Opini

Negara Biarkan Aplikator Peras Ojek Online: Regulasi Lemah, Driver Merana

Jakarta, Deras.id – Sejak pertama kali muncul, ojek online digembar-gemborkan sebagai solusi transportasi modern yang fleksibel dan menguntungkan semua pihak. Namun, di balik narasi manis itu, ada kenyataan pahit yang harus dihadapi para pengemudi. Mereka dijadikan mesin pencetak uang bagi perusahaan aplikator, tetapi hak-haknya sebagai pekerja justru diabaikan. Negara pun seakan tutup mata, membiarkan ketimpangan ini terus berlangsung tanpa solusi nyata.

Salah satu bentuk eksploitasi paling nyata adalah potongan besar yang diambil oleh aplikator. Kepmenhub No. KP 667 Tahun 2022 memang menetapkan bahwa potongan maksimal dari setiap perjalanan hanya 20%, tetapi faktanya jauh lebih buruk. Aplikator menggunakan berbagai trik untuk mengakali regulasi ini dengan menambahkan “biaya layanan”, skema insentif yang semakin sulit dicapai, serta potongan lain yang tersembunyi di balik kebijakan algoritma yang tak transparan. Jika dihitung secara riil, banyak pengemudi kehilangan lebih dari 30% dari total tarif yang dibayarkan pelanggan.

Ini bukan sekadar ketidakadilan, ini adalah perampokan terselubung yang dilegalkan oleh regulasi yang lemah. Aplikator menciptakan sistem yang membuat pengemudi bekerja lebih lama tetapi tetap miskin, sementara mereka sendiri meraup keuntungan besar tanpa harus bertanggung jawab atas kesejahteraan para pengemudinya. Lebih parah lagi, pengemudi ojek online hingga kini tidak diakui sebagai pekerja. Undang-Undang No. 6 Tahun 2023, yang menggantikan aturan ketenagakerjaan sebelumnya, tetap tidak memberikan kepastian hukum bagi mereka. Aplikator secara cerdik mengunci status mereka sebagai “mitra”, padahal dalam praktiknya, relasi kerja yang terjadi lebih menyerupai hubungan pekerja- majikan. Aplikator menentukan tarif, menetapkan skema insentif, dan bisa kapan saja menonaktifkan akun pengemudi tanpa mekanisme banding yang adil. Permenhub No. 12 Tahun 2019, yang seharusnya menjadi acuan utama dalam regulasi ojek online, justru lebih banyak mengatur soal teknis keselamatan, batas tarif, dan hal-hal operasional lainnya. Tidak ada satu pun pasal yang secara spesifik melindungi hak-hak pengemudi. Regulasi ini bahkan tidak menyentuh aspek ketenagakerjaan, seakan-akan negara menolak mengakui bahwa ratusan ribu orang yang bekerja sebagai pengemudi ojol berhak mendapatkan perlindungan layaknya pekerja sektor lain.

Ironisnya, Kepmenhub No. KP 667 Tahun 2022 yang disebut-sebut sebagai penyempurna regulasi sebelumnya, juga tak banyak membawa perubahan berarti. Potongan 20% memang disebut sebagai batas maksimal, tetapi tidak ada mekanisme pengawasan yang tegas untuk memastikan aplikator mematuhinya. Seolah-olah pemerintah hanya menetapkan aturan demi formalitas, tanpa niat sungguh-sungguh untuk menegakkannya. Dampaknya sangat nyata bagi kesejahteraan pengemudi. Dengan tarif yang ditekan serendah mungkin dan potongan yang semakin menggila, mereka dipaksa bekerja lebih lama hanya untuk bertahan hidup. Bagi banyak pengemudi, bekerja 10–12 jam sehari bukan pilihan, melainkan keharusan jika ingin membawa pulang penghasilan yang cukup. Namun, semakin lama mereka bekerja, semakin besar pula beban operasional yang harus ditanggung bensin, servis kendaraan, hingga biaya tak terduga lainnya. Sementara aplikator

terus menikmati keuntungan, pengemudi justru semakin terjerat dalam lingkaran kerja tanpa henti yang tidak memberikan jaminan masa depan.

Lebih buruk lagi, karena mereka tidak diakui sebagai pekerja, mereka juga tidak mendapatkan hak atas jaminan sosial. Jika mengalami kecelakaan atau sakit, mereka harus menanggung semua biaya sendiri. Padahal, perusahaan aplikator jelas mendapat manfaat dari kerja keras mereka. Ini bukan sekadar eksploitasi, ini adalah bentuk ketidakadilan yang dilegalkan atas nama ekonomi digital. Lalu, di mana posisi negara dalam semua ini? Sayangnya, regulasi yang ada justru lebih banyak melindungi kepentingan aplikator dibandingkan pengemudi. Jika pemerintah serius ingin melindungi pengemudi ojek online, ada beberapa langkah yang harus segera diambil. Pertama, pengemudi harus diakui sebagai pekerja dengan segala hak ketenagakerjaannya seperti upah layak, jaminan sosial, dan perlindungan hukum dari pemutusan hubungan kerja sepihak. Jika negara-negara seperti Spanyol dan Inggris bisa mengambil langkah ini, kenapa Indonesia masih membiarkan aplikator bebas mengeksploitasi pengemudi tanpa konsekuensi?

Kedua, pemerintah harus lebih tegas dalam mengawasi potongan yang diambil aplikator. Jika Kepmenhub No. KP 667 Tahun 2022 menetapkan batas 20 persen, maka aplikator yang melanggar harus dikenakan sanksi serius, bukan sekadar peringatan kosong. Jangan sampai regulasi hanya menjadi pajangan, sementara praktik pemerasan terus berlangsung.

Ketiga, skema jaminan sosial harus menjadi kewajiban aplikator, bukan sekadar pilihan tambahan yang harus dibayar sendiri oleh pengemudi. Negara harus memaksa perusahaan- perusahaan ini untuk ikut menanggung BPJS Ketenagakerjaan bagi pengemudi, sebagaimana yang dilakukan oleh sektor formal lainnya. Tidak bisa lagi ada dalih “mitra” untuk menghindari tanggung jawab ini.

Terakhir, pengemudi harus memiliki ruang untuk bersuara dan bernegosiasi atas kebijakan yang langsung memengaruhi pendapatan mereka. Saat ini, aplikator memiliki kekuasaan absolut dalam menentukan tarif dan sistem kerja, tanpa ada mekanisme negosiasi yang adil. Jika ada pengemudi yang berani bersuara atau mengorganisir protes, mereka justru berisiko kehilangan akses kerja. Ini bukan kemitraan—ini adalah sistem kerja yang mirip dengan perbudakan modern.

Fenomena ojek online di Indonesia bukan sekadar isu transportasi, ini adalah cerminan bagaimana negara gagal melindungi pekerja dalam ekonomi digital. Selama aplikator dibiarkan memiliki kendali penuh atas nasib pengemudi, sementara regulasi hanya menjadi formalitas tanpa pengawasan, maka eksploitasi ini akan terus terjadi. Jika pemerintah terus berpihak pada korporasi dan mengabaikan hak-hak pekerja, maka keadilan sosial yang selama ini dikampanyekan hanya akan menjadi omong kosong belaka. Sudah saatnya negara menunjukkan keberpihakannya, bukan kepada korporasi raksasa, tetapi kepada rakyat yang bekerja keras setiap hari untuk menggerakkan ekonomi.

Oleh: Farid Putra Rachmansyah

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami