Opini

Mental Health: Tantangan Besar Generasi Z dan Milenial

Jakarta, Deras.Id – Di era digital yang serba cepat dan selalu terkoneksi dengan internet, generasi muda menghadapi tekanan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Generasi Z (lahir 1997-2012) dan Milenial (lahir 1981–1996) tidak hanya berjuang menghadapi ekspektasi akademik dan karier, tetapi juga harus menavigasi kehidupan digital yang terus menuntut perhatian. Kesehatan mental bagi mereka kini menjadi isu nyata dan mendesak, bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan fenomena sosial yang meluas. Data dari platform survei mobile Jakpat pada tahun 2022 menunjukkan bahwa Generasi Z di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental paling banyak dibanding generasi lainnya, yaitu lebih dari 59% dari total 1.870 responden. Survei Kemenkes RI tahun 2023 menunjukkan bahwa 60% Gen Z dan 40% generasi milenial menghadapi masalah kesehatan mental. Berdasarkan beberapa temuan dari hasil survei tersebut menunjukkan bahwa kesehatan mental menjadi masalah serius pada Generasi Z dan Milenial. Salah satu penyebab meningkatnya masalah kesehatan mental pada generasi Z dan Milenial adalah kombinasi tekanan sosial di era digital, ketidakpastian ekonomi, dan gaya hidup yang terus terkoneksi dengan internet.

Era kerja hybrid atau remote membuat batas antara waktu kerja dan waktu pribadi semakin kabur, sehingga banyak individu muda merasa “selalu on’” dan kesulitan memutus rantai koneksi digital. Media sosial pun memperkuat tekanan, karena eksposur terhadap standar hidup, karier, dan citra diri yang ideal sering kali melebihi kenyataan, sehingga menimbulkan kecemasan dan perbandingan sosial yang secara psikologis bisa menjadi pemicu munculnya kesehatan mental. Ditambah lagi, bagi generasi muda yang memasuki dunia kerja dengan persaingan tinggi dan ekonomi yang belum stabil, munculnya rasa takut gagal, tidak cukup kompeten, atau ditinggal perubahan teknologi semakin memperparah beban psikologis. Kondisi seperti ini menjadikan kesehatan mental bukan hanya masalah individu, tetapi juga dinamika sosial yang kompleks.

Dampak dari gangguan kesehatan mental bisa terlihat dalam spektrum yang luas. Pada tahap ringan, individu mungkin mengalami kesulitan tidur, menurunnya motivasi, cepat lelah, atau kehilangan fokus saat bekerja maupun belajar. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini dapat berkembang menjadi kecemasan berlebihan, stres kronis, burnout, atau menarik diri dari lingkungan sosial. Pada tahap yang lebih serius, muncul depresi berat, gangguan panik, penyalahgunaan obat-obatan terlarang (narkoba), bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Ini membuktikan bahwa masalah mental health bukan hanya “isu generasi muda perkotaan”, melainkan fenomena nasional yang memerlukan perhatian lintas sektor.

Dalam konteks organisasi dan manajemen SDM, kesehatan mental yang buruk berdampak langsung pada kinerja karyawan. Karyawan dalam kondisi stres atau burnout lebih rentan melakukan kesalahan, sering absen, dan sulit berinovasi. Bagi perusahaan di Indonesia, masalah ini menjadi tantangan serius mengingat mayoritas tenaga kerja produktif kini berasal dari kelompok Milenial dan Gen Z yang sangat rentan terhadap stres kerja dan beban psikologis pekerjaan di era digital. Dalam konteks organisasi, ini menjadi perhatian penting bagi manajemen SDM. Perusahaan tidak lagi cukup menawarkan gaji dan benefit, perusahaan juga harus menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental, menyediakan fleksibilitas, serta membangun budaya inklusif yang aman untuk membicarakan masalah psikologis tanpa stigma. Dari sisi organisasi dan manajemen SDM, ada langkah‐langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mendukung kesehatan mental karyawan dan di Indonesia sudah ada beberapa kebijakan pemerintah yang dapat menjadi acuan. Sebagai contoh, Kementerian Kesehatan menargetkan 50% pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dapat menyediakan layanan kesehatan mental pada tahun 2025, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan akses layanan kesehatan jiwa nasional. Saat ini, baru sekitar 40% Puskesmas yang menyediakan layanan tersebut di seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, di lingkungan kerja Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menginstruksikan agar perusahaan BUMN memberikan perhatian khusus terhadap kesejahteraan psikologis karyawan Milenial dan Gen Z termasuk menyediakan pelatihan, membiasakan terbuka dalam berkomunikasi dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental. Upaya lain juga bisa dilakukan oleh perusahaan dengan cara menerapkan program screening dini kesehatan mental, menyediakan akses ke layanan profesional (tele konseling), menciptakan waktu “offline” jelas tanpa interupsi kerja, dan membangun budaya kerja yang mendorong keterbukaan serta dukungan antar rekan kerja. Kombinasi antara kebijakan eksternal (pemerintah) dan tindakan internal organisasi ini akan memperkuat fondasi lingkungan kerja yang lebih sehat secara mental.Mental health bagi Gen Z dan Milenial di era digital bukan lagi isu masa depan, tetapi tantangan nyata saat ini. Penanganan yang tepat, melalui kebijakan, budaya organisasi, dan layanan yang mendukung, akan memungkinkan generasi muda untuk berkembang secara optimal, sehat secara mental, dan berkontribusi secara produktif bagi masyarakat serta organisasi. Di tengah arus digital yang semakin deras, menjaga kesehatan mental adalah kunci bagi keberhasilan generasi muda dan organisasi.

Penulis: Juni Tristanto Laksana Putra, S.AB., M.AB. (Dosen Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Mulawarman)

Editor: Agus W

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami