Opini

Kontroversi Kebijakan Tapera

Oleh: Pahlevi )*

Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan kebijakan baru yang cukup menarik perhatian masyarakat, terutama kalangan pekerja swasta dan mandiri. Menilik asal-usulnya, kebijakan yang dikenal sebagai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), sebenarnya sudah diatur lama melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Namun kebijakan ini menuai kontroversi setelah Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Tujuannya jelas: membantu masyarakat memiliki rumah layak dengan skema pembiayaan yang berkelanjutan dan berlandaskan prinsip gotong royong.

Kontroversi Tapera terutama karena kewajiban untuk ikut serta kini tidak hanya berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saja, tetapi juga karyawan swasta dan pekerja mandiri. Di bawah aturan baru, pekerja swasta diwajibkan menyisihkan 2,5 persen dari gaji mereka, sementara pemberi kerja menambahkan 0,5 persen, sehingga total iuran mencapai 3 persen dari gaji pekerja.

Secara teori, tujuan Tapera adalah mulia. Pemerintah berharap dapat membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah yang layak dan terjangkau melalui tiga program utama: Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR). Ketiga program ini menawarkan akses pembiayaan yang lebih mudah dan murah bagi mereka yang berpenghasilan maksimal Rp8 juta per bulan, atau Rp10 juta per bulan khusus di Papua dan Papua Barat.

Baca Juga:  Setelah Seratus Tahun, Lalu Apa? Sebuah Refleksi 100 Tahun Nahdlatul Ulama

Selain itu, dana yang dikumpulkan dari pekerja swasta dengan penghasilan di atas batas MBR, yang tidak bisa langsung memanfaatkan program Tapera, akan dikelola untuk membantu pembiayaan rumah bagi MBR. Pada akhirnya, tabungan ini beserta imbal hasilnya akan dikembalikan kepada peserta ketika mereka pensiun atau mencapai usia 58 tahun.

Untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas, mari kita lihat contoh kasus serupa di negara lain. Salah satu yang cukup terkenal adalah Central Provident Fund (CPF) di Singapura. CPF merupakan skema tabungan wajib yang bertujuan untuk membantu warga negara Singapura memenuhi kebutuhan pensiun, perumahan, dan kesehatan. Setiap pekerja dan pemberi kerja diwajibkan menyetor persentase tertentu dari gaji bulanan ke akun CPF.

Di bawah CPF, warga negara Singapura dapat menggunakan dana yang terkumpul untuk membeli rumah melalui skema Housing and Development Board (HDB). HDB menawarkan perumahan bersubsidi yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah. Skema ini telah berhasil meningkatkan tingkat kepemilikan rumah di Singapura secara signifikan.

Baca Juga:  Jokowi Sebut Kebijakan PPKM Covid-19 Dicabut Bukan Untuk Gagah-Gagahan

Namun, seperti halnya Tapera, CPF juga menghadapi kritik. Beberapa warga merasa terbebani dengan kewajiban menyisihkan sebagian dari gaji mereka, sementara yang lain mengkritik fleksibilitas penggunaan dana yang dianggap terlalu ketat.

Dalam hemat penulis, Tapera memiliki aspek positif yang perlu dipertimbangkan. Diantaranya dengan Tapera, masyarakat berpenghasilan rendah dapat mengakses pembiayaan perumahan dengan bunga yang lebih rendah dan syarat yang lebih mudah, prinsip gotong royong yang diusung oleh Tapera mencerminkan nilai kebersamaan dan saling membantu dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, Tapera juga dapat menjadi tabungan jangka panjang bagi pekerja yang tidak bisa memanfaatkan program perumahan. Nantinya, dana yang terkumpul tetap dapat dimanfaatkan ketika mereka pensiun.

Adapun bagi mereka yang kontra menganggap Tapera sebagai tambahan beban bagi pekerja swasta maupun pemberi kerja ditengah kondisi ekonomi yang lagi sulit. Terutama bagi pekerja yang sudah memiliki banyak tanggungan keuangan. Apalagi gaji pekerja di Indonesia sudah terpotong untuk Pajak PPH 21, BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan. Lebih lanjut, bagi pekerja dengan penghasilan di atas batas MBR, manfaat Tapera mungkin terasa kurang langsung karena mereka tidak bisa memanfaatkan program perumahan secara langsung. Pada akhirnya pengelolaan administrasi dan dana Tapera lah yang banyak disorot. Kasus korupsi atau penyalahgunaan dana yang marak terjadi akan merusak kepercayaan publik.

Baca Juga:  UU Tapera Digugat, MK Diminta Hapus Frasa “Wajib Jadi Peserta”

Tapera adalah kebijakan yang ambisius dengan tujuan mulia yaitu membantu masyarakat memiliki rumah yang layak dan terjangkau melalui prinsip gotong royong. Namun, penerapannya menimbulkan berbagai reaksi di kalangan pekerja swasta dan mandiri yang kini diwajibkan ikut serta.

Mencontoh skema serupa di negara lain seperti CPF di Singapura, kita dapat melihat potensi keberhasilan sekaligus tantangan yang mungkin dihadapi. Aspek positif Tapera, seperti akses perumahan yang lebih baik dan tabungan jangka panjang, harus diimbangi dengan perhatian terhadap beban tambahan bagi pekerja dan kebutuhan akan pengelolaan dana yang transparan dan efisien.

Keberhasilan Tapera pada akhirnya akan sangat tergantung pada bagaimana pemerintah dan Badan Tapera dapat menjalankan dan mengelola program ini dengan baik dan transparan, serta bagaimana Pemerintah dapat meyakinkan masyarakat untuk merespons dan beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Seperti halnya kebijakan lainnya, Tapera adalah sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen dan kerja sama dari semua pihak yang terlibat.

)* Pemerhati Sosial

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda