Oleh: Bagaskara Dwy Pamungkas*
Sesungguhnya, Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan ulama yang bangkit dan membangkitkan para santrinya bersama kaum muslimin di lingkungannya. Barang siapa menggabungkan diri ke dalam Nahdlatul Ulama maka dia harus menempatkan diri sebagai pendukung kebangkitan para ulama, dan tidak boleh ada yang meremehkan kepemimpinan ulama, apalagi berniat dan berbuat merebutnya.
KH. ACHMAD SIDDIQ Rais Aam PBNU (1984-1991)
Tujuh Februari lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merayakan resepsi satu abad Nahdlatul Ulama (NU) di stadion delta Sidoarjo. Pada momentum tersebut, PBNU mengusung tema, “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”. Argumentasi filosofis dari pada tema yang diusung, PBNU menyandarkan terhadap hadis nabi Muhammad Saw, yang mengatakan bahwa, “Allah swt setiap 100 tahun membangkitkan di kalangan umat ini pembaharu,”.
Tentunya bukan perkara mudah untuk merealisasikan cita-cita besar tersebut dalam kondisi yang serba keterbukaan atau semakin derasnya arus globalisasi. Ketika dunia barat memegang remot kontrol atas supremasi di bidang sains dan teknologi, dimana hal tersebut juga merupakan simpul utama penyebaran proses-proses globalisasi. Menurut Giddens, globalisasi ialah perkembangan-perkembangan yang cepat dibidang teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang dapat membawa bagian-bagian dunia paling jauh terpencil sekalipun kedalam suatu jangkauan yang mudah dicapai.
Sudah barang tentu realitas tersebut bersifat paradoks, karena ada peluang dan juga ancaman yang dapat berjalan secara simultan. Katakanlah menyoal sosio-budaya. Mulanya, entitas yang kerap dilabelkan terhadap warga NU ialah muslim tradisional. Karena warga NU dalam menjalankan ritus-ritus keagamaannya acapkali mengenakan busana yang terkesan unik atau dipandang kurang formil. Baik ketika menghadiri kondangan, acara tahlilan, sholawatan, terkadang juga main bola (biasanya santri), atau bahkan mencari rumput disawah, warga NU hampir mayoritas tidak luput dari sarung dan kopyah hitamnya. Pada intinya, cara berbusananya tampak simple alias “gak mau ribet”
Namun impek dari pada pesatnya perkembangan telekomunikasi dan transportasi, warga Nahdliyyin lambat laun mulai terkontaminasi dari pada budaya-budaya luar yang dapat mengancam alias tercerabutnya kebudayaan orisinil masyarakat Indonesia. Baik itu dalam segi busana sampai ke-menu makanan, sudah mulai serba kebarat-baratan. NU tidak anti terhadap budaya baru. NU dalam wilayah tersebut berpegangan terhadap prinsip, “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”. Yakni ‘Memelihara budaya lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik’.
Terlepas dari itu semua, NU memiliki tiga pilar yang dapat menjadi kekuatan besar dan hampir tidak ada yang menyangsikan kekuatan tersebut dalam lipatan sejarah panjangnya. Pilar-pilar kekuatan NU tersebuat antara lain, idealisme, patriotisme dan pluralisme. Meskipun, disetiap periode kepemimpinan NU masih memerlukan catatan-catatan kritis menyoal butiran pilar-pilar tersebut, sekaligus tegaknya Khittoh 1926, konsep Nahdlatut tujar dan taswirul afkar.
Spirit idealisme dan patriotisme yang terinternalisasi dengan matang dalam diri Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari (Rais Akbar), kemudian terejawantahkan pada kejadian 22 Oktober 1945. menyerukan “Resulusi Jihad” yang diperuntukkan kepada masyarakat disekeliling Surabaya khususnya (radius 94 km dari lokasi pertempuran), agar supaya bersatu kembali mengusir tentara-tentara penjajah yang dengan sengaja dibonceng oleh sekutu untuk kembali menguasai Indonesia.
