Tokyo, Deras.id – Jepang mengalami krisis populasi setiap tahunnya yang menyebabkan ratusan sekolah dipaksa tutup karena kekurangan murid. Pemerintah mencatat sekitar 450 sekolah ditutup setiap tahunnya, bila di total antara tahun 2002 hingga 2022 mencapai 9.000 tutup permanen.
“Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi, saya terkejut,” kata Eita seorang siswa yang terdampak, dikutip Reuters, Selasa (4/4/2023).
Depopulasi yang cenderung cepat ini dinilai sebagai masalah regional Asia. Biaya membesarkan anak salah satunya menjadi sebab terjadinya krisis populasi di beberapa negara termasuk Korea Selatan dan China.
Akan tetapi, di antara mereka, Jepang yang paling parah dalam krisis tersebut. Terutama di daerah pedesaan seperti Ten-ei area ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima.
“Saya khawatir orang tidak akan menganggap daerah ini sebagai tempat pindah memulai sebuah keluarga jika tidak ada sekolah menengah pertama,” kata Masumi, ibu dari siswa terakhir di daerah Yumoto, Eita.
Menanggapi masalah itu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida telah menjanjikan langkah-langkah terobosan dari pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran. Termasuk melipat gandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak serta mensejahterakan lingkungan pendidikan.
Kishida juga menyebut pemerintah akan mengambil tindakan untuk menaikkan upah pekerja muda dan meningkatkan bantuan ekonomi kepada mereka. Tujuannya, yakni menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membesarkan anak-anak tanpa rasa khawatir.
Diketahui, angka kelahiran turun hingga mencapai dari 800.000 anak per tahun 2022, rekor paling rendah di negara itu. Pemerintah menaksir depopulasi ini terjadi delapan tahun lebih cepat dari yang mereka antisipasi.
Sementara itu, para ahli memperingatkan penutupan sekolah di pedesaan akan memperlebar kesenjangan nasional dan membuat daerah terpencil berada di bawah tekanan yang lebih besar.
“Penutupan sekolah berarti kotamadya pada akhirnya akan menjadi tidak berkelanjutan,” kata Touko Shirakawa, dosen sosiologi di Universitas Wanita Sagami.
Penulis: Andre l Editor: Saiful