Jakarta, Deras.id – Viral di media sosial unggahan poster bertuliskan “All Eyes on Papua” dalam beberapa hari terakhir. Poster ini diunggah sebagai bentuk dukungan kepada masyarakat adat Papua. Khususnya suku Awyu dan Moi, yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman pembukaan lahan perkebunan sawit.
“Senin kemarin masyarakat adat awyu papua demo di depan gedung Mahkamah Agung. Mereka sedang memperjuangkan hak-hak mereka, hutan adat tempat mereka tinggal bakalan kena gusur buat dijadiin kebun sawi. Please focus on them too. #Alleyesonpapua #Alleyesonpapua,” tulis pengguna akun X @lercwolf Jumat (31/5/2024).
Hutan adat yang menjadi sumber penghidupan suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan suku Moi di Sorong, Papua Barat, terancam hilang akibat ekspansi perkebunan sawit di Bumi Cenderawasih. Kampanye “All Eyes on Papua” mendapatkan momentum setelah para pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan Moi melakukan aksi protes di Mahkamah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024).
“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” kata Rikarda Maa, perempuan adat Awyu pada Senin (27/5/2024)..
Berdasarkan keterangan resmi dari Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua yang dipublikasikan di laman resmi Greenpeace Indonesia, masyarakat adat suku Awyu dan Moi tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah daerah dan perusahaan sawit untuk mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan ini kini mencapai tahap kasasi di Mahkamah Agung.
“Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu. Hutan adalah apotek bagi kami. Kebutuhan kami semua ada di hutan. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” kata Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi pada Jumat, (31/5/2024).
Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, menggugat Pemerintah Provinsi Papua atas izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL, yang mencakup 36.094 hektare hutan adat marga Woro. Gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua, sehingga kasasi di Mahkamah Agung menjadi harapan terakhir. Masyarakat adat Awyu juga mengajukan kasasi melawan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, yang berencana ekspansi di Boven Digoel. Suku Moi Sigin melawan PT SAS yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat di Sorong. Menurut Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, perkebunan sawit merusak sumber penghidupan dan memperparah krisis iklim.
“Majelis hakim perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya bukan hanya akan dirasakan suku Awyu dan suku Moi tapi juga masyarakat Indonesia lainnya,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dan Moi dari Pusaka Bentala Rakyat.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, mengatakan bahwa perjuangan suku Awyu dan Moi adalah upaya terhormat demi hutan adat, demi hidup anak-cucu mereka hari ini dan masa depan, dan secara tidak langsung kita semua.
“Kami mengajak publik untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi dan menyuarakan penyelamatan hutan Papua yang menjadi benteng kita menghadapi krisis iklim,” ujar Sekar pada Minggu (2/6/2024).
Penulis: Putra Alam | Editor: Saiful