Bahkan Hadratussyaikh bertutur terkait hukum melawan penjajah merupakan fardhu ‘ain. Melalui para laskar, para kiyai dan juga santri, seruan tersebut mengorbitkan ghirah untuk kembali berperang mengusir penjajah dari Indonesia. Kejadian tersebut merupakan bukti kongkrit jati diri Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyah Diniyah Ijtimaiyah. Eksplisitnya organisasi ke-Islaman yang memiliki atensi lebih terhadap problem-problem sosial kemasyarakatan.
Tentunya berbagai peluang dan ancaman tersebut dapat teratasi jikalau organisasi mayoritas muslim di Indonesia tersebut membikin platform terkait penguatan basis Ideologi Islam Nusantara, dan transformasi ekosospol. Kita ambil satu sample terkait upaya meng-Counter dekadensi kebudayaan sekaligus paham keagamaan di Indonesia. Secara teori, manusia cukup duduk didepan komputer, lalu menuliskan sesuatu yang benar, separuh benar atau separuh salah lalu menekan tombol, maka kabar tersebut akan tersebar keseluruh penjuru dunia, dan manusia bakalan kesulitan untuk menghentikannya.
Joke yang sering dijadikan guyonnan oleh kiyai-kiyai NU terhadap ustadz-ustadz yang pengetahuannya hanya bersanat kepada ustadz google, kemudian ia berani berfatwa dan ber-orasi galak dikegiatan-kegiatan tabligh akbar. NU dalam arus digitalisasinya tergolong lamban untuk menuangkan gagasan-gagasan ilmiah yang berdasarkan dari hasil bahtsul masail. Akhirnya, masyarakat yang ingin mengetaui suatu hukum persoalan Islam, tersesat pada artikel-artikel yang tidak mendasar. ujung-ujungnya melakukan penafsiran secara ngawur dan menimbulkan perpecahan diwilayah grassroot. Disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak, warga Nahdliyyin lebih membangun pola pikir dan melakukan pengembangan wawasan yang hanya condong pada masalah keagamaan saja.
Tak pelaknya lagi, pondasi-pondasi kebudayaan turut dirong-rong oleh perkembangan zaman. Padahal apabila menggunakan qoidah diatas, NU memiliki tanggung jawab moral untuk senantiasa merawat tradisi yang baik, lalu menerima tradisi-tradisi baru yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Salah satu contohnya persoalan busana, jikalau seandainya tidak ada kemeriahan pada kegiatan karnaval 17 Agustusan, kaula muda di Indonesia sama sekali tidak bakalan mengenal atau mengetahui pakaian-pakaian adat dari pelbagai suku di Indonesia. Karena generasi muda hari ini lebih asyik mengenakan busana-busana branded agar tampak sama dengan artis-artis korea, yang sebenarnya hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ajaran-ajaran Islam.
Padahal secara historis, kebesaran peradaban Islam di Nusantara tidak secara ekstrim membumi hanguskan seluruh budaya-budaya yang telah ada sebelumnya, melainkan cuman mereduksi kadar-kadar budaya yang terlalu berlebihan atau cukup dekat terhadap hal-hal yang bersifat musrik atau bertentangan dengan ajaran Islam. Perkembangan peradaban Islam di Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air.” (Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015: 239). Tidak cuman itu, menurut Ir. Soekarno, “kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini,”.
Alternatif untuk meruwat atau merevitalisasi berbagai aspek yang telah mengalami dekadensi, NU secara kelembagaan harus benar-benar membikin kurikulum baku yang bermaksud untuk memperkuat pondasi Ideologi warganya, agar supaya tidak mudah terinfiltasi oleh paham-paham diluar konteks Islam Ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyyah.
