Opini

Keberagaman Indonesia dan Tantangan Kaum Millenial

Oleh: Roni Tabroni*

Indonesia adalah negara majemuk. Kemajemukannya mewujud dalam beranekanya suku, ras, agama, dan budaya. Semua hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Multikulturalitas bangsa ini selain merupakan kekayaan yang bisa dibanggakan di hadapan bangsa lain, juga menyimpan bara api konflik dan kekerasan. Ada bermacam-macam konflik yang terjadi di Indonesia. Mulai konflik politik, ekonomi sampai konflik agama dan etnis. Dari berbagai macam konflik tersebut, konflik agama, baik konflik intern atau antar umat beragama memiliki frequensi kejadian yang lebih sering. Usia konflik ini pun memanjang jauh setua usia kemunculan agama-agama tersebut. Dalam tuanya sejarah dunia, dapat ditemukan berbagai konflik yang berwajah agama. Salah satunya adalah perang Salib- perang yang berlangsung selama tiga abad- terjadi hanya berjarak empat abad setelah kemunculan agama Islam.

Begitu pun halnya dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pada abad ke-20 dan ke-21 konflik umat beragama dikatakan masuk dalam ranah yang mengkhawatirkan. Hal ini bisa dilihat dari kejadian penolakan IMB di HKBP Filadelfia dan GKI Taman Yasmin, pemberhentian proses pembangunan Masjid Nur Musafir di Batuplat Kupang oleh Walikota Kupang, sampai yang terbaru penolakan pembangunan gereja di Cilegon. Selain itu, konflik intern umat beragama juga muncul dalam bentuk diskriminasi terhadap penganut Syiah dan Ahmadiyah atau konflik sosial berwajah agama lainnya, seperti di Tasikmalaya (1996), Ketapang (1999), Poso (1999), Sambas (1999), Temanggung (2010) dan Ambon (1999, 2011). Konflik-konflik tersebut memiliki potensi untuk mendisintegrasikan bangsa yang tinggi.

Ada berbagai macam penyebab terjadinya konflik dan kekerasan tersebut. Salah satunya adalah apa yang dikemukakan oleh Helen Jenks Clarke. Menurut Clarke (2006: 8), adanya ketimpangan ekonomi, dominasi politik, dan hegemoni budaya serta perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah yang lain yang telah berlangsung berabad-abad yang akhirnya menyatukan berbagai kelompok masyarakat dalam persaingan satu sama lain memperebutkan kekuasaan dan sumber daya adalah penyebab tidak pernahnya Indonesia luput dari konflik. Selain itu, munculnya diskriminasi dan intoleransi beragama menambah panjang daftar penyebab konflik.

Diskriminasi sendiri diartikan sebagai semua aktivitas yang berwujud pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya (UU HAM pasal 1 ayat (3)). Diskriminasi dalam ranah agama terjadi manakala tindakan tersebut dilakukan kepada agama atau keyakinan di luar agamanya.

Adapun intoleransi diartikan sebagai prasangka negatif, baik terhadap individu maupun kelompok sedangkan intoleransi keagamaan (religious intolerance) mencakup prasangka negatif bermotif keyakinan, afiliasi atau praktek keagamaan tertentu, baik terhadap individu maupun kelompok. Prasangka negatif ini memberi jalan untuk sewaktu-waktu menjelma dalam aksi intimidasi atau kekerasan bermotif pengabaian hak seseorang atau kelompok dalam menjalankan ibadahnya dan pengabaian atas hak-hak fundamental pemeluk agama (Wahid Institute, 2014: 16). Robinson (2011), merumuskan bentuk-bentuk tindakan Religious Intolerance. Pertama, penyebaran informasi yang salah tentang kelompok kepercayaan atau praktik, meski ketakakuratan informasi tersebut bisa dengan mudah dicek dan diperbaiki; kedua, penyebaran kebencian mengenai seluruh kelompok; misalnya menyatakan atau menyiratkan bahwa semua anggota kelompok tertentu itu jahat, berperilaku imoral, melakukan tindak pidana, dan sebagainya; ketiga, mengejek dan meremehkan kelompok iman tertentu untuk kepercayaan dan praktik yang mereka anut; keempat, mencoba untuk memaksa keyakinan dan praktik keagamaan kepada orang lain agar mengikuti kemauan mereka; kelima, pembatasan hak asasi manusia anggota kelompok agama yang bisa diidentifikasi; keenam, mendevaluasi agama lain sebagai tidak berharga atau jahat; ketujuh, menghambat kebebasan seseorang untuk mengubah agama mereka.

