Hukum Puasa Bagi yang Sedang Melakukan Perjalanan Jauh
Jakarta, Deras.id – Puasa merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam. Namun ada juga puasa sunnah yang sering dilakukan di waktu-waktu tertentu. Bagi seseorang yang melakukan perjalanan jauh, dia diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat perjalanannya telah dimulai sebelum fajar menyingsing dan jarak perjalanannya harus mencapai jarak qashar, sebagaimana telah dijelaskan mengenai jarak ini pada pembahasan tentang ‘shalat qashar’.
Seseorang boleh melakukan qashar bila perjalanan sudah mencapai 84 mil/16 Farsakh atau 2 Marhalah/80,640 km (8KM lebih 640 m), tetapi belum mencapai 3 Marhalah/120, 960 km (120 KM lebih 960 meter). Namun lebih afdhal jika jarak temuhnya melebihi 3 marhalah. Oleh karena itu, apabila perjalanannya tidak mencapai tersebut, minimal mencapai jarak yang diperbolehlan maka dia tidak diperbolehkan untuk meninggalkan puasanya. Syarat yang kedua ini disepakati oleh seluruh ulama. Adapun untuk syarat yang pertama madzhab Hambali tidak menyepakatinya.
1. Menurut madzhab Hambali, apabila seseorang memulai perjalanan di waktu siang saat berpuasa, meskipun perjalanan itu dimulai setelah matahari tergelincir (yakni lewat tengah hari) dan jarak yang ditempuh mencapai jarak qashar maka dia diperbolehkan untuk berbuka lebih awal dan membatalkan puasanya. Namun akan lebih baik jika dia melanjutkan puasanya pada hari itu. Sementara imam Syafi’I menambahkan satu syarat lagi selain dari dua hal di atas.
2. Menurut madzhab Asy-Syafi’i, ada satu syarat lagi bagi musafir agar diperbolehkan untuk tidak berpuasa yaitu tidak selalu melakukan perjalanan karena jika dia sudah terbiasa melakukan perjalanan maka diharamkan baginya untuk tidak berpuasa, kecuali jika dengan berpuasa dia akan mendapatkan kesulitan yang sangat berat seperti kesulitan yang dialami oleh pelaksana shalat hingga diperbolehkan untuk bertayamum.
Seluruh ulama bersepakat, apabila seorang musafir baru memulai perjalanannya setelah fajar menyingsing (setelah waktu subuh), maka diharamkan baginya untuk tidak berpuasa. Namun, jikapun dia tidak berpuasa maka dia hanya harus mengqadha puasa tersebut tanpa dikenakan hukuman kafarah. Madzhab Asy-Syafi’i sedikit berbeda dengan yang lain mengenai hukuman ini. Silakan melihat pendapat mereka pada penjelasan di bawah ini.
Menurut madzhab Asy-Syafi’i, apabila seorang musafir memulai perjalanannya setelah fajar menyingsing maka diharamkan baginya untuk tidak berpuasa, namun dia hanya diwajibkan qadha jika pembatalannya hanya mengharuskan qadha, sedangkan jika pembatalannya mengharuskan qadha sekaligus dengan hukuman kafarah maka dia dikenai kedua duanya. Namun jika seorang musafir menginapkan niat sedari malam untuk berpuasa di dalam perjalanannya maka dia boleh tidak berpuasa dan membatalkan niatnya. Tidak ada dosa sama sekali jika dia melakukan hal itu dan dia hanya harus mengqadha puasanya.
3. Menurut Imam Maliki, apabila seorang musafir telah menginapkan niatnya untuk berpuasa dalam perjalanalrnya, lalu telah memulai puasanya namun setelah itu dia membatalkan maka dia harus mengqadha puasanya dan sekaligus dikenakan hukuman kafarah.
4. Menurut madzhab Hanafi apabila seorang musafir telah menginapkan niatnya untuk berpuasa dalam perjalanannya maka diharamkan baginya untuk tidak berpuasa. Meskipun dia tidak berpuasa, dia diwajibkan untuk mengqadha puasa tersebut tanpa dikenakan hukuman kafarah.
Penulis: M.FSA I Editor: Apr