Merujuk kepada riwayat Imam Thabrani dalam hadisnya, “Orang-orang yahudi bergolong-golong terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, orang nasrani bergolong-golong menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku ( kaum muslimin ) akan bergolong-golong menjadi 73 golongan. Yang selamat dari padanya satu golongan dan yang lain celaka. Ditanyakan ‘Siapakah yang selamat itu?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ahlussunnah Wal Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan lagi, ‘apakah ahlussunnah Wal Jama’ah itu ?’ Beliau menjawab, ‘apa yang aku berada di atasnya, hari ini, dan beserta para sahabatku ( diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diamalkan beserta para sahabat )’.
Sebenarnya, tidak terlalu sukar bagi NU untuk kembali menggalakkan doktrin-doktrin Aswajaisme terhadap generasi-generasi mudanya. Tinggal bagaimana memainkan instrumen-instumen Perguruan Tinggi (PT) yang secara langsung bernaung dibawah kordinasi pengurus NU dipelbagai lapisannya. Seperti lebih diperketat kembali perihal kurikulum yang hendak diajarkan di PT tersebut. Dalam arsip Asosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (APTNU) mencatat, NU sampai dengan tahun 2014 telah mempunyai dan mengelola 7 perguruan tinggi di Jakarta, 38 PT di Jawa Barat, 17 PT di Jawa Tengah, 33 PT di Jawa Timur, dan 12 PT di luar Jawa. Salah satu diantara perguruan tinggi NU di Jawa Timur adalah Universitas Islam Jember (UIJ).
Para pakar mengatakan, pendidikan merupakan kunci dari kemajuan. Bobot kualitas SDM suatu masyarakat atau bangsa dapat dilihat dari bobot kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat atau bangsa tersebut. Taraf intelektual suatu bangsa dapat diamati dari mutu pendidikan bangsa tersebut. Kecanggihan ilmu dan teknologi suatu bangsa dapat diukur dari mutu dan kualitas pendidikan bangsa yang bersangkutan. Jelas ada korelasi yang sangat signifikan antara mutu pendidikan suatu bangsa dengan kualitas SDM yang bangsa tersebut miliki. Semakin tinggi mutu pendidikan suatu bangsa, semakin tinggi pula kualitas SDM yang dimiliki. Contohnya Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Jepang, dan Negara-Negara Eropa Barat lainnya.
Perguruan tinggi NU pada kesempatan abad ke-2 Nahdlatul Ulama ditantang untuk turut andil dalam percepatan kebangkitan intelektual muslim gelombang kedua ini. Perguruan tinggi NU sepertihalnya UIJ, diharapkan dapat menjadi “garda terdepan” atau sumber utama motivator dan dinamisator kebangkitan intelektual muslim jilid kedua. Tuntutan moral bagi kalangan muslim tradisional untuk membuktikan bahwa mereka mampu untuk memotori dan mengakselerasi kebangkitan intelektual muslim.
Prof. Dr. Nurcholish madjid atau sapaan akrabnya Cak Nur, pada satu kesempatan ceramah di pondok pesantren Al Amin Prenduan (Sumenep-Madura), ia memprediksi bahwasannya kelompok muslim tradisionallah yang bakalan menjadi motor penggerak intelektual muslim gelombang kedua di Indonesia. Muslim tradisional biasanya diperlawankan dengan muslim modern yang menganut paham keagamaan Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani (dua tokoh yang dikenal sebagai pelopor gerakan muslim modern pada abad ke-19 M).
Menurut Cak Nur, kebangkitan intelektual muslim gelombang pertama telah dipelopori oleh M. Natsir dkk di era 1950-an. Pada tahun 1970-an, golongan muda tradisional sudah banyak yang memasuki perguruan tinggi, tidak hanya didalam negri, melainkan juga di universitas-universitas luar negri. Abdurahman wahid yang akrab disapa Gus Dur, telah merintis dan memelopori kebangkitan intelektual muslim gelombang kedua tersebut. Intelektualisme Gus Dur ini sangat menginspirasi, menggerakkan, dan mendinamisasi generasi muda NU untuk terus menggerakkan kebangkitan intelektual muslim.
