Menjelang Selebrasi Satu Abad NU; Menuju Kebangkitan Baru?

Oleh: Baijuri*

K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam suatu kesempatan menjelaskan bahwa tema besar perayaan satu abad NU adalah “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama’ Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”. Tema ini diangkat berdasar pada hadist nabi tentang adanya pembaharuan yang terjadi setiap 100 tahun sekali. Tentu, semua warga NU sepakat pada tujuan luhur PBNU saat ini. Tidak ada yang menyangsikan bahwa rentetan kegiatan perayaannya, merupakan upaya maintaining budaya dan peran sosial luhur NU. Apalagi, pelaksanaannya dilakukan dengan penguatan tradisi pesantren dan sejumlah kearifan lokal yang menyimbolkan peleburan ajaran Islam pada tradisi masyarakat. Tentu, tampak tidak ada alasan satu pun yang dapat menolak rasionalitas dilaksanakannya agenda besar PBNU periode jelang satu abad ini. jika NU digdaya, kesatuan bangsa mudah tercapai. Jika kesatuan bangsa tercapai, negara Indonesia akan berdaulat. Namun, benarkah orientasi pendigdayaan demikian akan mudah tercapai hanya dengan perayaan seremonial gebyar-gebyaran saja?. Mari telaah lebih mendalam lagi rentetan acaranya, baik yang sudah maupun yang akan berlangsung dan hubungannya dengan proses penguatan peran digdaya NU selama ini. 

Menjelang Satu Abad NU; Siapa Basis Gerak Politik dan Budayanya? 

Kedigdayaan NU sebagai great komunal agama di Indonesia, tidak dicapai dengan mudah. Secara historis, prosesnya panjang, berliku dan bahkan memakan banyak korban. NU kerap kali menjadi rujukan dan sumber ikatan negara dan masyarakat. Pada era perjuangan kemerdekaan misalnya, warga NU menjadi lokomotif perlawanan terhadap kolonialisme. NU sering kontra pada kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Tentu cukup mengganggu lancarnya kebijakan program imperialisme itu sendiri. Kekuatan NU dianggap batu sandungan paling berat dan harus segera dilemahkan secara politik maupun kebudayaan. 

Sejak awal berdiri, NU telah memiliki kekuatan budaya dan politik besar. Salah satunya, tentu karena dikembangkan dan diinisiasi oleh jejaring Kiai pesantren sebagai tokoh agama dan panutan masyarakat. Kiai-kiai pesantren, kuat secara politik dan budaya karena memiliki jaringan kiai kampung di sejumlah daerah. Para santri lulusan yang telah berguru pada kiai di pesantren, menjadi teladan agama di wilayahnya masing-masing. Mengikuti jejak kiai pesantren, mereka secara sukarela tanpa digaji pemerintah, mengabdi kepada masyarakat. Masyarakat pun mengapresiasi, sehingga eksistensi sosok kiai kampung menjadi sumber gerak budaya bahkan politik. 

Tidak mengherankan, jika pada momentum resolusi jihad pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asary, mudah mengkonsilidir masyarakat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Telah dimafhum bersama, bahwa perlawanan pada penjajah di beberapa wilayah, utamanya di Surabaya bukan hanya dilakukan oleh para santri dan kiai di pesantren, namun juga oleh sebagian besar warga NU yang ada di kampung atau desa-desa. Salah satu misalnya, konsolidasi pasukan Hisbullah di daerah tapal kuda, pimpinan yang dipimpin ole KH Asad Syamsul Arifin dan KH Zaini Munim. Barisan kelompok perlawanan tersebut bukan hanya berasal dari kaum santri, namun sejumlah masyarakat yang tinggal di desa-desa (umumnya disebut sebagai barisan pelopor). Fakta ini menunjukkan bahwa jaringan perlawanan penjajah sebenarnya bukan hanya pesantren, namun jejaring kiai-kiai kampung yang sukses menggerakkan masyarakat desa untuk urun juang dalam mempertahankan kemerdekaan.

Pasca kemerdekaan Indonesia secara utuh diraih, peran kiai kampung sebagai basis jejaring kekuatan politik dan budaya, tetap memiliki peran penting. Mereka terlibat dalam perjuangan- perjuangan penjagaan keutuhan dan kedaulatan bangsa. Misalnya pada akhir jabatan Soekarno (era konflik PKI), menjadi garda terdepan dalam memerangi dan mendamaikan konflik yang terjadi di beberapa daerah. Walaupun banyak catatan yang mengatakan bahwa yang wafat akibat konflik ini adalah kiai pesantren, namun sebenarnya jika ditelusuri, angka kiai kampung yang meregang nyawa, lebih banyak. 