Klasifikasi tindakan intoleransi beragama di atas kemudian menjadi kompleks dalam definisi yang dikeluarkan oleh UNESCO. Dalam “Tolerance: The Threshold of Peace A Teaching / Learning Guide for Education for Peace, Human Rights and Democracy”, yang diterbitkan UNESCO (1994: 16), pengertian intoleransi tidak hanya semata-mata “hasil” tapi juga sebuah gejala-gejala yang bisa dideteksi dalam bentuk tindakan tertentu. Intoleransi dinilai sesuatu yang membawa pada potensi lahirnya penyakit sosial yang mengancam kehidupan (a life-threatening social illness) bernama kekerasan. Adapun bentuk-bentuk intoleransi tersebut berwujud dalam bahasa (language), stereotip (stereotyping), mengolok-olok (teasing), buruk sangka (prejudice), pengambinghitaman (scapegoating), diskriminasi (discrimination), pengabaian, pelecehan (harassment), gertakan (bullying), dan  pengusiran (expulsion), pengecualian (exclusion), segregasi (segregation), penindasan (repression), dan penumpasan (destruction) (1994: 16).

          Dari definisi dan bentuk intoleransi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengembangan budaya toleransi di kalangan umat beragama untuk menjaga keragaman menjadi hal yang penting dan bisa berlandaskan dari kontra definisi dan kontra bentuk-bentuk intoleransi yang telah disebutkan di atas. Yang kemudian menjadi tantangan adalah munculnya era millenial dengan membawa gerbong perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat dengan media sosial sebagai anak kandungnya.

ERA MILLENIAL DAN TANTANGANNYA

          Millennials (juga dikenal sebagai Generasi Millenial atau Generasi Y) adalah kelompok demografis (cohort) setelah Generasi X. Peneliti sosial sering mengelompokkan generasi millennial sebagai generasi yang lahir di antara tahun 1980-an sampai 2000-an. Jadi, bisa dikatakan generasi millennial adalah generasi muda masa kini yang saat ini berusia di kisaran 15 – 34 tahun.

          Generasi millennial dikatakan berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Hasil riset yang dirilis oleh Pew Researh Center dengan judul “Millennials: A Portrait of Generation Next” (2010), secara gamblang menjelaskan keunikan generasi millennial dibanding generasi-generasi sebelumnya. Yang mencolok dari generasi millennial ini selain soal penggunaan teknologi dan budaya pop/music adalah kemunculan pemikiran liberal dan toleran yang berjalan berdampingan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan generasi millennial tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet dan entertainment/hiburan yang sudah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi ini serta kebebasan untuk menentukan arah pemikiran mereka sendiri.

Yang kemudian menjadi tantangan kemunculan generasi millenial dalam hubungannya dengan intoleransi adalah kecepatan penyebaran berita (dengan adanya media sosial) yang mana kebenarannya masih belum bisa dipastikan. Berita-berita tersebut dapat berisi ujaran-ujaran kebencian, provokasi bahkan pendiskreditan seseorang atau kelompok tertentu. Hal tersebut akan dengan mudah membawa atau memprovokasi seseorang atau kelompok tertentu untuk bertindak intoleran dan berpontensi untuk menyulut kekerasan.

          Media sosial yang sudah menjadi gaya hidup atau kebutuhan generasi millenial memang bermata ganda. Di satu sisi media sosial akan dengan mudah menyebarkan berita bohong (hoaks) berisi ujaran-ujaran kebencian yang mana dapat menimbulkan perilaku intoleran. Akan tetapi, di sisi lainnya media sosial juga bisa menjadi senjata ampuh untuk menyebarkan virus-virus kedamaian, cinta kasih dan perilaku toleran. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyebarkan nada-nada cinta kasih, perdamaian dan toleransi dengan menggunakan media sosial sebagai wahananya, di antaranya adalah:

  1. Penciptaan game dan musik yang bernafaskan nilai-nilai toleran dan cinta kasih yang kemudian disebarkan lewat media sosial,
  2. Penggunaan kanal atau web yang berisi dengan nilai-nilai toleransi sehingga generasi millenial dapat dengan mudah mengaksesnya,
  3. Gerakan literasi yang mengajarkan perdamaian dan toleransi dengan penggunaan media sosial sebagai media informasi dan diskusinya, dan
  4. Kampanye-kampanye nilai-nilai toleran yang bisa secara rutin disebarkan di media sosial dan gerakan-gerakan lainnya.

          Semua usaha untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi lewat media sosial di atas akan menjadi mudah apabila ada sinergi yang baik antara pemerintah, lembaga dan masyarakat. Tujuan utamanya tentu untuk merawat keberagaman yang telah puluhan tahun menjadi pondasi negeri ini tegak dan berkembang. Akan menjadi sebuah penyesalan besar ketika masyarakat terpancing emosinya, kemudian terjadi kekerasan bahkan tindak pembunuhan hanya karena berita bohong dan ujaran-ujaran kebencian yang saat ini tersebar begitu masif di media sosial. Keberagaman yang ada di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Tugas kita bersama untuk menjaga dan merawatnya. Kapan pun, di mana pun keberagaman ini harus dijaga baik-baik. Kemunculan era millenial dengan kebutuhan akan internet dan hiburan yang tinggi bisa digunakan sebagai senjata untuk menebar benih kedamaian dan toleransi. Andai semua usaha di atas dilakukan dalam balutan niat agar bangsa ini tetap utuh dalam bingkai keberagaman. Maka, masa depan keberagaman di Indonesia akan secerah mentari pagi.

*Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami