Jakarta, Deras.id – Masyarakat Indonesia memang dikenal mudah ber-empati, mudah memahami dan merasakan perasaan dan situasi orang lain. Pasalnya, sedari kecil kita sering diajarkan bahwa empati atau sikap memahami perasaan orang lain itu penting. Fakta ini dianggap cukup efektif dimanfaatkan untuk menarik simpati dan empati masyarakat dengan memainkan panggung playing victim guna meraih dukungan maksimal menuju Pilpres tahun 2024.
Playing victim itu sendiri oleh Sun Tzu dalam buku 36 Strategi Perang mengistilahkan sebagai teknik memposisikan diri menjadi korban atau orang yang terluka demi mengelabui musuh dan lingkungan. Taktik tersebut ditulis tepatnya pada strategi nomor 34, yang berbunyi “Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh. Masuk pada jebakan dan jadilah umpan. Selanjutnya yang mesti dilakukan adalah bagaimana mengemas sebuah situasi agar kelemahan kita tertutupi dengan mendongkrak sisi baik (kekuatan) yang kita miliki, sebaliknya juga menguatkan sisi lemah lawan dengan menutupi sisi – sisi baiknya. kemudian, mengemas situasi arena perang agar lebih menguntungkan kita secara politik. Dalam kontek perpolitikan Indonesia, taktik politik playing victim yang digunakan adalah berakting seolah olah menjadi korban kezaliman kubu lawan sehingga mendapatkan simpati dan empati dari masyarakat.
Keberhasilan taktik playing victim di Indonesia, diawali pada era SBY ketika berhasil memenangkan pemilu tahun 2004 yang lalu. SBY yang saat itu masih menjadi menteri dalam kabinet presiden Megawati, terlibat perselisihan dengan presiden sehingga mengharuskan SBY hengkang dari kabinet. SBY berhasil memposisikan dirinya dengan baik sebagai orang yang “diploro” penguasa. Ia lalu mendirikan partai baru bernama demokrat dan berhasil memenangkan pilpres. Saat itu, rakyat sangat bersimpati karena menganggap SBY dizalimi oleh Megawati. Keberhasilan SBY ini menjadi pembelajaran yang sangat penting bagi taktik nyar perpolitikan di Indonesia.
Kemenangan Presiden Jokowi di pilpres edisi 2014 dan 2019 juga tidak terlepas dari politik playing victim walau tidak se-frontal era SBY. Hinaan dan fitnah bahkan secara fisik yang diterima presiden Jokowi secara tidak langsung berdampak pada naiknya popularitas. Bahasa sederhananya “Semakin dia dihina maka popularitas semakin tinggi, hinaan itu akan menambah simpati orang ke Jokowi”. Bahkan menurut analisa penulis, kasus ijazah palsu yang menerpa presiden Jokowi akhir-akhir ini bisa saja adalah bagian dari design politik playing victim untuk meningkatkan popularitas Jokowi terhadap lawan-lawan politiknya.
Saat ini, sesuai judul tulisan, Indonesia memang masih menjadi panggung efektif untuk memainkan politik playing victim. Sehingga untuk memenangkan kursi presiden, masing-masing aktor politik terus meramu strategi panggung politik playing victim-nya.
Seperti kita ketahui, pernah muncul tudingan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kriminalisasi karena melanjutkan dugaan korupsi Formula E yang menyeret nama mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, pasca resmi dideklarasikan sebagai bakal calon presiden 2024 oleh Partai Nasional Demokrat. Tudingan tersebut dapat dinilai sebagai lahan playing victim yang sangat menarik. Sehingga, bisa saja bila saat ini tudingan dari KPK tersebut hilang tak berbekas. Mungkin karena dianggap potensial akan mendongkrak popularitas Anies sebagai sosok yang lagi di zolimi. Selain itu, keheranan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh terkait apa yang salah dari sosok Anies Baswedan sehingga banyak pihak yang “mengganggunya” bisa juga dianggap sebagai upaya untuk merawat panggung playing victim-nya Anies Baswedan.
Lebih lanjut, bisa saja konflik pencapresan antara Puan vs Ganjar memang sengaja dipelihara oleh PDIP untuk meningkatkan popularitas Ganjar. Sehingga pemanggilan Ganjar Pranowo oleh PDIP akhir-akhir ini, pasca dia menyatakan siap nyapres ditengah maraknya isu Puan Maharani sebagai calon tunggal PDIP, merupakan bagian dari pemeliharaan panggung playing victim-nya Ganjar. Hasilnya, terbukti poling Ganjar terus menguat ditengah dentuman konflik yang memang sengaja diciptakan oleh internal PDIP.
Terakhir, dengan pelaksanaan Pilpres yang masih 2 tahun lebih, tentu masih sangat luang terciptanya panggung-panggung playing victim baru yang akan datang. Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa playing victim dalam perpolitikan di Indonesia ternyata masih cukup efektif dilakukan. Untuk memahaminya, kita mungkin bisa menganalisa berbagai wacana dan isu yang sengaja diedarkan di masyarakat, kemudian membingkainya untuk memunculkan pemahaman-pemahaman terbaru. Pasalnya dalam dunia politik, isu atau wacana tersebut ibarat potongan puzzle yang bila disatukan akan membentuk design yang utuh guna menggiring opini dan simpati masyarakat dengan tujuan utama adalah RI-1 di tahun 2024.
Penulis: Reza Pahlevi I Editor: Rifai