Pengamat Ungkap Sisi Negatif Presidential Threshold dalam Pemilu

Jakarta, Deras.id – Pengamat Politik Indonesia Refly Harun mengatakan bahwa politik Indonesia harus bisa menghilangkan presidential threshold 20 persen. Menurutnya hal tersebut akan menjadi sebuah awal kehancuran untuk demokrasi Indonesia yang akan terpecah belah.

“Karena presidential threshold itu menyebabkan hal-hal yang negatif di negeri ini. Satu kita terbelah jadi cebong dan kampret,” kata Refly dalam akun YouTube Refly Harun di kutip Deras.id pada Senin (10/4/2023).

Refly menyebut partai politik saat ini seperti hanya untuk menjatuhkan satu sama lain sesama partai. Menurutnya persaingan yang dilakukan seperti tidak sehat saling menumbangkan demi kepentingan partainya sendiri.

“Partai politik hanya menjadi sewa perahu, perahu yang mau disewakan. Kemudian untuk menumbangkan sayap-sayap politik di tahap awal, memastikan seseorang bisa menang atau bisa kalah,” ujar Refly.

Refly mengungkapkan seharusnya ada sebuah komitmen untuk menghilangkan presidential threshold. Pasalnya meskipun presidential threshold ini dihilangkan tidak akan bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi.

“Karena perspektif putusan MK, itu ya terserah DPR, mau ada presidential threshold silahkan, mau tidak ada juga silahkan,” jelas Refly.

Refly juga mengaku bahwa presidential threshold jika dikaji secara teliti maka bisa bertentangan dengan MK. Menurutnya MK sudah mengatakan bahwa calon presiden itu diusulkan partai politik atau gabungan dari parpol para peserta pemilu.

“Seharusnya konstitusional standing adalah partai itu menjadi partai, peserta pemilu maka dia punya hak untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” tegas Refly.

Kendati kemudian, dia meminta kepada partai-partai untuk memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk menjadi pemimpin Indonesia dimasa yang akan datang. Ia juga menyinggung terkait pencalonan Prabowo yang sampai empat kali berturut-turut kalah dalam kontestasi pemilu.

“Prabowo sudah empat kali ingin maju presiden, mulai dari tahun 1999 dengan ikut konversi partai golkar, kedua sebagai cawapres yang berpasangan dengan Megawati pada tahun 2009 namun gagal, lalu kemudian tahun 2014 berpasangan Hatta Rajasa gagal juga dan terakhir 2019 berpasangan dengan Sandiaga Salahudin Uno gagal juga,” ungkap Refly.

Penulis: Fia l Editor: Ifta

Exit mobile version