Oleh: Fajri_Ahmad*
Jakarta, Deras.id –Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) hadir sebagai terobosan strategis untuk mendorong kemandirian ekonomi desa dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Dengan target ambisius membentuk 70.000 hingga 80.000 koperasi hingga pertengahan 2025 dan alokasi anggaran mencapai Rp400 triliun, program ini diharapkan menjadi motor penggerak kesejahteraan dan pemerataan ekonomi dari akar rumput.
Pijakan hukum melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 menandai komitmen pemerintah untuk mempercepat pembentukan Kopdes Merah Putih secara nasional. Namun, realisasi di lapangan tidaklah mudah. Proses pembentukan dan rekrutmen pengurus yang melibatkan berbagai aktor—dari pemerintah kabupaten, Dinas Koperasi, hingga musyawarah desa—membuka ruang partisipasi luas, sekaligus menyimpan risiko serius.
Salah satu ancaman utama adalah potensi nepotisme dan politisasi, terlebih di tengah dinamika pasca-Pilkada 2024. Jika pemilihan pengurus koperasi lebih ditentukan oleh kedekatan politik, hubungan keluarga, atau kepentingan kelompok tertentu, bukan oleh kompetensi dan integritas, maka ruh pemberdayaan dari koperasi ini akan luntur. Koperasi dapat terjebak menjadi alat pembagian kekuasaan lokal, bukan solusi ekonomi rakyat.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Ketertutupan informasi, tidak jelasnya mekanisme seleksi, hingga dugaan “titipan” pengurus berpotensi merusak kepercayaan publik. Padahal, kepercayaan masyarakat adalah fondasi utama keberhasilan koperasi berbasis komunitas.
Untuk itu, penting untuk kembali ke prinsip dasar Kopdes Merah Putih: transparansi, partisipasi masyarakat, akuntabilitas, dan seleksi berbasis kompetensi serta etika. Kepala desa dan lurah memegang peran sentral dalam memastikan proses rekrutmen berjalan bersih dan adil. Mereka harus netral, menjadi penjaga nilai-nilai koperasi, bukan fasilitator kepentingan politik sesaat.
Sosialisasi yang terbuka, inklusif, dan terus menerus kepada masyarakat desa wajib dilakukan. Warga harus mengetahui bagaimana proses rekrutmen berlangsung, apa kriteria yang digunakan, dan siapa yang layak menjadi pengurus. Tanpa keterbukaan, celah praktik menyimpang akan terus menganga.
Kopdes Merah Putih adalah peluang besar untuk menghadirkan kedaulatan ekonomi di tingkat lokal. Namun peluang ini hanya akan menjadi kenyataan jika dijalankan dengan profesionalisme, integritas, dan semangat kolektif. Pemerintah pusat dan daerah harus memastikan pengawasan yang ketat, menyediakan kanal pengaduan masyarakat yang responsif, serta melakukan evaluasi berkala terhadap implementasinya.
Akhirnya, keberhasilan program ini bukan semata soal jumlah koperasi yang terbentuk, tetapi sejauh mana koperasi mampu mengubah kehidupan masyarakat desa—lebih sejahtera, mandiri, dan bermartabat.
*Alumni Universitas Islam Jember