Opini

Makna Kelahiran IPNU ke-69 dan Tantangan di Dunia Pendidikan

Oleh: Muhammad Maftahul Huda*

Refleksi Perjuangan IPNU

Kelahiran beberapa badan otonom Nahdlatul Ulama’ memiliki sejarah sakral dengan berbagai narasi dan latar belakang yang sangat panjang, memiliki makna filosofis tersendiri seperti halnya kelahiran jam’iyah Nahdlatul Ulama’ dengan berbagai perjalanan dalam merawat Ahlu sunnah wal jama’ah serta menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dari jeratan jajahan Kolonisme. Begitu dengan kelahiran dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU) tidak bisa diartikan sebuah upaya dalam menyatukan para pelajar di Indonesia dan memberikan legitimasi menjadi badan otonom Nahdlatul Ulama’.

Kelahiran dari IPNU memiliki amanat, tanggung jawab dan kewajiban yang harus dilaksanakan. 

  1. Amanatutdin (amanat menjaga agama) amanat ini telah memberikan pesan bahwa di tingkatan pelajar NU mereka harus menanamkan nilai agama yang berasaskan nilai-nilai Ahlusunah wal jama’ah annahdliyah.
  2. Amanatulwathan (amanat menjaga negara) amanat ini telah meniscayakan bahwa anggota dan kader-kader IPNU sudah memiliki tanggung jawab dalam mempertahankan negara yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 

Dalam konteks serupa IPNU juga harus menjalankan amanah jenjang pengaderan yaitu dengan melalukan proses pemberdayaan kader dan perkembangan potensi sumber daya manusia pada dirinya dan juga pada masyarakat luas agar dapat memberikan sumbangsih perannya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.  

Melalui beberapa nilai-nilai positif dalam perjuangan ideologi keagamaan dan kenegaraan telah menjadikan refleksi besar bahwa IPNU tidak hanya sekedar lahir dari historis latar belakang biasa, namun telah meletakkan perjuangan IPNU sebagai dari gerakan sosial keterpelajaran dengan melihat kondisi yang begitu obyektif.

Baca Juga:  Shabnam Nasimi Puji Aksi Protes Perempuan Afghanistan Menuntut Hak Pendidikan

Tantangan Pelajar Dalam Dunia Pendidikan

Lahirnya sebuah organisasi memiliki peran dan tantangan yang harus diselesaikan agar keberadaannya bisa dirasakan sebagai organisasi yang Anfauhum linnas (bermanfaat bagi manusia). Menempa dalam dunia pendidikan di sebuah sekolah ataupun perguruan tinggi yang dirasa sebagai tempat untuk menimba ilmu dan dianggap sangat produktif bagi kalangan pelajar sebagai penerus generasi bangsa nantinya, kini juga patut mendapatkan pengawasan yang tidak kalah penting seperti lahirnya revolusioner gerakan khilafah, eksistensi Aswaja dalam dunia modernitas adalah hal yang nampak untuk diselesaikan.

  1. Revolusioner Gerakan Khilafah

Beberapa gerakan dan doktrinan untuk berkhilafah kepada kaum yang berada dalam dunia pendidikan bukanlah sesuatu baru. Survei Alvara Resarch center seperti dilansir oelh CNN Indonesia tahun 2017 telah menemukan bahwa para generasi pelajar yang duduk dibangku sekolah dan perguruan tinggi telah bersepakat dengan konsep negara khilafah dengan melibatkan kalangan 4.200 millennial yang terdiri dari 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA di Indonesia dengan mayoritas para generasi millennial lebih  memilih kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara, namun pada tingkat 17,8% mahasiswa dan 18,4% pelajar setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal.

Meski persentase kecintaan terhadap NKRI hari ini masih terbilang cukup besar namun kehadiran para gerakan revolusioner khilafah juga patut di waspadai seiring dengan perkembangan Zaman bisa saja penyebaran-penyebaran paham khilafah akan terus bertambah jika hal ini tidak di minimalisir oleh para kelompok dan organisasi yang hari ini tetap setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan paham Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia. Seperti pelajar Nahdlatul yang memiliki segmentasi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merawat ideologi ahlusunnah wal jamaah

Baca Juga:  Peringatan Hardiknas, Gus Muhaimin: Momentum Ubah Sistem Pendidikan Indonesia

Tantangan para pelajar NU hari ini terbilang cukup besar, organisasi yang memperjuangkan warisan The Founding Father yang membentuk sebuah negara Indonesia harus menerima keterbatasan gerak untuk mendakwahkan paham Pancasilaisme dan ke-Indonesia an terhadap para pelajar, konsekuensi pahit ini harus diterima oleh para organisasi terpelajar NU yang berstatus sebagai organisasi extra, meski organisasi pelajar NU ini adalah badan otonom dari organisasi besar Nahdlatul Ulama’ yang tetap eksis dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bahaya yang diungkapkan oleh Riset Alvara diatas

  1. Eksistensi Aswaja di Era Modern

Aswaja An-nahdliyah sebagai ciri khas organisasi Nahdlatul Ulama tidak hanya dilakukan sebagai ritual formalitas keagamaan saja. Keberadaan Aswaja An-nahdliyah juga harus eksis seiring dengan perkembangan zaman karena hal ini adalah upaya dan perkembangan Aswaja agar tidak mengalami sebuah kejumudan (kemunduran). Seperti yang telah dipaparkan diatas oleh lembaga Survei Alvara Research Center yang mengungkapkan beberapa pelajar yang sepakat untuk mendirikan khilafah sebagai negara ideal adalah salah satu dampak dari pemahaman agama yang dangkal, hal ini didasari karena para pelajar millenial lebih suka belajar dengan instan salah satunya adalah belajar melalui literatur media massa yang dapat dilakukan dengan cepat hanya bermodal gadget dan search google mereka bisa mendapatkan informasi yang diinginkan termasuk belajar agama yang kadang tanpa diketahui sumber dan penulisnya.

Baca Juga:  Paket JIMAT IM3, Solusi Cerdas Untuk Pelayanan Publik Berkualitas

Tentu genera pelajar Nahdliyin tidak hanya diam dan menutup akan fenomena yang terjadi saat ini, kaum nahdliyin juga memiliki kewajiban dan mengambil peran untuk menyelesaikannya sebagai bentuk pengamalan aqidah ke-aswajaan agar dapat diterima oleh semua kalangan termasuk para penggiat literasi ilmu agama online (mereka yang belajar agama melalui sanad media internet). Tidak hanya itu, kaum pelajar Nahdliyin juga harus mampu mengejawantahkan salah satu kaidah fiqih yang menjadi pegangan para penerusnya. “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”, (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Kaidah tersebut telah menjadi tolak ukur bahwa para generasi pelajar nahdliyin harus mampu memelihara tradisi keagamaan yang menjadi identitas dan telah diajarkan oleh ulama’ terdahulu seperti ngaji kitab kuning, merawat kebudayaan adalah salah satu identitas yang tidak boleh ditinggalkan dan dihilangkan seiring dengan perkembangan zaman karena hal ini pembeda dan nilai plus dari kalangan lain.

*) Alumni PC. IPNU Jember; Ketua Yayasan Daras Aksara Indonesia

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda