran PBNU dalam mengira-ngira bahwa si mentri hanya ingin membantu belaka, tapi psikologi mengatakan bahwa ini bukanlah eksegesi kacau melainkan pasti ada hutang Budi yang harus dibayar, dengan cara ganti akumulasi elektorat.
Kata Cak Nun pemilih itu ada tiga kategori, pertama pemilih tradisional yang akan tunduk pada tokoh masyarakat, kedua pemilih modern yang memilih atas dasar emosi fisik, ketiga pemilih postmodern yang cara memilihnya sangat pinter. Mungkin sedikit dalil politik dari Ketua Umum PBNU saja, warga nahdliyin akan ikut semua dengan menggerakkan pesantren dan organisasi naungannya dll.
Maka besar kemungkinan dalam hal pemilihan ini sangat banyak yang terkontrol dan terkekang walaupun lembaga survey sudah memberi indeks pendapatan suara di daerah. tapi kan LSI sendiri masih di pertanyakan sumber anggarannya dari mana ?? Jadi masih ada peluang si mentri untuk berkolaborasi dengan Usaha-usaha rasional.
Emosi bersama sudah terkumpul dan capaian yang diberikan sudah jelas terlihat dalam bentuk Grosir dan pendanaan besar lain, tapi yang masih ditunggu adalah dalil dalam bentuk fatwa !! mungkin masih menunggu moment yang tepat untuk mengucapkan.
Seharusnya PBNU sebagai Ormas terbesar di Indonesi tidak feodal dalam segala hal, maka tidak boleh ada yang mengatur kecuali pada aspek Sosiologis. PBNU seakan menjadi partai yang memberi peluang bagi para kapitalis untuk menjadikan dirinya hamba politik, harusnya ada sosok yang berani seperti seperti Gus Dur yang diusung sebagai calon dan tertitip pada partai, toh walaupun akan dijatuhkan juga karena terlalu ideal.
Khasanah keilmuan yang cukup luas bahkan mampu menandingi beberapa ormas lain di beberapa kesempatan, pada wilayah kepemimpinan negara karakteristik harus dimunculkan, jangan nebeng di lain pihak yang berkepentingan apalagi pada wilayah Bisnis Politik.
Di wilaayah pendanaan urung rembuk Lah untuk (iuran) paling banyak sepuluh ribu perkapita, justru metode inilah yang akan mendompleng perekonomian NU di tiap-tiap region dengan segala macam MoU di kampus-kampus, pesantren dan usaha mikro lainnya.
Ke semuanya menentukan nalar ekonomi yang basisnya adalah kemakmuran, bukan hanya untuk membangun sekolah-sekolah lebih dari itu yakni merealisasikan Nahdlatul Tujjar bahkan Nahdlatul Mustad’afin. Inilah yang orang NU ingin capai sebagai hasil ke-emasan dirinya dalam aspek ekonomi islam tanpa intrik politik identitas.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Islam jember