Menepis Label Negatif Ormek: Organisasi Mahasiswa sebagai Ruang Tumbuh
Surabaya, Deras.Id – Di banyak kampus, organisasi mahasiswa eksternal (ormek) sering kali mendapat label negatif: ruang penuh drama, tempat bermain politik ala mahasiswa, atau sekadar wadah senioritas yang menekan juniornya. Narasi seperti itu telanjur melekat dan diwariskan dari angkatan ke angkatan, hingga membentuk citra seolah ormek adalah ruang bermasalah yang sebaiknya dihindari. Padahal, seperti banyak fenomena sosial, stigma itu tidak muncul dari keseluruhan realitas, melainkan dari potongan-potongan kasus yang dibesar-besarkan, disalahpahami, atau terlalu lama dibiarkan tanpa klarifikasi.
Sikap antipati terhadap ormek semakin menguat di era digital, ketika mahasiswa merasa cukup membangun jaringan, belajar skill, dan mengembangkan diri melalui internet. Ruang interaksi tatap muka perlahan tergeser oleh layar, dan organisasi fisik dianggap tidak lagi relevan. Ketika sebuah kesalahan oknum terjadi, publik kampus dengan cepat menggeneralisasi bahwa semua ormek sama, tanpa melihat struktur, tujuan, atau dinamika internal masing-masing organisasi. Fenomena ini yang kemudian memperpanjang stigma dan membuat banyak mahasiswa baru memilih menjauh sebelum mencoba memahami.
Padahal, secara sosiologis, ormek merupakan salah satu ruang pembelajaran nonakademik paling efektif bagi mahasiswa. Di sanalah seorang mahasiswa belajar memimpin rapat, mengelola konflik, menyusun program, bertanggung jawab atas amanah, dan berhadapan dengan situasi sosial yang nyata. Kemampuan seperti itu tidak bisa sepenuhnya diajarkan oleh dosen atau didapatkan dalam bangku perkuliahan, melainkan hanya didapatkan melalui pengalaman, lingkungan yang baik dan sehat melalui ormek sebagai ruang tumbuh dan, berkembang. Organisasi mahasiswa eksternal (ormek) menyediakan ruang aman untuk gagal, untuk mencoba, dan untuk membangun kapasitas diri tanpa risiko besar layaknya dunia profesional.
Banyak stigma yang lahir karena orang hanya mengenal versi “yang kelihatan jelek”, sementara proses internal dalam ormek yang membentuk karakter justru tidak terbaca publik. Misalnya, perdebatan keras di rapat sering dianggap konflik, padahal itu adalah bentuk latihan berpikir kritis. Adanya perbedaan pendapat dianggap kekacauan, padahal itu justru bukti bahwa organisasi hidup, bukan sekadar formalitas tanpa dinamika. Tanpa memahami konteks ini, mahasiswa yang melihat dari luar akan mengira ormek selalu ribut, padahal ribut tidak selalu berarti buruk: terkadang itu tanda bahwa sebuah isu sedang diperjuangkan secara serius.
Selain itu, ormek berperan sebagai jembatan antara mahasiswa dengan realitas sosial. Mahasiswa yang ikut ormek belajar bagaimana isu publik dicerna, disampaikan, dan diperdebatkan. Mereka belajar bagaimana bersuara sekaligus menerima kritik. Ini adalah modal penting bagi generasi muda yang kelak memegang peran di masyarakat, baik sebagai praktisi, akademisi, pengacara, birokrat, maupun warga negara yang sadar hukum dan demokrasi. Tanpa pengalaman berorganisasi, mahasiswa hanya mendapatkan separuh dari pembelajaran hidup yang seharusnya mereka dapatkan di kampus.
Namun, tentu ormek tidak sempurna. Ada kasus-kasus tertentu yang memang perlu dikritisi, terutama ketika organisasi gagal mengelola kaderisasi atau lalai membangun budaya yang sehat. Justru karena itu, narasi yang lebih sehat harus dibangun: bahwa memperbaiki organisasi jauh lebih baik daripada menjauhinya sama sekali. Menghapus stigma bukan berarti menutup mata terhadap kekurangan, tetapi memindahkan fokus dari generalisasi destruktif ke evaluasi konstruktif. Mahasiswa tidak boleh hanya menjadi pengamat pasif yang menilai dari jauh, tetapi juga agen perubahan yang berani memperbaiki.
Stigma terhadap ormek muncul karena adanya kecenderungan politisasi gerakan di lingkungan kampus. Tidak sedikit organisasi yang terseret agenda eksternal atau terjebak dalam dinamika politik praktis yang sebenarnya tidak relevan dengan kebutuhan pengembangan mahasiswa. Kritik ini penting sebagai pengingat bahwa ormek seharusnya kembali pada nilai dasarnya: ruang edukasi, kaderisasi, dan pemberdayaan, bukan arena perebutan pengaruh. Dengan mengakui sekaligus membenahi bagian yang melenceng ini, ormek mampu memulihkan kepercayaan publik kampus dan menunjukkan bahwa kritik adalah bagian dari proses tumbuh, bukan alasan untuk menjauh.
Jika stigma negatif terus dibiarkan, kampus akan kehilangan ruang regenerasi sosial. Mahasiswa akan tumbuh dengan keterampilan teknis, menguasai tugas akademik, tetapi minim kapasitas interpersonal. Tanpa ormek, tidak ada tempat belajar mengambil keputusan, tidak ada ruang untuk diberi kepercayaan, tidak ada kesempatan memimpin teman sejawat. Sementara itu, dunia kerja menuntut sesuatu yang jauh lebih kompleks: kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, bernegosiasi, bersikap, dan menyelesaikan masalah. Semua itu justru terbentuk dari proses panjang dalam organisasi mahasiswa eksternal (ormek).
Kini, yang dibutuhkan adalah sudut pandang baru: bahwa organisasi mahasiswa eksternal (ormek) bukan musuh, bukan tempat yang harus dihindari, melainkan ruang yang perlu dipahami dan dimanfaatkan. Ruang ini bisa menjadi wadah pertumbuhan kalau dikelola dengan akal sehat, nilai kebersamaan, dan budaya saling dukung. Mahasiswa tidak harus menjadi aktivis untuk terlibat dalam ormek; cukup hadir, belajar, dan mengambil bagian sesuai kapasitas. Setiap orang punya peran, dan setiap peran punya nilai.
Menepis stigma bukan hanya tanggung jawab organisasi, tetapi juga seluruh ekosistem kampus. Ketika mahasiswa melihat ormek dengan kacamata yang lebih jernih, bukan kacamata generalisasi. Maka yang terlihat bukan lagi drama, melainkan proses. Bukan lagi konflik, melainkan latihan kedewasaan. Organisasi mahasiswa akan kembali ke tujuan awalnya: menjadi ruang tumbuh, ruang belajar, ruang berkembang, dan ruang bertemu dengan versi terbaik diri sendiri.
Biruku tak akan pudar. Kuningku tak akan luntur.
Pergerakanku akan selalu tumbuh.
Penulis: Bena Asrurina Salsabila, Mahasiswa Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur
Editor: AgusW