Selain itu, Kiai kampung menjadi tembok besar penjaga kesejahteraan sosial hingga ekonomi masyarakat. Seluruh agenda politik dan budaya lokal memerlukan kesepakatan mereka. Jika tidak, proyeksi dan capaian tidak akan maksimal. Karena selain menjadi penggerak politik, kiai kampung juga menjadi penggerak sosial budaya masyarakat. Mereka memiliki andil penting dalam arus perubahan gerak budaya luhur. Jika boleh dikatakan, mereka yang menjadi simbol digdayanya NU dalam kontestasi budaya. Sebagai komunal agama 

Islam, NU dianggap telah sukses mempertemukan gairah nilai kebangsaan dan keagamaan. Kesuksesan demikian, tentu juga tidak mampu dilakukan tanpa peran Kiai kempung sebagai lokomotif gerak budaya lokal. Ini yang mendasari Gus Dur menyebut mereka sebagai aktor penting dalam proses pribumisasi Islam. Peran mereka sangat nyata, mempertemukan agama secara konkret sebagai solusi menghadapi masalah sosial masyarakat. Ajaran Islam yang mampu dikembangkan dengan penuh rahmat. Mereka benar-benar menjadi aktor Islam yang rahmatal li al ‘alamin

Menjelang Satu Abad NU; Pelemahan Aktor Basis Gerak NU? 

Kiai kampung menjadi lokomotif gerakan NU. Bagaimana kabar mereka saat ini? apakah masih memiliki kekuatan?, Sejumlah pertanyaan ini yang seharusnya dijawab menjelang perayaan kesuksesan satu abad. Untuk menjawab pertanyaan besar demikian, butuh refleksi dan pengamatan serius tentang perkembangan basis jejaring politik NU dewasa ini. Sepintas, diukur dari kesuksesan politik NU, tentu cukuplah berbangga hati sebab tokoh-tokohnya tetap ada dalam posisi elite pemerintahan hingga saat ini. Tokoh NU banyak yang sukses secara politik. Ada yang menjadi pejabat legislatif, kepala daerah hingga menteri, tapi benarkah hal demikian mengindikasikan kekuatan kiai kampung tetap solid sebagai basis gerak politik, lebih-lebih sebagai aktor budaya NU. Tentu jawabannya, tidak dapat dipastikan, tergantung pada lemah tidaknya relasi peran kiai kampung dan gerakannya saat ini. 

Ada beberapa fakta yang mengindikasikan pelemahan kekuatan jejaring Kiai kampung sebagai basis gerak NU. Realitas ini dapat ditemukan di beberapa daerah, khususnya di Jawa dan Madura. Pertama, terjadinya gap struktural dan kultural NU. Fenomena terjadinya kesenjangan struktural dan kultural merupakan hal umum yang terjadi pada organisasi besar yang usianya sudah puluhan tahun. Besarnya kuantitas anggota membuat masalah yang dihadapi organisasi semakin kompleks. Penetapan struktural sering tidak beriringan dengan harapan sebagian anggota. Akibatnya, distribusi kewenangan tidak efisien dan efektif. Komunikasi organisasi tidak berjalan dengan baik, dan mutu organisasi pun melemah. Ini juga yang terjadi di tubuh NU. Entah sejak kapan terjadi, yang pasti, di beberapa daerah ada indikasi ketidaksamaan sikap pihak struktural dan kultural NU. 

Salah satu faktor yang dominan menjadi penyebab terjadinya gap demikian adalah tercerabutnya peran kiai kampung dalam struktural NU. Pada awalnya, pengurus NU di beberapa wilayah berasal adalah jejaring kiai kampung. Mereka yang sejak awal, mengajari ilmu agama dan prinsip gotong-royong secara sukarela, tentu membuat NU tumbuh beriringan bersama masyarakat. Nilai sosial ajaran Islam yang mereka ajarkan, melahirkan sikap altruistis masyarakat desa pada NU dan negara. 

Saat ini struktural NU tidak lagi terdiri dari Kiai kampung. Generasi kiai kampung sebagaimana yang digambarkan Gus Dur sebagai orang yang tanpa pamrih mendidik masyarakat, sudah tidak lagi memiliki peran politik di tubuh NU. Mereka hanya fokus mengajar agama, tidak lagi membaca masalah sosial dan politik global. Di samping itu, kepentingan Elit politik yang butuh legalitas KeNUan mulai masuk dan melakukan intervensi pada proses rekrutmen struktural. Hal demikian terjadi di seluruh tingkatan, mulai tingkat pusat, wilayah hingga anak cabang. Kiai kampung yang tidak memiliki kuasa, akhirnya tersingkir dan acuh pada perkembangan NU. NU pun melemah di masyarakat desa, karena ditinggalkan basis kekuatan budayanya. 

Kedua, arus liberalisasi dan globalisasi. Tulisan Nur Kholik Ridwan yang berjudul NU Dan Neoliberalisme, cukup baik menjadi pengantar memahami hubungan NU dengan arus liberalisme. Liberalisasi dan globalisasi yang menghantam habis nila-nilai lokal, merupakan hal paling mengancam keutuhan dan keharmonisan masyarakat. NU sebagai organisasi berbudaya mendapatkan tantangan besar dari kedua arus tersebut. Di titik ini, penulis sangat bersepakat dengan gagasan buku tersebut. Namun, masih ada pertanyaan besar yang perlu dijawab, bagaimana cara konkret melawan arus tersebut, Jika basis gerak NU, Kiai kampung, telah melemah?. 

