Jakarta, Deras.id- Sebagaimana nasihat lama, semua hal yang berlebihan hasilnya tidak akan baik. Pengetahuan tersebut harusnya di ilhami oleh seluruh pecinta sepak bola tanah air. Bahwa bersikap fanatik dalam mendukung timnas harus terukur serta berdampak positif bagi perkembangan timnas Indonesia.
Fanatisme yang Berlebihan
Timnas Indonesia sedang mengalami perkembangan dari segala sektor adalah fakta positif yang diterima oleh seluruh penggemar sepak bola Indonesia. Namun belarut dalam euforia tersebut adalah tindakan yang kurang efektif jika ditinjau secara dampak. Belajar dari sejarah kita, terlalu berlebihan dalam merespon setiap keberhasilan timnas Indonesia.
Sejarah yang masih hangat adalah seperiornya timnas Indonesia asuhan Alferd Riedl pada AFF tahun 2010. Waktu itu hampir semua lawan dilumat oleh Firman Utina dkk hingga melenggang ke partai final. Skuad garuda harus menghadapi harimau malaya, Malaysia. Seluruh publik tanah air bersorak karena Malaysia sebelumnya dicukur habis 5-1 di fase grup.
Seluruh penggemar timnas merayakan keberhasilan melenggang ke final seolah telah dipastikan menjadi juara. Hampir seluruh saluran tv nasional memuat berita keperkasaan skuad Garuda. Tindakan kultur keyakinan juga dilakukan dengan istighosah bareng untuk kemenangan timnas Indonesia. Hampir tidak ada pengamat yang mengira bahwa timnas akan kehilangan konsistensinya di partai pamungkas tersebut. Semua selebrasi, euforia dan pujian yang terus mengalir untuk skuad garuda menjelma menjadi tekanan dan beban yang harus dibayar tuntas dengan sebuah kemenangan. Timnas Indonesia tidak tampil lepas seperti biasanya dan dipaksa menerima kekalahan telak 3-0 di Bukit Jalil, Malaysia.
Sebagaimana siklus netizen Indonesia, ketika dukungan dan harapan tidak sesuai dengan kenyataan, maka yang tersisa adalah kritik, cacian dan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Timnas Indonesia seolah harus selalau tampil dengan top perform disetiap pertandingan. Setelah itu dukungannya tetap diberikan, namun euforia nya sudah tidak terdengar. Hal tersebut juga berimplikasi buruk bagi mental pemain timnas Indonesia.
Tidak Belajar dari Pengalaman
Ibarat jatuh pada lubang yang sama, penggemar bola indonesia tidak pernah belajar dari setiap perjalanan timnas Indonesia. Pada tahun-tahun selanjutanya siklus yang sama terus terjadi, menang – euforia – kalah – dihujat. Mereka melupakan bahwa setiap pemain memliki fase nya masing-masing. Maka yang dibutuhkan adalah kritik yang membangun, kesetian dalam mendukung, dan apresiasi setiap capaian yang telah diberikan.
Pudarnya generasi emas timnas U-19 era Evan Dimas akan selalu terkenang dalam ingatan penggemar sepak bola Indonesia. Skuad besutan Indra Sjafri tersebut sukses merengkuh gelar piala AFF U-19 setelah menyudahi perlawanan Vietnam melalui adu tos-tosan. Sebelumnya Garuda muda secara heroik sukses menekuk Korea Selatan dengan skor ketat 3-2. Setelahnya tradisi kembali berlanjut, Timnas U-19 seolah menjelma pahaawan baru melalui tinta emasnya. Euforia nya juga tidak kalah dengan era 2010 silam. Namun naif, timnas Indonesia U-19 redup dan kehilangan magisnya. Evan Dimas banyak menelan hujatan karena menunjukan permainan yang membosankan dan sulit mendapatkan kemenangan.
Melompat pada era hari ini, timnas Indonesia kembali dalam tren positif untuk berkembang. Mulai dari proses, cara bermain, level turnamen, dan rangking FIFA timnas Indonesia sangat bekembang pesat. Gemuruh publik sepak bola Indonesia bertambah dengan datangnya beberapa pemain diaspora sebagai tambahan kekuatan timnas Indonesia. Finish empat besar piala Asia U23 dan kans lolos Piala Dunia 2026 menjadi capaian prestisius timnas Indonesia dalam kepelatihan choach Shin Tae-yong.
Namun kembali terjadi, sikap tidak dewasa seolah mendarah daging dalam tubuh penggemar sepak bola Indonesia. Marchelino Ferdinan yang dinilai sebagai pemain lokal terbaik tidak luput dari hinaan penggemar bola Indonesia saat gagal menampilkan peforma terbaiknya. Elkan Baggot yang sebelumnya dipuja sebagai tower pengahalau Indonesia, tidak luput dari hujatan penggemar sepak bola Indonesia karena tidak memenuhi panggilan di laga play off melawan Guinea.
Dampak ?
Selalu muncul kontra persepsi jika melihat fanatisme penggemar sepak bola Indonesia. Semangat, solidaritas dan gema suaranya selalu menjadi bahan bakar lebih pada setiap pertandingan timnas Indonesia di semua kelompok usia. Namun di sisi yang berbeda tidak jarang fanatisme dengan euforia berlebihan menjadi beban baru bagi skuad garuda.
Terbaru dalam laga uji coba melawan Tanzania, Timnas Indonesia tampil hampir dengan kekuatan sempurna namun kehilangan konsistensinya. Diisi oleh sebagian besar pemain naturalisasi, timnas Indonesia seolah tampil dibayang-bayang ekspectasi dan harapan yang besar. Timnas Indonesia memang bermain dominan, namun tetap tujuannya adalah gol dan kemenangan. Timnas Indonesia bermain imbang tanpa gol pada laga uji coba melawan Tanzania di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Minggu (2/6/2024) sore WIB.
Hasil tersebut sedikit memberikan kecemasan pada publik sepak bola Indonesia. Hal tersebut karena Timnas Indonesia setelahnya akan melakoni laga lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Filiphina dan Iraq.
Penulis: Rizal I Editor: Rifa’i