Turut mengampu percepatan kebangkitan intelektual muslim, khususnya warga nahdliyyin yang tersebar disegala penjuru, Universitas Islam Jember selayaknya menjadi kampus rujukan dari pada warga nahdliyyin. Sedari awal UIJ itu telah mendeklaratorkan diri sebagai kampus Aswaja. Dan inspirator dari proses berdirinya UIJ merupakan tokoh-tokoh penting NU Jember, seperti KH. Dhofir Salam, KH. Achmad Siddiq dan tokoh-tokoh NU lainnya . Secara usia kelembagaan, UIJ lebih muda tiga tahun dibanding dengan Universitas Islam Malang (UNISMA). UNISMA berdiri pada tahun 1981, sementara UIJ berdiri pada tahun 1984. Pada 19 September 2023, UIJ berusia tiga puluh sembilan tahun.
Jikalau dianalogikan kepada manusia, usia tiga puluh sembilan tahun tersebut, tubuh manusia sudah mulai terlihat rapuh, namun penampilan masih bisa terlihat muda dan segar. Semua itu tergantung kesehatan dan gaya hidup. Apabila rajin berolah raga dan mengonsumsi makanan-makanan yang rendah kadar minyak sekaligus tidak melulu memakan makanan yang mengandung pemanis buatan, yaa masih bisa tampak bugar nan kuat. Tetapi itu berbanding terbalik apabila lembaga pendidikan. Seharusnya, dengan usia yang tergolong “tua”, UIJ sudah selayaknya berani bersaing dengan UNISMA, baik secara prestasi kelembagaan maupun disiplin keilmuannya.
Kira-kira hal apa saja yaa, yang menjadi penghambat perkembangan UIJ? Apa jangan-jangan persoalan SDM birokrasinya tengah bermasalah!!! Atau karena UIJ berada dibawah naungan Yayasan Pendidikan Nahdlatul Ulama (YPNU) Jember, sehingga hanya dijadikan sapi perahan saja. Karena berbeda dengan UNISMA. UNISMA merupakan Perguruan Tinggi Islam yang berdiri di bawah langsung Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama. Atau karena petinggi-petingginya menggunakan cara-cara outo pilot, sehingga pada akhirnya kerap ngawur dalam mengeluarkan kebijakan.
Tetapi bisa saja karna faktor praduga saya yang ke tiga. Karena disetiap konstelasi pilrek di UIJ, sering kali mahasiswa yang melakukan pemantauan dari luar mendapati keganjilan dalam prosesinya. Hati-hati, salah di tingkat hulu, akan berakhir fatal di tingkat hilir. Bangsa Indonesia mimiliki trauma sejarah terhadap pemerintah otoriter orde baru, dimana praktek-prektek Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN), telah menjadi karakter pada rezim tersebut. Setelah dilakukan pengamatan, salah satu faktor pemicunya berada pada Statuta UIJ.
Secara regulasi, UIJ apakah sepenuhnya menjalankan amanah PP. 57 tahun 2021? Kan yaa enggak. UIJ memiliki formula sendiri menyoal permusyawaratan pilrek. Yaa meskipun para mahasiswa selalu menyangsikan kemurnian dari pada permusyawaratan yang melibatkan senat universitas sekalgus pengurus harian YPNU tersebut. Melihat dari apa yang telah terjadi disetiap momintum pilrek di UIJ, aroma-aroma keculasan terendus sangat tajam oleh seluruh elemen, bahkan mahasiswa. Nah ini, salah satu alasan kenapa beberapa bulan lalu mahasiswa UIJ menggelar demonstrasi dengan tuntutan revisi statuta kampus, yang salah satu fokusnya perihal proses transisi kepemimpinan rektor. Berdasarkan hasil kajian, dalam statuta UIJ, bukan cuman memberikan kelonggaran untuk melakukan kecurangan, melainkan orde baru reborn, yang sarat akan praktek KKNnya.