Liberalisme di era globalisasi, masuk melalui desain pendidikan modern dan perkembangan teknologi. Kiai kampung yang berkutat mengajar ilmu agama dan tradisi klasik masyarakat, mulai terhimpit dan tertinggal oleh arus kemajuan. Tempat mereka mengajar agama tidak lagi diminati kaum muda. Peran mereka pun melemah pada generasi muda di kampungnya. Ditambah lagi, kemajuan teknologi yang pesat membuat mereka semakin terdesak. Khotbah-khotbah keagamaan di dunia maya, lebih diminati oleh kalangan muda dari pada ajaran mereka yang terkesan ketinggalan jaman. Seluruh fenomena ini mestinya ditangkap sebagai masalah terbesar dalam mencapai kedigdayaan NU. 

Ketiga, Kiai kampung dalam tekanan konflik lokal. Faktor yang memperlemah peran basis berikutnya adalah kerentanan konflik yang terjadi di daerah-daerah. Kiai kampung sebagai kekuatan politik masih banyak diburu politisi dan kelompok dengan paham agama baru. Mereka diincar, sebab merupakan aset istimewa yang mulai ditinggalkan oleh NU. Bagi para politisi, pada pesta politik lima tahunan, Kiai kampung diburu untuk menjadi agen peraup suara murah masyarakat. Ketokohannya dianggap sebagai aset yang harus diburu seluruh partai politik, baik dalam kontestasi eksekutif maupun legislatif. Bagi para pengusaha, Kiai kampung merupakan pemegang legalitas kultur yang dapat mempermulus bisnisnya. Sedangkan bagi kelompok dengan paham konservatif, Kiai kampung adalah target utama untuk masuk 

mengubah cara pandang kearifan agama lokal. Kondisi demikian yang selama ini, tidak jarang, menimbulkan konflik berkepanjangan lokal antar pemuka agama di desa-desa. 

Perayaan Satu Abad NU dan Melemahnya Kiai Kampung 

Hal paling mendesak dan perlu dipertanyakan menjelang perayaan satu abad NU, adalah apa bentuk “kebangkitan baru” yang diharapkan oleh PBNU saat ini?. Pada awalnya beberapa pihak pantas kagum pada gagasan pembaharuan di tubuh NU yang diwacanakan oleh ketua umum, Gus Yahya. Pasalnya, seolah memiliki niat baik untuk mengembangkan NU secara mandiri. Misalnya, ada wacana bahwa PBNU menolak secara keras intervensi partai politik. Wacana ini tentu bagus, sebab struktural dapat terpisah dari kepentingan partai politik. Ada juga gagasan program seperti NU Tech, pembentukan NU Women, Festival Tradisi Islam Nusantara,  Pekan  Olahraga  NU,  Religion  of  Twenty/(R-20),  Launching  Gerakan  Kemandirian NU, Muktamar Fiqih Peradaban dan sebagainya. Semua tentu sangat positif sebagai sebuah upaya pencapaian baru peran digdaya NU untuk Indonesia. Namun, bukankah program yang baik dan bijak adalah tidak melupakan kekayaan dan basis luhur budaya tradisionalnya? Kiai kampung yang selama ini menjadi basis gerak NU, bagaimana kabarnya? Apakah ada kegiatan perayaan yang mengistimewakan dan menguatkan peran mereka? Gus Yahya boleh berkata lantang, NU harus dipisahkan dari partai politik” agar mandiri, namun apakah kemandirian mampu dicapai jika modal basisnya yang berharga disia-siakan?. 

Pertanyaan berat demikian, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda dijawab serius oleh para elite PBNU. Strukturalnya keasyikan menggelar panggung dan lupa pada prioritas dan kepahlawanan Kiai kampung. Mestinya, menjelang satu abad dibarengi dengan gagasan penting penguatan kemandirian yang lebih realistis. Bukan malah mengelar perayaan yang terkesan memperuncing masalah dan mengeliminasi kekayaan yang selama ini dimiliki. Menolak intervensi politik walaupun dari Parpol yang basisnya warga NU, memang tampak sudah benar. Namun, jika penolakannya diikuti penerimaan tokoh lain yang bukan dari partai NU, itu namanya memperuncing masalah. Penulis atau mungkin bagi warga NU yang sepemikiran, sebenarnya lebih bahagia melihat foto ketua PBNU yang tersenyum bersama dengan Kiai kampung menjelang satu abad NU. Dari pada, melihatnya bersama para undangan elit politik yang tak punya sumbangsih apa-apa pada NU.

*) Ketua Pengurus Kordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Timur

Exit mobile version