Jakarta, Deras.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua terkait permohonan uji materi Undang-Undang Pilkada pada Kamis (18/7/2024). Permohonan ini diajukan oleh Ahmad Farisi, seorang peneliti, dan A. Fahrur Rozi, mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 melanggar prinsip pemilihan yang adil dan demokratis,” ungkap dan A. Fahrur Rozi, mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada (18/7/2024).
Dalam sidang kedua Perkara Nomor 52/PUU-XXII/2024 yang dipimpin oleh Wakil MK Saldi Isra, didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Ridwan Mansyur, pemohon menjelaskan perbaikan permohonan mereka. Mereka memperkuat kedudukan hukum (legal standing) dengan bukti-bukti dari pemilu sebelumnya yang menunjukkan adanya politisasi bantuan sosial dalam kampanye.
“Kami juga mempertegas permohonan agar pejabat dengan hubungan keluarga tidak diizinkan berkampanye. Ini untuk mencegah nepotisme dan pelanggaran etika bernegara,” kata Fahrur Rozi.
Pada sidang pendahuluan sebelumnya, para pemohon menegaskan bahwa mereka berhak atas penyelenggaraan Pilkada yang jujur, demokratis, dan bebas dari konflik kepentingan. Mereka berpendapat bahwa Pasal 70 ayat (2) memungkinkan monopoli kekuasaan dan praktik nepotisme oleh pejabat aktif.
“Pasal ini membuka ruang bagi pejabat untuk menggunakan kekuasaannya demi keuntungan elektoral,” kata Farisi.
Oleh karena itu, mereka meminta agar kepala daerah dan pejabat negara lainnya diwajibkan cuti selama kampanye. Selain itu, mereka juga menyoroti kurangnya batasan yang mengatur penggunaan fasilitas dan instrumen kekuasaan oleh pejabat negara.
Pemohon mengusulkan agar Pasal 70 ayat (2) diubah menjadi:
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan:
a. tidak menggunakan fasilitas jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan;
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
c. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan calon serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak jabatan masing-masing.
Editor: Saiful