Mengawali Tahun Baru 2025: Jokowi Tercatat di Daftar Terkorup, Saatnya Hentikan Siklus Korupsi dengan Tindakan Nyata
Jakarta, Deras.id – Tahun baru 2025 tiba dengan harapan baru, tetapi kenyataan pahit tak bisa diabaikan. Nama Joko Widodo, yang pernah diandalkan sebagai motor perubahan, kini tercatat sebagai salah satu pemimpin dunia terkorup versi OCCRP. Sebuah ironi menyakitkan di tengah janji-janji manis yang pernah disampaikan. Jika pemimpin tertinggi bangsa saja tercoreng, bagaimana nasib pemberantasan korupsi di Indonesia?
Di bawah pemerintahannya, Jokowi menyaksikan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi undang-undang. Langkah ini bukan hanya mencoreng amanah reformasi, tetapi juga menunjukkan bahwa perlawanan terhadap korupsi lebih sering berhenti pada wacana. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menjamin Indonesia sebagai negara hukum seolah tak punya makna ketika hukum dilemahkan demi kepentingan segelintir pihak.
Lebih parah lagi, Undang-Undang Perampasan Aset yang dijanjikan bertahun-tahun tak kunjung disahkan. Tanpa aturan ini, negara hanya bisa menggertak tanpa tindakan nyata. Para koruptor terus menikmati hasil jarahan mereka, sementara rakyat menderita. Padahal, di masa pemerintahannya, Jokowi memiliki kontrol kuat atas parlemen dengan koalisi mayoritas yang mendominasi. Ironisnya, kendali ini tidak dimanfaatkan untuk mendorong reformasi hukum yang substansial.
Kini di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, situasi tak banyak berubah. Kasus korupsi timah senilai 271 triliun rupiah yang melibatkan Harvey Moeis hanya dihukum 6,5 tahun penjara. Hukuman ini adalah lelucon tragis yang mencerminkan kegagalan sistem hukum kita. Bukannya memberi efek jera, sistem ini justru melindungi para pelaku kejahatan besar. Lebih dari itu, Prabowo juga menguasai parlemen dengan kekuatan mayoritas, namun tak ada tanda-tanda penggunaan kekuasaan ini untuk mendorong pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset.
Dominasi parlemen oleh Jokowi dan Prabowo di masanya masing-masing seharusnya menjadi kunci untuk menggerakkan perubahan besar. Namun kenyataannya, kekuatan politik tersebut hanya menjadi alat melanggengkan status quo. Rakyat hanya bisa menyaksikan hukum dipermainkan dan keadilan diabaikan di depan mata mereka.
Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum untuk perubahan nyata, bukan sekadar rangkaian retorika kosong. Indonesia butuh aksi konkret. Janji-janji pemberantasan korupsi yang terus diulang dari tahun ke tahun tidak akan berarti apa-apa tanpa reformasi sistem hukum yang nyata. Jika pemerintah serius ingin memperbaiki negeri ini, mulailah dengan menyelesaikan pekerjaan rumah utama: sahkan Undang-Undang Perampasan Aset, perkuat KPK, dan tegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
Prof. Dr. Mahfud MD telah dengan lantang mendukung pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset. Beliau paham bahwa tanpa kekuatan hukum yang kuat, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi slogan tak berarti. Prabowo Subianto, yang berjanji mengejar koruptor hingga ke ujung dunia, harus membuktikan ucapannya dengan mendesak parlemen menyetujui undang-undang ini.
Tanpa langkah konkret, semua upaya pemberantasan korupsi akan terus menjadi mitos. Rakyat sudah muak dengan janji-janji palsu dan hukuman ringan bagi koruptor. Jika pemerintah serius ingin membangun Indonesia yang bersih dan bermartabat, tahun 2025 harus dimulai dengan tindakan nyata, bukan sekadar harapan kosong.
Penulis: Zakaria Nuriman Wanda, Advokat dan Pemerhati Hukum