Krisis Keteladanan Untuk Generasi Muda Indonesia
*) Susana Nurul Khotimah
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan keramah tamahannya, masyarakat yang beretika dan sopan santun yang tinggi. Masyarakat Indonesia dibiasakan dengan budaya yang selalu menghormati orang yang lebih tua dan bermoral ketika berteman. Bahkan dalam tradisi Jawa berbicara pun ada unggah ungguh nya, penggunaan bahasa kepada orang dengan status dan kedudukan yang lebih tinggi berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang setara.
Jika berbicara dengan orang yang berkedudukan tinggi atau orang tua kita diajari untuk menggunakan bahasa jawa krama, dan ketika berbicara dengan orang yang setara kita mengguakan bahasa jawa ngoko. Namun seiring dengan kemajuan teknologi telah merubah sebagian besar perilaku masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Meskipun kita telah menyadari bahwa kemajuan ini memiliki dampak positif dan negatif, tetapi masyarakat Indonesia belum sepenuhnya bisa untuk menerima dampak positif
tersebut.
Ditengah derasnya arus digitalisasi ini, tentu saja media memiliki peranan yang penting dalam membentuk perilaku yang berbudaya. Media secara tidak langsung akan mempengaruhi moral genarasi muda dengan konten dan informasi yang mereka sajikan. Menurut hasil laporan We Are Social menunjukkan, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang pada Januari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 60,4% dari populasi di dalam negeri, penggunaaan media tersebut sebagian besar adalah generasi muda. Sehingga informasi yang disajikan oleh media akan dengan mudah mempengaruhi mental dan moral generasi saat ini.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas dari moral generasi muda, salah satunya adalah keteladanan. Perilaku orang tua, guru, public figure, elite politik atau masyarakat di lingkungan sekitar ikut andil dalam pembentukan moral yang berkualitas baik atau berkualitas buruk terhadap generasi muda. Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas menyatakan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami krisis, yaitu krisis keteladanan. Ikhlas telah digantikan oleh pamrih, altruisme digantikan oleh individualisme.
Generasi muda telah kehilangan teladan karena yang dahulunya pahlawan sekarang dapat berubah menjadi pengkhianat, sebaliknya yang dulunya pengkhianat bisa berubah menjadi pahlawan. Yang dulunya menjadi bagian dari demonstran untuk meruntuhkan orde baru sekarang malah menjadi teknokrat yang anti kritik.
Ada kemungkinan kita sedang mengalami penyusutan nilai, pengalaman, dan kebijakan. Pemimpin yang seharusnya mampu memberikan keteladanan yang baik pada masyarakat justru melakukan tindakan yang jauh dari kata teladan. Perilaku korupsi, hidup mewah ditengah masyarakat yang kelaparan, dan memudarnya kepedulian terhadap penderitaan rakyat sudah menjadi warna kehidupan para pemimpin.
Nilai, moral, kekejujuran, dan kebenaran yang selalu digaung-gaungkan tidak lagi menjadi landasan bagi pemimpin untuk menentukan kebijakan. Parahnya, perilaku yang harusnya di adili ini malah dilindungi oleh hukum. Penegak hukum sebagai benteng keadilan justru kerap kali tidak berpihak kepada
kebenaran.
Tindak korupsi dan penyuapan tidak hanya dilakukan oleh para pejabat pemerintahan tapi juga dilakukan oleh penegak hukum, sehingga kita juga sering mendengar ada banyak hakim, jaksa dan pengacara yang tertangkap tangan terlibat dalam kasus korupsi dan penyuapan. Menurut databoks, berdasarakan data KPK jumlah aparat penegak hukum yang tersandung kasus korupsi (2004-2022) ada sebanyak 34 orang, dengan rincian ada 21 koruptor dengan jabatan hakim, 10 koruptor dengan jabatan jaksa, serta 3 orang dari kepolisian. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang telah tertangkap dan telah berurusan denngan hukum, namun untuk kasus yang tidak tertangkap mungkin saja akan lebih banyak.
Institusi pemerintahan yang diangap sebagai lembaga yang sahid pun telah ikut terlucuti. Ketika lembaga tertinggi dan terhormat telah ternodai, maka lapisan bawah dalam hal ini adalah masyarakat ikut mengalami tekanan berat yang mengakibatkan perubahan sudut pandang terhadap pemerintahan dan masa depan negara. Jika kita sudah kehilangan examplary center yang baik maka akan sulit mengarahkan orang ke jalan yang lebih baik, begitu pula dengan generasi muda sekarang mereka akan sulit menjadi pribadi yang bermoral karena minimnya role model yang memberikan contoh perilaku bermoral di zaman ini.
Jika berbicara mengenai sejarah dan pahlawan di zaman dulu, maka dengan mudah kita akan menyebutkan Ir. Soekarno, Moch. Hatta, Tan Malaka, Jendral Soedirman hingga pahlawan daerah dengan cepat. Lalu pertanyaannya, siapakah pahlawan-pahlawan Indonesia di zaman sekarang? Sepertinya pertanyaan ini akan sulit untuk dijawab, berbeda dengan pertanyaan siapakah tokoh pejabat pemerintahan yang korupsi?
Tulisan ini adalah gambaran bahwa bangsa yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah dan sangat kita cintai ini, yang memiliki sejarah panjang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan sudah mulai kehilangan sosok pahlawan kekinian. Generasi muda telah kehilangan sosok yang bisa dijadikan sebagai examplary center. Sejauh ini, yang kerap kali kita temui adalah orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan. Semua yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan pribadi hanya dianggap sia-sia. Nilai utama, madya, candhala diukur dengan rugi laba material.
Negara ini telah mengalami krisis keteladanan, generasi muda membutuhkan examplary center yang baik sama seperti kita membutuhkan makan, minum, tidur, rasa nyaman dan kebebasan. Masa depan generasi bangsa Indonesia bisa terselamatkan kembali, apabila ada pemimpin-pemimpin yang tidak hanya berintelektualitas tinggi tetapi juga bermoral dan berkarakter. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermoral, apabila ada orang-orang yang masih berpegang teguh pada nilai kebhinekaan dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehingga generasi muda dapat menjadikannya sebagai sososk teladan yang dapat dicontoh perilaku nya.
*) Mahasiswa Universitas Islam Jember