Lepas dari Layar: Anak-anak yang Masih Mengenal Tanah, Angin, dan Tawa

Surabaya, Deras.id – Hari pertama pelaksanaan KKN SDGs Bela Negara Tahun 2025 UPN “Veteran” Jawa Timur oleh Kelompok 129 tidak diisi dengan acara formal atau laporan angka, tapi justru disuguhkan oleh pemandangan sederhana yang membekas dalam. Sore itu, anak-anak rentang usia SD hingga SMP berlarian di lapangan terbuka, tertawa lepas sambil bermain layangan, badminton, dan sepak bola. Tidak satu pun dari mereka terlihat sibuk dengan gadget.

Pemandangan ini terasa seperti potongan masa kecil yang mulai hilang di banyak tempat, terutama di kota-kota besar. Hari ini, sebagian besar anak seusia mereka lebih sering sibuk dengan gawai: bermain game online, menonton YouTube, atau berselancar di media sosial. Mereka tidak salah, tapi sistem yang kita bangun — yang mempermudah akses gadget tanpa filter—membuat masa kecil menjadi lebih sempit, lebih sunyi, dan lebih sepi dari tawa yang hidup.

Anak-anak di Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Jambangan, memberi kesan kuat bahwa mereka masih mengenal tanah, angin, dan tawa. Mereka hadir secara utuh di ruang sosial: tubuhnya bergerak, matanya saling menatap, pikirannya bermain, bukan terpaku pada layar. Dalam dunia yang semakin digital dan terhubung secara maya, mereka justru saling terkoneksi secara nyata.

Namun ini bukan sekadar tentang pilihan anak-anak, tapi juga tentang peran orang tua dan lingkungan yang mendukung mereka untuk tetap menjadi anak-anak. Di banyak tempat, orang tua cenderung memberi gadget agar anak tenang di rumah. Padahal, tanpa pendampingan yang memadai, layar bisa menjauhkan anak dari dunia nyata, dari relasi sosial, bahkan dari pengenalan emosi dasar mereka sendiri. Perlu kesadaran bersama bahwa mendampingi anak bermain, menyediakan ruang aman, dan memberi batasan digital adalah bentuk kasih sayang yang lebih nyata dibanding sekadar memberikan ponsel terbaru.

Pemerintah  yang memiliki peran sentral pun seharusnya tidak tinggal diam. Pemerintah daerah melalui dinas terkait dapat mendorong penyediaan fasilitas publik ramah anak, sementara pemerintah setempat berperan aktif dalam menjaga keberlangsungan dan pemanfaatan ruang bermain di lingkungan warga.. 

Idealnya, sinergi antara keluarga, sekolah, dan pemerintah setempat menjadi pilar penting dalam menjaga agar anak-anak tidak kehilangan masa kecilnya. Akses terhadap teknologi boleh diberikan, namun dengan batasan, bimbingan, dan penanaman nilai-nilai tanggung jawab digital. 

Fenomena ini menyadarkan kami bahwa tidak semua kemajuan adalah kemajuan. Kemudahan mengakses teknologi tanpa pendampingan sering kali menjauhkan anak dari eksplorasi fisik dan sosial yang sangat mereka butuhkan. Anak-anak yang terlalu cepat dewasa lewat layar berisiko kehilangan ruang untuk bertumbuh secara alami-emosional, sosial, dan motorik.

Sebaliknya, anak-anak yang masih bebas bermain di ruang terbuka sedang memelihara banyak hal: daya tahan tubuh, kreativitas, keberanian bersosialisasi, dan rasa empati. Inilah fondasi penting yang tidak bisa digantikan oleh layar, secerdas apa pun algoritmanya.

Kita sebagai masyarakat, pendidik, orang tua, bahkan pemangku kebijakan, memiliki peran penting untuk menjaga masa kecil tetap hidup dan utuh. Jangan biarkan generasi yang seharusnya berlari di lapangan justru terkubur dalam ketergantungan pada layar. Hal tersebut bukan sekadar krisis nostalgia, melainkan krisis masa depan. Jika negara sungguh peduli pada tumbuh kembang generasi masa depan, maka investasi terbaik bukan hanya pada infrastruktur digital, tetapi juga pada ruang fisik dan emosional anak-anak kita.Inilah nilai yang coba kami suarakan melalui kegiatan KKN Bela Negara SDGs Tahun 2025 Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur oleh Kelompok 129 di Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Jambangan, Surabaya mengajak kembali melihat dunia nyata dari ketinggian senyum anak-anak yang belum tersentuh layar.

Penulis : Muhammad Rafly dan Kelompok 129 KKN SDGs Bela Negara Tahun 2025, Mahasiswa UPN “Veteran” Jawa Timur

Editor : AgusW

Exit mobile version