Peneliti BRIN Sebut Politik Dinasti di DPR Persempit Peluang Rakyat Biasa
Jakarta, Deras.id- Peneliti dari Pusat Riset Politik BRIN, Firman Noor, mengatakan bahwa adanya keberadaan dinasti politik dalam struktur DPR RI 2024-2029 mengurangi kesenjangan bagi calon wakil rakyat yang berasal dari masyarakat biasa. Fenomena ini juga bisa membatasi pilihan masyarakat karena elit partai politik cenderung memajukan calon anggota legislatif yang sudah memiliki ikatan keluarga.
“Tidak saja partisipasi itu dibatasi di dalam konteks memilih siapa yang akan menjadi wakil rakyat atau elit di dalam pemerintahan di level nasional maupun lokal, tapi juga menjadi terbatas karena tidak memberikan peluang adanya alternatif dari orang biasa,” kata Firman pada Rabu (2/10/2024).
Fenomena ini menciptakan situasi di mana masyarakat terjebak dalam pilihan yang tampak demokratis, tetapi sebenarnya sudah dikendalikan oleh para pemilik dinasti politik. Firman mengaku khawatir jika tren ini terus berkembang, baik di legislatif maupun eksekutif, maka akan muncul yang tidak sehat dalam persaingan demokrasi.
“Apabila kita sampai pada titik di mana dinasti politik saling berhadapan, didukung oleh yang menguasai dinasti masing-masing, maka kita akan mengalami kemunduran dalam demokrasi,” jelas Firman.
Meskipun demikian, Firman menyatakan bahwa ada batasan dalam hal kompromi mengenai dinasti politik tersebut. Ia mencatat bahwa di beberapa negara system demokrasi yang telah stabil, seperti Amerika Serikat yang juga pernah mengalami dominasi dinasti politik.
“Namun, dinasti politik yang ada tidak seharusnya bertujuan untuk melanjutkan kekuasaan keluarga, melainkan menjadi bagian dari perjuangan politik yang murni untuk mendukung demokrasi,” ucap Firman.
Sebelumnya, riset yang dilakukan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menemukan bahwa setidaknya 79 dari 580 anggota DPR terpilih periode 2024-2029 memiliki keterkaitan dengan dinasti politik. DPR kini menjadi ajang bagi pasangan, anak, dan kerabat dari kalangan elite politik.
Data yang diperoleh Formappi berasal dari informasi yang dikumpulkan oleh KPU sejak awal pencalonan. Namun, Formappi menilai bahwa data tersebut kurang lengkap dan tidak dapat diidentifikasi secara mendalam, seperti Riwayat pekerjaan para calon.
Editor: Muhibudin Kamali