Generasi tanpa Arah: Relasi tak Bernama, Kekosongan Hukum, dan Kekacauan Psikologis
Surabaya, Deras.Id – Dalam dunia yang semakin terhubung oleh teknologi, justru relasi antar manusia menjadi semakin terputus secara nilai. Banyak anak muda menjalin hubungan tanpa komitmen, tanpa label, dan tanpa keberanian menyampaikan perasaan secara utuh. Kita menyebutnya “hubungan tanpa nama” relasi yang menggantung antara teman dan kekasih, antara perhatian dan pengabaian, antara kedekatan dan penyangkalan. Ironisnya, sering kali relasi seperti ini berakhir begitu saja: tanpa pamit, tanpa penjelasan, hanya diam yang menyakitkan.
Secara psikologis, relasi tanpa nama dan tanpa akhir yang jelas menimbulkan kerusakan emosional yang kompleks. Tidak adanya kepastian dalam relasi memicu gejala kecemasan, trust issue, overthinking berkepanjangan, bahkan pada sebagian kasus, menimbulkan self-blaming dan gangguan afektif.
Salah satu bentuk akhir yang paling menyakitkan adalah silent treatment tindakan meninggalkan seseorang secara tiba-tiba tanpa penjelasan. Bukan sekadar bentuk penghindaran konflik, namun menjadi penolakan emosional yang berbahaya. Artikel Medical News Today (2025) menjelaskan bahwa diam yang disengaja dalam relasi dapat memicu stres dan kecemasan. Penelitian terbaru dalam Frontiers in Psychology (2024) juga menyebutkan bahwa ostracism atau pengabaian sosial secara sadar berdampak besar pada psikologis remaja, yaitu menurunnya rasa percaya diri dan kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial,
Sementara itu, dalam Psychology Today (2024) dijelaskan bahwa perlakuan diam juga dapat menjadi bentuk gaslighting. Artinya, korban akan mulai meragukan perasaannya sendiri, mempertanyakan persepsinya terhadap realitas, dan akhirnya memendam rasa bersalah serta ketidakberdayaan.
Dalam sisi dinamika sosial, fenomena ini mencerminkan krisis etika relasi. Dalam pandangan Emile Durkheim, masyarakat sehat menuntut solidaritas moral: ada tanggung jawab timbal balik dalam setiap interaksi. Namun kini, hubungan emosional disikapi seolah bisa ditinggalkan begitu saja tanpa beban. Banyak anak muda terbiasa menghindari konflik dan akuntabilitas emosional, menjalin hubungan hanya saat nyaman, lalu menghilang ketika tak ingin melanjutkan.
Inilah yang melahirkan generasi tanpa arah. Bukan karena mereka bodoh. Tapi karena mereka dibesarkan dalam budaya yang tidak mengajari bagaimana mencintai secara jujur, dan berpisah secara manusiawi.
Lalu bagaimana hukum melihat ini? Secara hukum positif, relasi semacam ini memang tak memiliki ikatan formal. Hukum positif tidak mengaturnya secara eksplisit. Namun dalam doktrin hukum privat dikenal asas itikad baik (goede trouw) yang menekankan pentingnya moralitas dan kesepahaman dan perlakuan yang adil dalam setiap hubungan sipil. Menurut Prof. Subekti, sekalipun tidak ada kontrak, relasi tetap dinilai dari wajar tidaknya perilaku antar individu. Maka, tindakan meninggalkan tanpa penjelasan sejatinya merupakan pengingkaran terhadap tanggung jawab moral dan etika relasi. Inilah kekosongan hukum yang membuka ruang untuk kekerasan emosional tak kasat mata diam-diam menyakiti, tanpa bisa diadili.
Akibatnya, kita menghadapi generasi yang tampak matang secara akademik, namun rapuh secara emosional. Mereka tumbuh tanpa belajar bagaimana menyelesaikan hubungan secara sehat. Trauma dan luka yang tidak diselesaikan diwariskan dari satu hubungan ke hubungan lain, lalu menciptakan generasi yang hidup dalam kebingungan emosional kolektif.
Mereka tumbuh dengan luka tak bernama, lalu belajar menyakiti orang lain dengan cara yang sama. Rantai luka sosial ini terus berputar, dan kita baru sadar ketika terlalu banyak yang kehilangan arah hidupnya karena trauma yang tidak pernah diselesaikan dengan benar.
Maka dalam relasi apa pun meski tanpa nama, meski tak resmi kita tetap punya tanggung jawab etis dan sosial. Diam bukan bentuk kasih sayang. Ia adalah bentuk kekerasan yang paling sunyi. Karena luka paling dalam sering kali bukan karena ditinggalkan, tetapi karena tidak pernah tahu mengapa harus ditinggalkan.Dan ketika satu generasi belajar diam saat pergi, maka satu generasi lainnya akan tumbuh dalam kebingungan yang tak pernah selesai.Dan jika kita tak mulai memperbaiki cara kita berhubungan, kita akan terus mencetak generasi tanpa arah: tak hanya dalam cinta, tapi juga dalam kehidupan.
Penulis: Muhammad Rafly, Penulis Buku “Anaway”, Pegiat Sastra, Pemerhati Hukum, Ketua Rayon Hukum PMII Bela Negara UPN “Veteran” Jawa Timur. l Editor: AgusW