Dalam BAB IX susunan organisasi pasal 23 ayat 3 huruf C berbunyi, YPNU mengangkat dan menetapkan rektor atas pertimbangan senat, serta ketentuan lain yang berlaku. Selain itu deperkuat oleh klausul lain tetap pada BAB lX, senat universitas, pasal 29 huruf F. Pada item-item tersebut tidak ada penjelasan secara detail terkait proses ataupun prasarat yang dapat dijadikan verifikasi bakal calon rektor. Maka sama sekali UIJ tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi, yang tampak hanyalah otoritarianisme atau like and dislike dalam menentukan seorang pemimpin.
Padahal, peranan rektor cukup vital disuatu perguruan tinggi, ia memiliki tugas mengatur penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan penunjang lainnya, serta melakukan pembinaan terhadap dosen, mahasiswa, tenaga penunjang akademik, dan tenaga administrasi. Dilain sisi, apabila UIJ kembali menerapkan cara-cara lama dalam proses-proses transisi kepemimpinannya, yang sarat kecurangan, maka wallahu a’lam bishawab keberlangsungan lembaganya.
Sependek menjadi mahasiswa UIJ, kita selalu mengamati pesta demokrasi yang berlangsung. Empat tahun lalu, tepatnya 20 Mei 2019. Drs. Abdul Hadi M.M kembali terpilih sebagai Rektor UIJ. Sebelumnya, konstelasi pilrek tersebut digadang-gadang bakalan seru, karena banyak nama yang bermunculan untuk menyaingi Abdul Hadi, belakangan nama-nama tersebut surut dengan sendirinya. Pada pilrek sebelumnya, tahun 2015. Abdul Hadi berhasil menggeser pesaingnya, Drs. Lukman Yasir M.Si dan Mohammad Zaidan M.p, pada kesempatan pilrek 2019, Abdul Hadi kembali memenangkan perebutan kursi Rektor dengan menjungkirkan Dr. Hamdanah M.Si sebagai rival politiknya.
Secara periodik, kepemimpinan Abdul Hadi seharusnya berakhir dibulan mei 2023 mendatang. Maka orkrestrasi pilrek UIJ akan segera digelar kembali. Perbincangan menyoal pilrek tersebut telah menjadi topik utama diperkopian sekeling-sekeling UIJ, pembicaran tersebut tak luput dari harapan-harapan sekaligus terkaan, siapa yang layak menggantikan Pak Hadi sebagai rektor UIJ. “Yaa, gimanapun corak kepemimpinan Pak Hadi selama ini, kan yo juga ada prestasinya mas, gamblangnya kampus dua dan juga pasca sarjana”. Ujar salah seorang penikmat kopi.
Menindak lanjuti informasi yang diterima Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIJ, menyoal kandidat rektor yang digadang-gadang bakalan bertarung di bulan mei mendatang, pihak BEM UIJ mengeluarkan poling resmi sekaligus hendak melakukan uji kapasitas via podcast dengan tujuan membedah gagasan-gagasan besar para kandidat rektor. Tidak hanya itu, pihak BEM selaku representatif Mahasiswa, ingin mengetahui elektabilitas dimasing-masing kandidat ditingkatan mahasiswa sekaligus birokrasi kampus. Dari hasil poling tersebut, Nanang Budiman, S.H M.Hum memperoleh, 26,5%. Arifin Nur Budiono, S.Pd M.Si mendapatkan, 36,3%. Sholahudin Al Ayubi, S.Pd M.Pd 11, 8%. Sementara Izzul Ashlah, S.E M.Akun mendapatkan hasil poling 25,5%.
*) Mahasiswa Fisip Universitas Islam Jember