Kekerasan Seksual Merajalela, Sekolah Tetap Bungkam

Jakarta, Deras.id – Kekerasan seksual terhadap anak dan remaja kian mengkhawatirkan. Dari pemberitaan media hingga laporan lembaga advokasi, kita terus disuguhkan kasus demi kasus; pelecehan di sekolah, pemerkosaan oleh tenaga pendidik, hingga eksploitasi di lingkungan pendidikan yang mestinya menjadi ruang aman namun tak lagi ditemukan rasa aman. Ironisnya, di tengah darurat dan maraknya kekerasan seksual ini, pendidikan seksualitas di sekolah masih dianggap tabu—bahkan cenderung dihindari.
Padahal, fakta sudah bicara. Komnas Perempuan pun telah mencatat ribuan kasus kekerasan seksual setiap tahun, sebagian besar korbannya adalah pelajar usia sekolah. Namun banyak pihak mulai dari pemerintah daerah, institusi pengelola pendidikan, hingga sebagian besar orang tua masih menolak gagasan pendidikan seksualitas dengan alasan “tidak sesuai budaya”, “takut mengajarkan seks bebas”, atau “belum waktunya”. Akibatnya, siswa tumbuh dalam ketidaktahuan, kebingungan, dan minim terhadap pemahaman soal tubuh mereka sendiri, serta batasan relasi sosial
Pendidikan seksualitas bukan hanya perihal mengajarkan hubungan seksual, melainkan memberikan edukasi, pengetahuan ilmiah dan empatik tentang tubuh, consent (persetujuan), batasan pribadi, cara berkata tidak, dan bagaimana melindungi diri. Anak-anak berhak tahu bahwa tubuh mereka adalah milik mereka dan tidak boleh disentuh sembarangan. Mereka juga perlu tahu bahwa pelecehan bisa terjadi di mana saja, bahkan dari orang terdekat yang mereka kenal.
Sayangnya, kurikulum nasional belum secara jelas memasukkan pendidikan seksualitas sebagai bagian dari pendidikan karakter atau kewarganegaraan. Kalangan tenaga pendidik pun masih sedikit yang memiliki bekal kemampuan atau pelatihan yang layak untuk membahas isu ini. Banyak dari mereka yang lebih memilih diam karena takut menyinggung atau dianggap melanggar norma. Di sisi lain, institusi pendidikan juga masih cenderung menutup rapat-rapat kasus kekerasan seksual demi menjaga citra dan nama baik sekolah, alih-alih melindungi korban dan mendorong keadilan.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat pertama dalam mendidik keberanian dan perlindungan diri, justru berubah menjadi ruang sunyi ketika kekerasan seksual terjadi. Budaya bungkam ini melanggengkan kekerasan, membuat pelaku merasa aman dan kesan bersalah bagi korban. Jika sistem pendidikan terus membiarkan hal ini terjadi, kita tidak hanya gagal mendidik, tetapi juga berkontribusi dalam kejahatan yang terus berulang.
Pendidikan seksualitas yang komprehensif dan kontekstual sangat mendesak untuk dimasukkan dalam kebijakan kurikulum pendidikan nasional. Tak perlu menunggu semuanya sempurna. Mulailah dari hal dasar: pelatihan tenaga pendidik atau guru, modul yang sesuai usia, pelibatan orang tua, dan pendekatan yang sensitif budaya namun tidak melupakan sains dan hak anak.Sudah saatnya sekolah berhenti bungkam. Mendidik anak tentang tubuh dan haknya bukan tindakan amoral—melainkan langkah penyelamatan. Jika kita sungguh peduli pada masa depan generasi bangsa, kita harus berani bersuara, sebelum lebih banyak anak menjadi korban karena kita terlalu takut untuk mengajar.
Penulis: Muhammad Rafly, Penulis Buku “Anaway”, Pegiat Sastra, Ketua Rayon Hukum PMII Bela Negara UPN “Veteran” Jawa Timur l Editor: AgusW