Modi Diprediksi Jabat Periode Ketiga, Jurnalis India: Lebih Banyak Masalah untuk Muslim
Hari ini pemungutan suara pemilihan umum (pemilu) India yang berlangsung dalam beberapa putaran akan dihitung. Perdana Menteri India Narendra Modi diprediksi akan menjabat untuk periode ketiga. Berdasarkan exit poll, presiden berusia 73 tahun itu kemungkinan memperoleh suara mayoritas, mengalahkan aliansi oposisi dalam pemilu terbesar di dunia tersebut.
Sebanyak 968 juta orang terdaftar sebagai pemilih pemilu India tahun ini. Hingga pemilihan putaran terakhir, sekitar 642 juta menggunakan hak pilih. Setidaknya tujuh jajak pendapat yang dikeluarkan media India memperkirakan Partai Bharatiya Janata (BJP) dan sekutunya akan memenangkan 350-380 kursi dari 543 kursi di Lok Sabha, majelis rendah Parlemen India.
Jika hasil resmi yang diumumkan pada hari Selasa, 4 Juni 2024, mendukung jajak pendapat ini, BJP yang dipimpin Modi bakal mencetak rekor. Belum pernah ada perdana menteri di India merdeka yang memenangkan tiga pemilu Lok Sabha berturut-turut dengan jumlah yang selalu meningkat.
Hebatnya, hasil ini dicapai ketika sebagian besar masyarakat India merasakan kian melebarnya kesenjangan, tingginya angka pengangguran, dan kenaikan harga-harga barang. Fakta-fakta sosial ekonomi itu ternyata tidak membawa dampak buruk secara elektoral.
Apa rahasia sukses Modi-BJP? Bagaimana masa depan 200 juta muslim di India?
”Kemenangan Modi Hanya Akan Berarti Lebih Banyak Masalah bagi Muslim India,” tulis jurnalis India, Ismat Ara, dalam sebuah artikel situs web Time, dikutip Selasa (4/6/2024).
Ismat mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan Modi dan BJP selama masa pemilu adalah membangkitkan Islamofobia. Dia sendiri adalah salah satu korbannya.
Dua tahun silam, foto akun media sosialnya diambil. Foto Ismat tersebut lalu diunggah di situs bernama Bulli Bai dengan tambahan label harga, seperti barang yang dilelang atau dijual. Dia merasakan sekali kebencian terhadap muslim.
”Saya bertanya-tanya bagaimana seorang pelajar berusia 21 tahun dari Assam, bisa begitu termakan oleh kebenciannya sehingga ia merasa harus melelang perempuan Muslim secara online karena kritik terang-terangan mereka terhadap BJP,” tulis Ismat.
Dia menilai pidato-pidato Modi perlahan berubah dari isu seperti “pembangunan” menjadi retorika anti-Muslim. Misalnya menyebut populasi 200 juta muslim sebagai penyusup dan komunitas banyak anak.
Gagasan tentang ledakan populasi Muslim merupakan inti dari teori konspirasi mayoritas Hindu yang menyatakan bahwa komunitas Muslim sengaja berkembang pesat untuk menyalip populasi Hindu di masa depan.
Hal ini serupa dengan “teori penggantian besar” di Barat, sebuah teori konspirasi nasionalis kulit putih yang mengatakan imigrasi orang kulit berwarna akan membuat orang kulit putih menjadi minoritas di negara-negara Barat. Di India, kelompok sayap kanan menyebutnya sebagai ‘ jihad populasi
Berbeda dengan pemilu sebelumnya, strategi kampanye Modi kali ini telah bergeser ke arah politik Hindu-Muslim yang terang-terangan, sebagaimana dibuktikan dengan intervensi Komisi Pemilihan Umum dalam video kampanye BJP yang menghasut kebencian terhadap Muslim.
Tetapi hal ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dari sekadar strategi partai untuk menggalang dukungan basis pemilih. Sebab selama masa pemerintahan Modi umat Islam telah merasakan peningkatan marginalisasi dan diskriminasi yang dipicu oleh agenda nasionalis Hindu.
Selama Modi berkuasa, muslim kesulitan mendapatkan akomodasi sewaan di kota-kota besar, penghapusan nama-nama Muslim dari jalan, kota dan stasiun kereta api, hingga kurangnya keterwakilan dalam pekerjaan pemerintahan dan diskriminasi dan vandalisme terhadap toko-toko pedagang kecil Muslim.
”Saat ini, India, sebuah negara yang pernah bangga dengan ganga-jamuni tehzeeb – sebuah istilah yang merujuk pada perpaduan budaya Hindu-Muslim – telah menjadi pusat politik pecah belah global. Meskipun pemilu akan datang dan pergi, dampak dari kata-kata Modi dan BJP yang tidak bertanggung jawab akan terus dirasakan oleh 200 juta lebih umat Islam di negara tersebut,” kata Ismat.
Dalam empat minggu sejak pemungutan suara dibuka pada 19 April, Hindutva Watch, sebuah lembaga pengawas yang berpusat di AS, telah mencatat ratusan kampanye yang menampilkan “bintang kampanye” BJP dan para kandidat yang menyampaikan pidato-pidato menghasut yang menyasar umat Islam.
Pendiri Hindutva Watch, Raqib Hameed Naik, mengatakan, selain Modi, daftar juru kampanye terkemuka partai itu termasuk Menteri Dalam Negeri Amit Shah, Menteri Pertahanan Rajnath Singh, Presiden Nasional BJP Jagat Prakash Nadda dan para menteri utama dari beberapa negara bagian besar di India. Nama Hindutva sendiri mengacu pada ideologi nasionalis Hindu yang diusung BJP.
“Mereka merupakan inti dari semua kampanye tersebut,” ujar Naik dalam wawancara dengan VOA.
Naik, seorang jurnalis Muslim Kashmir yang diasingkan, membentuk Hindutva Watch pada tahun 2021. Bertahun-tahun setelah itu, Hindutva Watch muncul sebagai lembaga yang disegani yang mencatat ujaran kebencian dan kejahatan rasial di India. Tulisannya banyak dikutip oleh outlet berita arus utama.
Walaupun Hindutva telah mencatat hampir 3.000 ujaran kebencian dan kejahatan berlandaskan kebencian, Naik mengatakan jumlah kasus pada musim pemilu kali ini sangat mengejutkan.
“Saya tidak pernah melihat sebelumnya kampanye pemilu yang disertai kebencian sedemikian rupa di level nasional yang menargetkan minoritas Muslim,” kata Naik.